Penulis: Rizal Abdurrahman
Belakangan santer karya-karya Pramoedya Ananta Toer kembali banyak
diperbincangkan, terutama setelah ada pengumuman resmi bahwa salah satu
karyanya yang paling fenomenal akan di layarlebarkan yaitu novel Bumi
Manusia. Terlepas dari pro kontra pembuatan film tersebut, memang bagi
para pembaca karya-karya Pramoedya telah berekspektasi banyak tentang
karya-karya Pramoedya, tak terkecuali saya sendiri. Memangnya siapa
Pramoedya? Ia dikenal luas sebagai salah satu penulis terbesar yang
pernah dimiliki Indonesia. Bagaimana tidak, dengan karya-karya yang
banyak dialih bahasakan di berbagai belahan dunia dan segudang prestasi
yang diraihnya tentu membuat Ia banyak dikagumi diberbagai lintas
generasi.
Bagi saya sendiri, Ia adalah salah satu penulis novel sejarah yang
serius dan tajam. Dari beberapa karyanya yang saya baca salah satu yang
saya kagumi adalah kepiawaiannya memotret dan menceritakan latar kondisi
sosial yang ada serta suasana batin tokoh-tokoh dalam novelnya.
Sehingga, ketika membaca novelnya kita seakan diajak menghayati betul
kondisi yang ada, serta perilaku-perilaku para tokoh yang kadang-kadang
kita tak bisa bayangkan jika hanya baca buku-buku sejarah saja.
Hal inilah yang sebenarnya menarik saya untuk membeli salah satu karyanya tentang penyakit sosial berjudul “Korupsi” ini.
Sebelum membaca novel ini memang saya berekspektasi, seperti karya-karya
Pramoedya yang lain, untuk mendapat gambaran kondisi sosial macam apa
yang menyebabkan bangsa yang baru saja merdeka (novel ditulis pada tahun
1952) memiliki pegawai birokrat yang terlena dengan perilaku bohong
Korupsi.
Cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh “Aku” yaitu Bakir. Bakir
adalah seorang pegawai negeri yang sudah lumayan tua. Ia tinggal bersama
istri dan keempat anaknya, Bakri, Bakar, Basir, dan Basirah. Keluarga
Bakir hidup di satu rumah yang karena kondisi ekonomi dan kebutuhan,
harus rela berbagi dengan keluarga Tionghoa yang menggunakan bagian
depan rumahnya sebagai warung.
Diceritakan hidupnya kian lama kian sulit, dengan kebutuhan anak-anak
dan keluarga yang semakin besar, terbesitlah dalam benaknya untuk
melakukan korupsi.
Singkat cerita, dengan tekad yang sungguh, ia bersiap meninggalkan
kejujurannya yang selama membuat ia enggan melakukan apa yang biasanya
dilakukan oleh para karibnya dan membuatnya ketinggalan kemakmuran.
Pada suatu pagi di kantor ia merencanakan korupsinya. Diceritakan bahwa
di kantornya ia memiliki pegawai setia, seorang pemuda yang selama ini
mengagumi kejujuran Bakir dalam memimpin kantornya, Sirad namanya. Sirad
selalu membuat Bakir bimbang ketika hendak melakukan korupsi. Namun
karena tekad Bakir untuk meninggalkan kesengsaraannya, Ia pun tak peduli
dengan Sirad, baginya pemuda ini akan diam jika dia diberi jatah atas
setiap korupsinya.
Bakir melakukan aksinya pertama-tama dengan menjual sisa-sisa kertas,
karbon dan pita di kantornya. Setelah berhasil terjual, ia mendapatkan
tambahan uang untuk memperbaiki penampilannya.
Uang ditangan tak membuat ia merasa tenang, justru sebaliknya, perasaan
gelisah selalu menghampiri Bakir, termasuk ketika istrinya bertanya
sumber uang tambahan tersebut. Tentu sang istri mempertanyakan sumber
uang itu, ia berkata bahwa ia dapat dari menang lotre, dari sinilah
kebohongan demi kebohongan dimulai oleh Bakir, dan membuatnya semakin
hari semakin gelisah. Padahal sebelumnya Bakir adalah seorang yang jujur
dan apa adanya apalagi terhadap istri dan keluarganya.
Demi menjalankan dan memperlancar aksinya, ia mengubah penampilannya. Di
suatu sore ketika berjalan-jalan dengan istrinya, Bakir meminta
dibelikan dasi baru dan semir sepatu. Hal ini menambah kecurigaan
istrinya. Ia berusaha menjelaskan jujur kepada istrinya tentang rencana
yang akan dilakukannya, namun selalu gagal karena istrinya selalu
memojokkannya bahwa ia akan melakukan korupsi. Sang Istri selalu
menanyakan perubahan sikap yang terjadi kepada diri Bakir, dan hal itu
yang memaksa Bakir membuat kebohongan-kebohongan baru. Hal ini membuat
hubungan Bakir dan istrinya semakin meredup.
Singkat cerita, dengan dasi baru, sepatu yang klimis dan uang pinjaman
dari Sirad, Bakir pergi naik taksi ke perusahaan yang selama ini memang
selalu berusaha menyogoknya. Ia adalah seorang pengusaha Tionghoa. Tak
butuh banyak usaha, ternyata mudah sekali dia sukses sebagai koruptor
yakni dengan menaikkan harga izin dan tandatangannya sendiri.
Dengan kesuksesannya terbesit di hatinya untuk mengawini wanita muda yang selama ini menjadi idamannya, Sutijah.
Kondisi keluarga Bakir yang semakin tak harmonis karena istrinya selalu
mencurigai semua pendapatan yang diperolehnya akhirnya memuncak. Bakir
tak tahan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, dan minggat dari rumah.
Tinggallah ia kemudian di rumah Sutijah, wanita idamannya. Ia mengajak
wanita berumur 20 tahun ini untuk menikah dan membuat rumah di Bogor.
Dengan kondisi Sutijah yang serba berkebutuhan, dan kesuksesan Bakir
berkorupsi, akhirnya impiannya untuk mengawini Sutijah pun terwujud.
Seiring bertambah hartanya, Bakir semakin jarang masuk kantor. Saat Ia
kembali bekerja, pertanyaan banyak diajukan Sirad, tentang keberadaan
Bakir selama ini dan kabar bahwa Bakir tidak kembali ke Rumah selama
setahun. Suasana di kantor semakin tidak membuat nyaman Bakir, setelah
ada isu rencana memberantas korupsi di kantornya.
Semakin lama, Bakir semakin tertutup, ditambah adanya mobil baru, rumah
baru di Bogor, dan berbagai hubungan dengan perusahaan asing, Bakir
semakin dicurigai oleh para pegawainya sendiri.
Malapetaka pun hadir ketika ia berusaha merencanakan korupsi di
Perusahaan Negara. Ia dijebak oleh perusahaan ini agar tertangkap basah
melakukan korupsi. Namun ia berhasil menghindar.
Ia kembali ke rumahnya di Bogor. Meski Sutijah semakin lama semakin
cantik, namun rumahnya itu tidak pernah memberikan ketenangan seperti
apa yang ia dapatkan dirumah sebelumnya. Ia teringat kembali istrinya
yang sungguh setia menemani kesederhanaan hidupnya selama ini dan
anak-anaknya yang selalu menanti kedatangannya dirumah.
Singkat cerita, ketika istri barunya Sutijah pergi berlibur ke Bali,
Bakir mengirim uang yang Sutijah minta lewat kantor Pos. Tanpa
diketahuinya, ternyata pegawai kantor pos telah menghubungi polisi dan
Bakir akhirnya masuk penjara.
Setelah dimasukkan ke penjara, tanpa diduga istri dan keempat anaknya
menjenguknya dan memberi semangat kepada Bakir untuk bisa menyadari
bahwa apa yang dilakukannya dan dikejarnya selama ini adalah salah. Ia
telah menjadi korban hawa nafsunya sendiri.
Menurut saya, meskipun memang tidak banyak menggambarkan kondisi sosial
politik serta ekonomi makro yang biasanya merupakan senjata Pram dalam
berbagai novel-novelnya, namun novel ini tetap layak untuk dibaca.
Sedikit memang, novel yang membahas penyakit sosial yang satu ini. Bagi
saya kekuatan novel ini adalah sudut pandang yang diambil dan
penggambaran kebimbangan tokoh dalam melaksanakkan aksinya. Menelanjangi
mereka yang berniat untuk korupsi, entah apapun alasannya.
Judul Novel : Korupsi
Penerbit : Hasta Mitra, Jakarta
Tahun Cetak: 2002
Jumlah Halaman: 160 Hal
0 komentar:
Posting Komentar