• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Jumat, 30 Maret 2018

Kelas Menengah dan Perubahan Sosial

 
 
 
 
Jika Anda memiliki waktu luang untuk sekedar mengklik tautan yang menggiring Anda menuju kepada opini penulis ini, entah berasal dari Facebook, Twitter, Instagram, Line, atau Whatsapp, saya tebak Anda sudah memiliki cukup materi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum Anda seperti sandang, pangan, papan. 
Anda tidak sedang diteror keresahan memikirkan apa yang akan Anda makan esok hari, atau tidur dimana malam ini. Anda memiliki kemandirian ekonomi yang cukup, sehingga memiliki waktu yang cukup pula untuk sekedar mencari tahu (baca: kepo) kabar atau aktifitas teman dan keluarga lewat telepon genggam anda.

Bahkan Anda membutuhkan aktifitas lain itu untuk mengisi waktu luang anda. Jika semua tebakan itu tepat, ketahuilah bahwa kita (anda dan saya) masuk ke dalam golongan kelas menengah dan berpotensi melakukan perubahan sosial seperti yang dilakukan para pendahulu.
Pembagian Kelas dalam Perspektif

Setelah 72 tahun kemerdekaan diraih dari kaum penjajah, bangsa kita telah merasakan berbagai strategi pembangunan ekonomi yang digalakkan dari masa ke masa telah melahirkan aneka lapisan sosial-ekonomi baru. Berbeda dari zaman-zaman sebelum kemerdekaan yang menurut pisau analisis Clifford Geertz membagi kelas di Indonesia menjadi Trikotomi dalam masyarakat Indonesia yaitu kelompok priyayi, santri, dan abangan. Kini pembagian tersebut perlu dipertanyakan relevansinya.
Trikotomi dalam pembagian kelas sosial-politik Clifford Geertz memang sangat berharga untuk memberikan pemahaman bagaimana keadaan sosial Indonesia sebelum kemerdekaan. Setidaknya selain pembagian itu bermuatan politis juga bermuatan ekonomis. 
Kelompok priyayi adalah para birokrat yang menerima upeti dari kelas lain; kelompok santri adalah pemeluk agama islam yang taat dan berprofesi sebagai petani dan sebagian pedagang; sedangkan kelompok abangan adalah kelompok pemeluk agama Islam secara formil saja, kebanyakan adalah petani gurem dan buruh tani. Tentu pembagian ini sangat berharga sebagai pijakan analisis melihat peran politik, kekuatan ekonomi, dan perilaku sosial mereka.
Namun jika melihat situasi politik pasca kemerdekaan akan terlalu memaksakan jika tetap memakai pijakan analisis itu. Misalnya jika untuk melihat fenomena munculnya golongan sosial-ekonomi baru akibat kebijakan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi pada medio tahun 1980-an yang kemudian semakin meningkat proporsinya sampai sekarang. Kelompok ini diidentifikasikan sebagai kaum profesional, komunitas bisnis dan intelektual. Tentunya peran politik, kekuatan ekonomi dan perilaku sosial mereka berbeda dengan trikotomi yang diungkapkan Geertz di atas.
Jika kita memakai pisau analisis induk yang ada dalam sosiologi kita menemui dua kutub besar yaitu Marxian dan Weberian. Secara sederhana dapat dijelaskan dalam teori Marxian hanya ada dua kelas sosial yaitu kelas produktif yang dihisap yaitu kelas pekerja atau proletariat dan kelas tidak produktif yang menghisap yaitu kelas pemilik modal kapital. 
Karl Marx melihat bahwa dalam masyarakat kapitalis pemilikan atas modal dan alat-alat produksi akan mengalami proses konsentrasi dan sentralisasi di tangan para pengusaha besar. Tapi dalam tahapan kapitalisme industri selanjutnya Marx juga melihat eksistensi pengusaha-pengusaha kecil. Menurut pandangan ini petani dan pengusaha atau pedagang kecil adalah sisa-sisa kelompok masa ekonomi pra-kapitalis, itulah yang disebut sebagai “Golongan tengah”. Suatu kelas yang berbeda dengan Aristokrat dalam sistem feodal yang makin besar dan penting perannya dalam pertumbuhan kapitalisme.
Sedangkan dalam analisis Weberian membagi kelas sosial tidak hanya berpijak pada faktor ekonomi, tapi bisa diperluas tergantung oleh penguasaan alat produksi, kegiatan konsumsi, status sosial, kewibawaan, serta daya tawar dalam pasar.
Weber membagi kelas sosial menjadi lima yaitu (1) kelas pemilik di lapisan teratas yang identik dengan borjuis dalam Marxian, (2) kelas pekerja di tingkat bawah yang identik dengan proletar, (3) kelas intelegensia, (4) kelas manajer / administrator, dan (5) borjuis kecil yang dalam pandangan Marxian identik dengan strata peralihan.
Secara sederhana pula dua kutub besar dalam klasifikasi sosial memberi implikasi bahwa (1) Marxian menekankan pertentangan kelas yang begitu dikotomis, sedangkan Weberian menekankan kepentingan atau kemampuan diantara banyak kelas; (2) Marxian juga membawa bobot ideologis yang radikal dan secara ambisius menjangkau sebuah cakrawala perubahan sosial secara makro, sedangkan Weberian setia pada realitas empirik yang mikro dan majemuk.
Namun meskipun demikian, identifikasi Marx mengenai golongan tengah yang ia sebut sebagai petit bourgeuisie dan Weber mengenai kelas intelegensia dan administrator menyiratkan bahwa dua kutub itu pun mengembangkan teori “Golongan menengah baru” di era ekonomi pasar. Pijakannya tidak hanya ekonomi tapi berkembang pada politis sosiologis.
Dengan melihat perkembangan masyarakat saat ini kita tidak lagi melihat pembagian kelas atau klasifikasi namun berkembang menjadi stratifikasi sosial. Hal ini untuk melihat posisi seseorang dalam sistem sosial dimana Ia hidup, kesempatan hidup dan gaya hidup.
Titik pijaknya dengan melihat golongan masyarakat secara hierarkis dengan tekanan melihat ketidaksamaan dan kepincangan sosial dilihat dari (1) tingkat pendidikan, (2) pembagian kekayaan, (3) jenjang kekuasaan, (4) prestise, (5) umur, dan (6) entitas.
Perkembangan dan Potensi Kelas Menengah 

Memang tidak berlebihan ketika Samuel P. Huntington memandang kelas menengah memiliki potensi melakukan perubahan sosial. Menurutnya kelas menengah adalah mereka yang berpenghasilan ekonomi lebih dari cukup dan secara otomatis akan berbanding lurus dengan pendidikannya. Sehingga merekalah yang berperan besar membantu negara dalam pembangunan.
Kelas menengah dengan potensinya akan menciptakan lapangan kerja bagi warga negara yang lain, selain membantu negara memberikan pendidikan kepada mereka yang tidak mampu mengakses. Dalam dinamika kehidupan bernegara, karena kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara dalam negara demokrasi cenderung telah mereka pahami, mereka menjalankan fungsi check and balances demi dinamika demokrasi yang lebih baik. 
Di Indonesia dengan berbagai strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh para pemimpin kita tak dipungkiri telah menunjukkan hasil yang cukup baik jika dilihat dari segi berkurangnya kemiskinan. Saat ini menurut data World Bank, ada sekitar 52 juta orang Indonesia masuk kelas menengah. Artinya satu dari lima orang di Indonesia masuk dalam kategori kelas menengah. 
Sementara 45 persen penduduk lainnya merupakan yang ingin menjadi kelas menengah: mereka tidak lagi miskin atau rentan jatuh miskin. Bukankah ini sangat potensial untuk menciptakan apa yang dibayangkan Huntington, yaitu demokratisasi yang lebih baik di Indonesia?
Namun optimisme Samuel P. Huntington dalam memandang kelas menengah itu juga perlu kita kritisi bersama. Pandangan itu beranggapan bahwa kelas menengah adalah kelas yang monolitik, terdiri dari satu ragam. Dianggap punya watak, sifat, tabiat dan jati diri yang esensial. Nyatanya ketika kita melihat realita, kita melihat mereka yang berekonomi mapan mempunyai watak yang beragam. Ada yang memandang kelas menengah sebagai kelompok yang demokratis, bermoral tinggi, cerdas dan jujur. Di sisi lain ada pula yang menganggap mereka sebagai kelompok oportunis, penjilat, genit, atau hedonistik.
Memang terlalu naif jika kita menganggap kelas menengah ini mempunyai satu ragam watak tertentu. Hal ini karena watak juga sangat dipengaruhi gaya hidup, pendidikan dan kesadaran berdemokrasi dalam kelas menengah. Namun jika kita melihat potensi kelas menengah yang cenderung mandiri secara ekonomi dan merdeka dari intervensi politik pusat kita perlu optimis. 
Kian mapan dan kukuhnya institusionalisasi dan solidaritas kelas menengah tidak saja menjadi tulang punggung penggerak ekonomi bangsa namun juga sebagai motor penggerak masyarakat dalam berbangsa dan bernegara melalui peranan politiknya. Lagipula jika kita melihat perubahan-perubahan yang terjadi di dalam bangsa kita kebanyakan dimotori oleh kelas menengah. Hal ini wajar karena mereka punya dana, pikiran, sarana komunikasi, transportasi dan jaringan organisasi yang mampu menjadi kekuatan sosial yang besar.
Perubahan Sosial di Indonesia

Ilmu sosial Marxisme pernah meramalkan bahwa kelas pekerja (proletar) akan berperan sebagai aktor utama dalam perubahan tata sosial. Namun sejarah berkisah lain, harapan dan ramalan itu membuahkan kekecewaan bukan penggenapan. Perubahan sosial justru banyak dilakukan oleh kaum terdidik kota, hal yang juga terjadi di Indonesia.
Misalnya ketika melihat perkembangan kesadaran awal nasional Indonesia akan sulit menyangkal bahwa kesadaran itu tumbuh salah satunya akibat penerapan politik etis yang membuat kaum Inlander atau pribumi berkesempatan mengakses pendidikan. Kaum pribumi mulai belajar mengorganisasikan diri dengan mendirikan organisasi-organisasi pelajar, pers, serikat dagang dan lain sebagainya. 
Walaupun pendidikan dalam era politik etis masih sangat diskriminatif, yakni hanya kaum keturunan bangsawan yang diberi akses, namun mereka yang terpelajar tidak menggunakan kebangsawanannya dalam berorganisasi demi menciptakan kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran nasional. 
Hal ini dapat tercermin ketika melihat Tirto Adhi Soerjo, pengusaha pribumi terpelajar yang mulai menyadari peran penting Pers dan Organisasi dari kaum pribumi sendiri. Tirto mendirikan organisasi Sarekat Prijaji tahun 1906 meskipun tidak banyak berkembang karena kesadaran kaum priyayi yang kebanyakan masih bergaya pikir feodal. Ia juga menerbitkan surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907 yang kemudian menjadikannya sebagai Bapak Pers Indonesia. Tirto banyak disebut sebagai peletup awal kesadaran nasionalisme modern di Indonesia.
Tentu masih banyak lagi motor penggerak rakyat yang memang kebanyakan dari kaum menengah yang tidak memikirkan diri dan kelasnya sendiri. Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo pada tahun 1900, yang kemudian dalam perkembangannya diketuai oleh Tjokroaminoto dan berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI). Dari organisasi ini melahirkan banyak tokoh pendiri bangsa dan mengembangkan kesadaran nasionalisme lebih jauh lagi. 
Semakin banyaknya kaum terpelajar dan organisasi-organisasi yang didirikan oleh kaum Pribumi semakin menguatkan kesadaran nasional Indonesia, bahkan pada tahun 1928 para pemuda dan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul untuk berkongres dan mengucapkan sumpah bersama yang sekarang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. 
Sampai pada kemerdekaan politik Indonesia tiba, memang kalangan terpelajar mempunyai peranan penting dalam transformasi sosial di Indonesia, hal ini menjadikan dinamisnya pemikiran kebangsaan dari para pemimpin pergerakan di Indonesia. Bahkan pada masa awal pendirian Partai Nasional Indonesia didirikan pada akhir 1920-an, sang Dwitunggal Soekarno dan Hatta memiliki perbedaan yang agak kontras. 
Soekarno menekankan PNI untuk mengkonsolidasi massa rakyat sebanyak-banyaknya, sedangkan Hatta lebih menekankan untuk lebih menguatkan peran pendidikan terlebih dahulu. Hal ini menjadi perbedaan mendasar yang nantinya membuat mereka tak sepaham dan akhirnya perbedaan tersebut di kemudian hari menyebabkan Hatta mengundurkan diri dari wakil presiden pada tahun 1950an.
Setelah kemerdekaan politik diakui pada 1949 oleh komunitas internasional, baru banyak strategi ekonomi digencarkan, mulai dari nasionalisasi hingga Indonesianisasi perusahaan asing. Hal ini tentu semakin membuka sejarah awal proses menjamurnya kelas menengah di Indonesia. 
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada pertengahan tahun 65 dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok akibat krisis membuat keadaan ekonomi dan sosial tidak stabil. Pergerakan sosial untuk menuntut perubahan dimotori oleh mahasiswa dengan turun ke jalan dan membuat acara-acara protes yang kreatif. Hasilnya Orde Baru naik ke pemerintahan dengan dukungan kelas menengah Indonesia, yakni para mahasiswa, kaum intelektual, para teknokrat dan lain-lain. 
Namun begitu bulan madu Presiden Soeharto yang muncul berkat jasa kelas menengah tak berlangsung lama. Gelombang oposisi kelas menengah pun hadir untuk menyeimbangkan demokrasi. Pada tahun 1973-4 demonstrasi dan protes kelas menengah muncul akibat semakin meluasnya gap antara yang kaya dan miskin, serta meningkatnya pengangguran. Aksi protes ini kemudian ditanggapi secara represif oleh rezim Orde Baru, peristiwa ini disebut sebagai Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). 
Walaupun pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru banyak dipuji, namun cara-cara represif yang diterapkan selama masa Orde Baru yang membungkam banyak pergerakan sosial tentu memperburuk demokrasi. Hal ini di satu sisi memperbanyak kelas kelas menengah baik kuantitasnya maupun jenis-jenisnya. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan demokrasi yang seimbang. Akibatnya Check and balence antara warga negara dengan penguasa melemah, praktik-praktik biadab semacam korupsi, kolusi, dan nepotisme menjamur di kalangan elit pemerintahan. 
Hal itulah yang menyebabkan tidak hanya krisis ekonomi namun juga krisis sosial. Pada tahun 1998 krisis memuncak dan gerakan reformasi mendapat dukungan yang begitu luas baik dari kalangan menengah maupun kalangan bawah. Gerakan sporadis dalam reformasi tentu menyulitkan untuk memulai konsolidasi nasional kembali. Namun demokratisasi yang timbul karena reformasi memberi pijakan untuk kita membangun peradaban Indonesia lebih baik. 
Kelas Menengah Kekinian

Setelah hampir 20 tahun Era Reformasi telah kita lalui, banyak hal yang mesti kita evaluasi. Kelas menengah yang semakin banyak jumlahnya ternyata tidak begitu saja menjadi motor penggerak perubahan sebagaimana diharapkan. Demokratisasi yang diharapkan oleh gerakan reformasi dapat mempertinggi harkat rakyat banyak tidak berjalan secara konsekuen. 
Hal ini dapat dilihat misalnya dari sisi kepartaian. Meskipun partai politik begitu banyak di Indonesia, namun sistem perkaderannya masih begitu lemah kualitasnya. Mulai dari rekruitmen yang “asal populis” dan “asal banyak” namun pembinaan dan penanaman nilai tak pernah diperhatikan, serta elit partai yang membawa kebijakan partai begitu oportunis. Akibatnya adalah demokrasi tidak sehat dan praktik biadab korupsi, kolusi dan nepotisme justru semakin menyebar.
Dari sisi kemahasiswaan, komersialisasi pendidikan menyebabkan kampus tak kalah oportunisnya. Akibatnya mahasiswa yang selama ini jadi elitnya pemuda, terlalu nyaman dengan dunia akademiknya. Akibatnya mahasiswa yang minim aktivisme mudah terombang-ambing oleh isu politik yang ada. Tentu masih banyak lagi yang perlu kita perbaiki selama masa transisi demokrasi ini. 
Kelas menengah, seperti selama ini ada, sebenarnya mempunyai potensi yang begitu besar, apalagi di era yang semakin demokratis. Potensi ini akan berkembang luas jika mereka, sekali lagi seperti yang terjadi di masa lalu yaitu mampu mengorganisasikan diri dengan baik, mengenyam pendidikan, sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta tidak berpikir hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Keberpihakan memang sulit bagi yang sudah mencapai derajat kemapanan dan posisi yang nyaman dalam tata sosial yang ada. Namun semua itu tergantung kita pula, mau digunakan untuk apa segala potensi modal, pikiran, kelonggaran waktu, akses informasi dan pendidikan, sarana komunikasi yang kuat, transportasi, jaringan organisasi - singkat kata sumber daya- yang itu semua sulit diakses oleh kalangan bawah.
Bersediakah kita berbagi kesejahteraan pribadi demi kesejahteraan banyak warga negara lain yang kurang beruntung?
Share:

Rabu, 14 Maret 2018

Sektor Pinggiran Tak Seharusnya Dipinggirkan

Tb Arief Z-art
Gambar diambil dari: https://babadsurosowanilustrasikronologi.wordpress.com/2013/02/12/anak-miskin-menjaga-becak-bapaknya-di-kwitang-by-tb-arief-z-art/


Ketika dihadapkan pada maraknya pedagang kaki lima, penjual asongan atau pemulung di sekitar kita, banyak orang akan langsung terbayang suasana kumuh, mengganggu kenyamanan dan tak tertib aturan. Bayangan demikian tercipta akibat imaji palsu kita tentang lingkungan ideal yang diproduksi terus-menerus ala iklan perumahan elit dengan bahasa “penertiban” oleh aparat pemerintah.
Selama ini kehadiran mereka memang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apalagi di tengah gencarnya pertumbuhan ekonomi pemerintah yang berbasis sektor infrastruktur dan investasi baik dalam maupun luar negeri. Maka dari itu mereka sering disebut sektor pinggiran oleh beberapa kalangan, walau secara akademis disebut sebagai sektor informal.
Jika dilihat lebih dalam, kehadiran sektor ekonomi informal ini tidak bisa dilepaskan dari maraknya pembangunan yang belum berpihak masyarakat kebanyakan. Padahal perputaran ekonomi sektor informal inilah yang sekarang menampung tenaga kerja yang tidak bisa terserap di sektor formal.


Ambisi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial
Sejak masa kampanye pemerintah memang menargetkan angka yang ambisius untuk perbuhan ekonomi nasional, yaitu mencapai angka 7 persen.[1] Angka pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat dicapai dengan meningkatkan investasi dan memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Dua resep yang dominan itulah yang selama ini dianggap akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Untuk menarik calon investor, pemerintah memprioritaskan sektor infrastruktur untuk mencapai target pertumbuhan dan investasi. Sampai tahun 2019, pemerintah menargetkan penyelesaian 1.000 km jalan tol baru, 3.200 km jalur kereta api, 15 bandara baru, dua lusin pelabuhan, 33 bendungan dan pembangkit listrik yang mampu menghasilkan sekitar 35.000 megawatt listrik—cukup memasok listrik kepada sekitar lima juta orang.[2]
Masih hangat juga di ingatan berbagai cara dan kebijakan pemerintah untuk mengusahakan pertumbuhan ekonomi mulai dari mencabut berbagai peraturan daerah yang dianggap berpotensi menghambat investasi, melancong ke berbagai negara untuk mengundang calon investor di negara lain atau meliberalisasi sektor-sektor publik menjadi privat.
Terlepas dari targetan pertumbuhan ekonomi yang meleset tiap tahunnya, kita menangkap pola bahwa konsep pembangunan yang diterapkan sekarang memang cenderung menonjolkan pertumbuhan ekonomi, dimana seperti yang kita ketahui, pemerintahan yang demikian kebanyakan melupakan pemerataan. Disadari atau tidak model pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi selalu berimbas pada kemunculan beberapa masalah sosial, seperti kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan rendahnya kesempatan kerja.
Faktanya angka kesenjangan ekonomi kita memang masih memprihatinkan. Di tengah angka pertumbuhan ekonomi yang masih bertengger di angka 5 persen, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi kita juga masih tinggi, yaitu 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Angka tersebut hanya bisa disaingi oleh Rusia, India, dan Thailand.[3]
Pertumbuhan ekonomi memang cukup stabil, namun hal ini tidak diiringi dengan pembagian pendapatan yang merata. Sebuah ironi bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Data lain yang perlu diperhatikan negara kita masuk pada peringkat 7 crony capitalism menurut data Bank Dunia, hampir dua per tiga harta kekayaan konglomerat Indonesia didapat dari hasil bisnis yang berkolaborasi dengan penguasa. Istilah Crony capitalism sendiri di dunia ekonomi kerap diartikan untuk menyebut pengusaha yang kesuksesan bisnisnya didapat karena kedekatan hubungannya dengan pemerintah.
Soal pemerataan pendapatan di sektor agraria juga terdapat ketimpangan yang tak kalah memprihatinkan. Bank Dunia menyebutkan 304 perusahaan besar di Indonesia menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Bandingkan angka ini dengan 23,7 juta petani Indonesia yang hanya memiliki luas tanah 21,5 juta hektare lahan.[4] Dari beberapa angka itu kita mendapat gambaran bagaimana pertumbuhan ekonomi nasional kita tak diikuti dengan distribusi pendapatan yang merata.


Penyerapan Tenaga Kerja dan Sektor Pinggiran
Sebagai negara dengan total penduduk sekitar 255 juta orang, Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat keempat di dunia. Hal tersebut juga menyebabkan banyaknya angkatan kerja yang di Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah angkatan kerja pada Agustus 2017 mencapai 128 juta angkatan kerja.
Namun dari banyaknya angkatan kerja tersebut, masih banyak yang belum terserap sempurna ke lapangan pekerjaan, masih terdapat 7 juta angkatan kerja yang menganggur. Jika dilihat lebih jauh, penyerapan tenaga kerja kita memang mengalami tren penurunan.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) penyerapan tenaga kerja dari investasi yang masuk ke Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2015, masuknya investasi baru mampu menyerap 900 ribu pekerja. Pada tahun 2016 angka ini justru turun menjadi 700 ribu pekerja dan pada bulan Juni 2017 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan kembali menjadi hanya 250 ribu pekerja.[5]
Tren penurunan tersebut mengkhawatirkan sekaligus membuktikan bahwa investasi yang digenjot pemerintah juga belum selaras dengan penyerapan tenaga kerja. Ketidakmampuan sektor utama dalam menyerap tenaga kerja itu menyebabkan konsekuensi meningkatnya angkatan kerja sektor informal.
Sektor informal menjadi penyangga dalam penyerapan tenaga kerja yang secara umum tak terserap di sektor formal, terlebih mereka yang tak terpengaruh dampak secara langsung pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yaitu mereka yang bermodal & berpendidikan rendah, keterampilan terbatas, dan kaum marginal.
Adalah hal yang menarik bahwa sifat dari ekonomi informal ini tidak membutuhkan modal yang besar, menggunakan bahan setempat, dan tidak membutuhkan keterampilan tinggi ini justru relatif tidak sensitif terhadap gejolak perekonomian internasional.
Sektor informal bisa dikatakan lebih mandiri dari gejolak ekonomi internasional disebabkan karena barang-barang yang dijajakan biasanya merupakan barang dan jasa yang dibutuhkan sehari-hari. Selain itu hasil dari sektor pinggiran juga dikonsumsi oleh mereka yang bekerja di sektor formal.
Contoh kecil dalam hal ini adalah ketika pulang para pekerja formal harus naik ojek, becak, angkutan umum untuk menuju rumahnya. Ketika haus para pekerja di sektor formal dapat membeli es kelapa muda di pinggir jalan, atau saat lapar pekerja sektor formal bisa makan ketoprak di warung, sembari membeli surat kabar dari para penjaja koran.
Dari kacamata yang lebih umum, peran sektor informal tidak hanya sebagai penampung kelebihan tenaga kerja pada saat program pembangunan berjalan timpang namun juga dalam saat situasi krisis dan ledakan pengangguran. Hal ini pernah terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998.
Krisis ekonomi menyebabkan industri besar yang saat itu paling diuntungkan dalam proses pembangunan (karena bergantung pada sektor impor) harus berhenti beroperasi. Imbasnya dari ekonomi yang carut marut, inflasi yang tinggi, menyebabkan banyak terjadi informalisasi tenaga kerja (Informalisation of Labour) disebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi.  
Sedangkan disisi lain, sektor informal yang memiliki karakter teknologi sederhana, berbahan baku lokal, modal relatif kecil dan kemudahan beroprasi menjadi subur. Keberpihakan pemerintah pada sektor ini akan menjadi senjata yang ampuh untuk meredam gelombang pencari kerja ketika krisis terjadi.

Pembangunan atau Pemiskinan?
Data dan fakta di atas memperlihatkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak selalu selaras dengan pemerataan pendapatan. Meningkatnya investasi yang digadang-gadang jadi syarat pertumbuhan ekonomi tak berpengaruh banyak terhadap penyerapan tenaga kerja, bahkan secara bertahap menurun dari tiga tahun terakhir.
Di sisi lain sektor informal mempunyai peran penting dalam menampung berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal itu, terutama bagi mereka yang tak kena dampak dari program pembangunan pemerintah. Pemerataan pendapatan lewat sektor informal mempunyai peran penting dalam mempersempit gap kesenjangan yang masih tinggi di Indonesia.
Walau demikian, sektor informal selalu dilihat sebelah mata karena tiadanya bantuan ataupun proteksi ekonomi. Untuk itu diperlukan upaya memberdayakan sektor informal, karena akan berakibat langsung dalam kesejahteraan dikalangan ekonomi lemah.
Pendapat yang mengatakan bahwa mereka merupakan residual, sampah masyarakat yang harus disingkirkan dikarena menggangu ketertiban, perlu ditinggalkan. Tindakan penertiban pemerintah daerah terhadap kelompok sektor informal haruslah bertujuan menaikkan derajat hidup mereka, bukan pengusiran yang tak manusiawi dan justru berdampak pada semakin bertambahnya penderitaan hidup masyarakat kecil.
Jika demikian yang selama ini terjadi, perlu diperiksa kembali pendengaran kita apakah yang sering disebut-sebut oleh pemerintah itu? Pembangunan atau pemiskinan?



[1]https://www.merdeka.com/uang/ambisi-pemerintah-jokowi-ekonomi-tumbuh-7-persen-dalam-lima-tahun.html
[2] https://www.matamatapolitik.com/ambisi-pembangunan-infrastruktur-indonesia-memakan-korban-nyawa/
[3] https://kumparan.com/manik-sukoco/lebarnya-ketimpangan-ekonomi-indonesia
[4]http://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/03/09/p5bb8o384-abraham-samad-kesenjangan-ekonomi-indonesia-mengkhawatirkan
[5]http://bisnis.liputan6.com/read/3163787/penyerapan-tenaga-kerja-akan-meningkat-di-2018-ini-alasannya
Share:

About

FIRMAN HARI INI