• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Sabtu, 27 Oktober 2018

Resensi Novel Korusi Karya Pramoedya Ananta Toer

Penulis: Rizal Abdurrahman

Belakangan santer karya-karya Pramoedya Ananta Toer kembali banyak diperbincangkan, terutama setelah ada pengumuman resmi bahwa salah satu karyanya yang paling fenomenal akan di layarlebarkan yaitu novel Bumi Manusia. Terlepas dari pro kontra pembuatan film tersebut, memang bagi para pembaca karya-karya Pramoedya telah berekspektasi banyak tentang karya-karya Pramoedya, tak terkecuali saya sendiri. Memangnya siapa Pramoedya? Ia dikenal luas sebagai salah satu penulis terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Bagaimana tidak, dengan karya-karya yang banyak dialih bahasakan di berbagai belahan dunia dan segudang prestasi yang diraihnya tentu membuat Ia banyak dikagumi diberbagai lintas generasi.
Bagi saya sendiri, Ia adalah salah satu penulis novel sejarah yang serius dan tajam. Dari beberapa karyanya yang saya baca salah satu yang saya kagumi adalah kepiawaiannya memotret dan menceritakan latar kondisi sosial yang ada serta suasana batin tokoh-tokoh dalam novelnya. Sehingga, ketika membaca novelnya kita seakan diajak menghayati betul kondisi yang ada, serta perilaku-perilaku para tokoh yang kadang-kadang kita tak bisa bayangkan jika hanya baca buku-buku sejarah saja.
Hal inilah yang sebenarnya menarik saya untuk membeli salah satu karyanya tentang penyakit sosial berjudul “Korupsi” ini.
Sebelum membaca novel ini memang saya berekspektasi, seperti karya-karya Pramoedya yang lain, untuk mendapat gambaran kondisi sosial macam apa yang menyebabkan bangsa yang baru saja merdeka (novel ditulis pada tahun 1952) memiliki pegawai birokrat yang terlena dengan perilaku bohong Korupsi.
Cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh “Aku” yaitu Bakir. Bakir adalah seorang pegawai negeri yang sudah lumayan tua. Ia tinggal bersama istri dan keempat anaknya, Bakri, Bakar, Basir, dan Basirah. Keluarga Bakir hidup di satu rumah yang karena kondisi ekonomi dan kebutuhan, harus rela berbagi dengan keluarga Tionghoa yang menggunakan bagian depan rumahnya sebagai warung.
Diceritakan hidupnya kian lama kian sulit, dengan kebutuhan anak-anak dan keluarga yang semakin besar, terbesitlah dalam benaknya untuk melakukan korupsi.
Singkat cerita, dengan tekad yang sungguh, ia bersiap meninggalkan kejujurannya yang selama membuat ia enggan melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh para karibnya dan membuatnya ketinggalan kemakmuran.
Pada suatu pagi di kantor ia merencanakan korupsinya. Diceritakan bahwa di kantornya ia memiliki pegawai setia, seorang pemuda yang selama ini mengagumi kejujuran Bakir dalam memimpin kantornya, Sirad namanya. Sirad selalu membuat Bakir bimbang ketika hendak melakukan korupsi. Namun karena tekad Bakir untuk meninggalkan kesengsaraannya, Ia pun tak peduli dengan Sirad, baginya pemuda ini akan diam jika dia diberi jatah atas setiap korupsinya.
Bakir melakukan aksinya pertama-tama dengan menjual sisa-sisa kertas, karbon dan pita di kantornya. Setelah berhasil terjual, ia mendapatkan tambahan uang untuk memperbaiki penampilannya.
Uang ditangan tak membuat ia merasa tenang, justru sebaliknya, perasaan gelisah selalu menghampiri Bakir, termasuk ketika istrinya bertanya sumber uang tambahan tersebut. Tentu sang istri mempertanyakan sumber uang itu, ia berkata bahwa ia dapat dari menang lotre, dari sinilah kebohongan demi kebohongan dimulai oleh Bakir, dan membuatnya semakin hari semakin gelisah. Padahal sebelumnya Bakir adalah seorang yang jujur dan apa adanya apalagi terhadap istri dan keluarganya.
Demi menjalankan dan memperlancar aksinya, ia mengubah penampilannya. Di suatu sore ketika berjalan-jalan dengan istrinya, Bakir meminta dibelikan dasi baru dan semir sepatu. Hal ini menambah kecurigaan istrinya. Ia berusaha menjelaskan jujur kepada istrinya tentang rencana yang akan dilakukannya, namun selalu gagal karena istrinya selalu memojokkannya bahwa ia akan melakukan korupsi. Sang Istri selalu menanyakan perubahan sikap yang terjadi kepada diri Bakir, dan hal itu yang memaksa Bakir membuat kebohongan-kebohongan baru. Hal ini membuat hubungan Bakir dan istrinya semakin meredup.
Singkat cerita, dengan dasi baru, sepatu yang klimis dan uang pinjaman dari Sirad, Bakir pergi naik taksi ke perusahaan yang selama ini memang selalu berusaha menyogoknya. Ia adalah seorang pengusaha Tionghoa. Tak butuh banyak usaha, ternyata mudah sekali dia sukses sebagai koruptor yakni dengan menaikkan harga izin dan tandatangannya sendiri.
Dengan kesuksesannya terbesit di hatinya untuk mengawini wanita muda yang selama ini menjadi idamannya, Sutijah.
Kondisi keluarga Bakir yang semakin tak harmonis karena istrinya selalu mencurigai semua pendapatan yang diperolehnya akhirnya memuncak. Bakir tak tahan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, dan minggat dari rumah. Tinggallah ia kemudian di rumah Sutijah, wanita idamannya. Ia mengajak wanita berumur 20 tahun ini untuk menikah dan membuat rumah di Bogor. Dengan kondisi Sutijah yang serba berkebutuhan, dan kesuksesan Bakir berkorupsi, akhirnya impiannya untuk mengawini Sutijah pun terwujud.
Seiring bertambah hartanya, Bakir semakin jarang masuk kantor. Saat Ia kembali bekerja, pertanyaan banyak diajukan Sirad, tentang keberadaan Bakir selama ini dan kabar bahwa Bakir tidak kembali ke Rumah selama setahun. Suasana di kantor semakin tidak membuat nyaman Bakir, setelah ada isu rencana memberantas korupsi di kantornya.
Semakin lama, Bakir semakin tertutup, ditambah adanya mobil baru, rumah baru di Bogor, dan berbagai hubungan dengan perusahaan asing, Bakir semakin dicurigai oleh para pegawainya sendiri.
Malapetaka pun hadir ketika ia berusaha merencanakan korupsi di Perusahaan Negara. Ia dijebak oleh perusahaan ini agar tertangkap basah melakukan korupsi. Namun ia berhasil menghindar.
Ia kembali ke rumahnya di Bogor. Meski Sutijah semakin lama semakin cantik, namun rumahnya itu tidak pernah memberikan ketenangan seperti apa yang ia dapatkan dirumah sebelumnya. Ia teringat kembali istrinya yang sungguh setia menemani kesederhanaan hidupnya selama ini dan anak-anaknya yang selalu menanti kedatangannya dirumah.
Singkat cerita, ketika istri barunya Sutijah pergi berlibur ke Bali, Bakir mengirim uang yang Sutijah minta lewat kantor Pos. Tanpa diketahuinya, ternyata pegawai kantor pos telah menghubungi polisi dan Bakir akhirnya masuk penjara.
Setelah dimasukkan ke penjara, tanpa diduga istri dan keempat anaknya menjenguknya dan memberi semangat kepada Bakir untuk bisa menyadari bahwa apa yang dilakukannya dan dikejarnya selama ini adalah salah. Ia telah menjadi korban hawa nafsunya sendiri.
Menurut saya, meskipun memang tidak banyak menggambarkan kondisi sosial politik serta ekonomi makro yang biasanya merupakan senjata Pram dalam berbagai novel-novelnya, namun novel ini tetap layak untuk dibaca.
Sedikit memang, novel yang membahas penyakit sosial yang satu ini. Bagi saya kekuatan novel ini adalah sudut pandang yang diambil dan penggambaran kebimbangan tokoh dalam melaksanakkan aksinya. Menelanjangi mereka yang berniat untuk korupsi, entah apapun alasannya.


Judul Novel : Korupsi
Penerbit : Hasta Mitra, Jakarta
Tahun Cetak: 2002
Jumlah Halaman: 160 Hal
Share:

Minggu Pagi dalam Cermin

 
 
 
Hari ini aku bangun lebih siang dari biasa. Selain memang tidak ada agenda minggu pagi ini, aku merasa tubuhku berhak untuk bermalas-malasan lebih lama setelah membersihkan kamar kost semalam. Ah, sebenarnya pun aku tak suka kamar ini, terlalu nyaman buatku. Aku jengkel ketika kamar ini membuatku semakin malas menghadapi dunia luar. Di luar pintu kost itu rasanya segala perilaku telah berubahh sedemikian palsu. Aku tak tahu, apakah semua orang juga merasa palsu, berupaya membahagiakan satu sama lain sembari menyumpahi satu sama lain dalam hatinya?
Entahlah, aku tak mau memikirkannya lebih jauh. Pagi ini aku lebih ingin mensyukuri saja segala yang masih kumiliki, kepada Tuhan, atau entah apa sebutannya. Bangun pagi, masih sempat malas-malasan, ah itu juga sesuatu yang harus disyukuri hari ini. Kupikir dalam hidupku yang entah bermakna entah tidak ini, bersyukur adalah satu-satunya bahan bakarku untuk menghadapi segala hal.
Tapi, aku pun tak tahu pikiran-pikiran itu masih penting atau tidak sekarang ini. Aku hanya bisa menikmati segala pertanyaan mengalir dalam pikiranku pagi hari ini, tepat diatas kasur, di kamar kostku. 
Sembari bermalas-malasan, kuperiksa HP-ku yang sekedarnya. Sudah aku perkirakan akan ada pesan-pesan yang masuk pagi ini. Ya, benar saja, ada 10 panggilan tak terjawab, dan 2 notifikasi chat lainnya.
"Selamat ulang tahun, Mbak. Usia Mbak Nana sekarang sudah 25. Semoga semakin bertambah bijak dalam hidup, sukses dalam karir serta senantiasa diberkahi Tuhan, Nak. Semoga segera menemukan Jodohmu yang terbaik"
Pesan itu dari Mama. Ya, hari ini aku berulang tahun. Mama memang tak pernah melupakan tanggal lahir anak-anaknya. Sebagai anak perempuan tertua di keluarga, setiap ada kesempatan menasehati dan mendoakanku, Mama juga tak pernah melupakan persoalan jodohku. Oh, Mamaku sayang, aku tak tahu kenapa sebegitunya ia mengkhawatirkan persoalan pasangan hidupku. Selama ini tak pernah aku tak menuruti harapan mama, mulai dari memilih sekolah, kuliah, dan kerja. Tapi jodoh? Siapa yang rela aku bohongi untuk menerimaku? Aku terlalu banyak berpura-pura selama ini, tapi tentu saja aku tak mau berbohong selamanya dengan asal-asalan milih suami hanya karena umurku, dan karena adikku yang ngebet pengin menikah itu. Aku tak ingin satu sangkar bersama orang yang hanya mengenal perkara tubuhku semata, lantas memutuskan menikah denganku.
“Naa ... Banguun! hari ini jadi ya, aku jemput jam 10”
Chat lain dari Hendri, pacarku. Aku memang punya pacar, itupun demi Mama. Bukan, kami tidak dijodohkan. Aku memang sengaja menerima Hendri rekan kantorku sebagai pacar untuk menenangkan hati mama. Aku tak mau banyak-banyak menghabiskan waktuku dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang jodoh setiap teman atau keluarga bertanya. Selain memang sebagai tameng agar tidak sembarangan orang mendekatiku jika aku tak punya pasangan. Tapi apakah aku mencintainya? Itu juga salah satu pertanyaan yang akupun tak mau tahu jawabannya. Yang ku ingat saat ini, hari ini aku diajaknya bertemu. Entah untuk apa, kukira dia akan memberiku hadiah, layaknya yang dilakukan lelaki pada umumnya. Tapi aku masih berbaring di tempat tidurku saat ini, menikmati segala pertanyaan yang hadir dan menerka-nerka segala kemungkinan untuk menjawabnya, dan kadang-kadang menertawainya.
Tapi kenapa orang-orang ini merayakan ulang tahun? Apa spesialnya putaran waktu itu? Ah, kupikir sepertinya memang begitu watak manusia. Manusia berusaha mencari dan membuat-buat makna terhadap segala peristiwa dan dengan khayalannya tentang makna mengapa manusia menyibukkan diri. Semua itu demi menutupi kenyataan bahwa hidup ini memang berjalan tanpa makna. Ah, tapi itupun hanya berlaku kalau manusia sempat mencari makna, Hendri ini, mana sempat? Kupikir dia pun hanya ikut-ikutan saja merayakan ulang tahunku hari ini. Dan aku tertawa dengan pikiran itu.
Aku biarkan Hendri yang di pikiranku itu mencari makna dan menyibukkan diri dengannya.Ya, memang bagaimanapun aku tak mau dan tak pernah tahu apa yang ada di pikirannya tentang hari ini atau apapun juga. Kupikir masing-masing manusia tak bisa diterka isi pikirannya. Di sana juga manusia benar-benar bebas dan tak perlu capek-capek berpura-pura. Di sana pulalah selama ini tempatku bersembunyi dari Mama, Hendri dan siapapun juga.
Di Depan Cermin

Aku beranjak dari kasur dan pikiranku itu, dan pergi ke kamar mandi. Setelah mencuci muka, kupandangi wajah dan tubuhku dalam-dalam didepan cermin. Aku memang suka berlama-lama di depan cermin karena disana aku dapat melihat wajah kedua orangtuaku secara bersamaan. Ya, beginilah jika wajah mama dan papaku digabung jadi satu. Setidaknya dengan melihat cermin itu sedikit meredakan rinduku kepada mama, dan di sana pula terdapat wajah papa yang entah seperti apa sebenar rupanya. Papa meninggalkan kami sejak aku masih kecil. Hanya di depan cermin aku bisa membayangkan kembali wajahnya. Dua wajah sekaligus, wajah yang aku rindukan sekaligus wajah yang sama sekali tak ingin aku temui. Untung saja wajahku ini kata orang-orang lebih banyak mirip mama.
Tapi kali ini aku tak terlalu ingin mengingat wajah mereka. Hari ini di depan kaca aku hanya berpikir “Ternyata beginilah rupanya memiliki wajah dan tubuh berusia 25 tahun”. Kupandangi wajahku, wajah yang kata Hendri cantik dan membuatnya tergila-gila ini. Kenapa orang menganggapnya cantik? kupandangi lagi tubuhku. Nah, memang aku selalu janggal melihat satu bagian tubuhku, payudaraku. Kenapa dari semua bagian tubuhku, tumpukan lemak lebih banyak bertumpuk disana? Ini juga mungkin yang membuat Hendri sebut “tergila-gila”. Oh Hendri yang malang, sama saja dengan lelaki yang lain.
Aku amati wajah dan tubuhku ini, dan aku ingat-ingat kembali apa yang telah aku lalui 25 tahun ini? dan aku ingat rupanya wajah dan tubuhku ini yang kadang merepotkanku juga selama ini. 
Sejak aku beranjak dewasa, aku memang harus kian memilah-milah teman dekat, atau setidak-tidaknya harus mengatur jarak terhadap teman-teman lelaki. Kenapa? selama 25 tahun usiaku ini, gara-gara kombinasi wajah mama dan papaku di mukaku dan kelebihan lemak di dadaku ini, ternyata banyak merusak hubungan-hubungan teman dekatku. Mulai dari merusak persahabatan antar kawan lelaki, hubungan dengan pacar sahabat-sahabatku, atau malah hubunganku dengan sahabat-sahabatku sendiri. 
Semua itu karena banyak dari mereka, lelaki yang sekedar melihat perempuan hanya wajahnya dan tubuhnya saja itu, berusaha mendekatiku. Ya memang aku berusaha bersikap baik kepada siapapun. Dan setelah beberapa masalah dengan sahabatku, aku berusaha menyesuaikan sikapku. Tapi apakah tubuhku pantas bersalah atas itu semua?
Kenapa dalam imajinasi para lelaki ini memasukkanku dalam kriteria cantiknya? Tentu saja itu bukan salahku. Tapi mereka, para industri kosmetik dan industri perawatan badan, sabun, gym dan sebagainya. Kenapa dalam masyarakat kita yang berkulit coklat dan bertubuh tak tinggi-tinggi amat ini mereka memasang iklan wanita berkulit putih dan berbadan tinggi langsing sebagai perempuan idealnya? Tentu saja itu semua mempengaruhi imajinasi mereka mengenai bagaimana perempuan yang ideal. Dan kebetulan saja semua kriteria itu ada padaku karena perkawinan mama dan papa, tanpa aku minta. 
Lagipula, kenapa sembrono mendekatiku? Tak tahukah mereka di dalam pikiranku, lelaki yang cara pandangnya sempit begitu, derajatnya paling rendah dan selama ini paling mudah aku bodohi. Entah penilaianku itu datang darimana, memang ketika aku merasa mereka mendekatiku, aku selalu teringat papa, lelaki yang tega-teganya meninggalkan aku dan mama hanya karena wanita lain. Dan aku muak mengingatnya kembali.
Kembali aku pandangi wajah dan tubuhku ini. Oh betapa sudah lamanya tubuh ini aku miliki. Semakin tumbuh membesar dan meninggi seiring bertumbuh pula pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku ini. Kupikir selama ini memang aku hanya bertambah tubuh membesar, namun jiwaku ini masih menguasai tubuh ini sepenuhnya, dengan sadar dan utuh. Ah, itu juga hal yang perlu aku syukuri hari ini. Kupikir hanya itu kebutuhan dasar manusia yang utama.
Lama kupandangi cermin ini, pantulan wajah dan tubuhku, aku lupa, rupanya ini juga yang membawa persoalanku sekarang ini, Mama yang ditawari mantu oleh teman-temannya, dan karena itu sekarang aku harus memacari Hendri agar tak repot-repot menjawab itu semua. Dan sekarang Hendri segera menghampiriku. Aku harus menemuinya. Aku mandi dulu.
Terakhir, meski aku tidak tahu berapa sebenarnya usia jiwaku yang melulu bertanya dan menerka apa saja ini, aku ingin mengucapkan kepada tubuhku dan hidupnya yang terbatas: Selamat ulang tahun ke 25 tubuhku yang kian membesar.
Share:

Rabu, 11 Juli 2018

Masyarakat Madani Indonesia dalam Buku Indonesia Kita (Cak Nur)

 
Hasil gambar untuk Indonesia Kita nurcholish
Penulis : Rizal Abdurrahman
 
 
Apa yang pertama kali muncul dipikiran anda ketika mendengar nama Nurcholis Madjid?  Tokoh intelektual muslim? Tokoh pembaharu Islam?  Tokoh kontroversial? Nama Nurcholis Madjid atau yang lebih familiar dipanggil Cak Nur ini memang sering dikenal sebagai tokoh yang idenya melampaui zamannya. Gagasan-gagasannya terutama tentang inklusifitas dan pluralisme yang ia kembangkan menuai banyak pembahasan baik yang mendukung ataupun menolak. Tapi sebenarnya siapa beliau ini?
Cak Nur lahir dari keturunan yang begitu kental dengan pesantren dan membuatnya mempelajari agama sejak kecil. Beranjak menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta, Cak Nur semakin aktif menggeluti bidang pembaharuan pemikiran Islam. Ia sempat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan satu-satunya yang pernah menjabat selama dua periode. Karya yang dihasilkan salah satunya adalah Nilai-nilai Dasar Perjuangan yang menjadi pedoman nilai dan kerangka organisasi HMI.

Setelah lulus kuliah ia tetap konsisten pada jalur yang dipilihnya, ia kemudian aktif dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), mempelopori terbentuknya Yayasan Paramadina, dan juga pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina serta masih banyak karya dan aktivitasnya. Cak Nur juga telah banyak menghasilkan berbagai buku seperti Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban, Pintu-Pintu menuju Tuhan dan banyak lagi.
Tapi kali ini saya ingin mengulas salah satu karya Cak Nur yaitu buku berjudul Indonesia Kita. Buku Indonesia Kita ini ditulis pada tahun 2003 ketika bangsa Indonesia sedang mengalami masa transisi demokrasi. Cak Nur sendiri merasa krisis multidimensi yang dialami Indonesia saat itu dikarenakan semakin sedikit orang yang sungguh-sungguh berpikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa.

Buku ini dimaksudkan untuk mengurai segala silang sengkarut krisis yang melanda bangsa. Cak Nur mengambil dari sudut yang memang jarang dipakai, Ia berusaha mengaitkan krisis multidimensional yang diderita bangsa dengan dinamika kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan bangsa.
Sesuai kapasitasnya sebagai pemikir Islam, Ia tentu tak meninggalkan sudut pandang Islam yang membuat buku ini menarik. Tak tanggung-tanggung, Cak Nur memulainya dari jaman puncak-puncak perkembangan peradaban Islam di dunia. Kebudayaan Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang kemudian menguasai bandar-bandar di kota pantai Nusantara.

Para saudagar Islam itu tak jarang jadi tempat menimba kearifan bagi masyarakat luas. Lahirlah kemudian model-model pondok awal dimana menjadi tempat menimba ilmu para santri. Konsep pondok kemudian berpadu dengan konsep padepokan yang ada dalam budaya Hindhu-Budha.
Ketika kolonialisme masuk ke wilayah Indonesia, para pemimpin rakyat, terutama para ulama yang memang secara ideologis dan genealogis merasa sebagai pewaris langsung para penguasa bandar dengan masyarakat perdagangannya, konsisten melakukan politik non-kooperasi total.

Hal itu bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi berhasil memelihara tingkat tinggi kepahlawanan bangsa, namun di sisi yang lain meminggirkan mereka dari arus utama interaksi sosial-budaya dan pedidikan yang semakin diungguli oleh pola interaksi modern.

Menurut Cak Nur, marginalisasi dan deprivasi ulama dan masyarakat pondok pesantren dalam bidang pendidikan merupakan salah satu sumber utama kesulitan sosial politik kelompok pewaris para wali bandar itu, justru setalah kemerdekaan bangsa yang mereka dambakan tercapai. Hal itu menjadi kesulitan lebih lanjut yakni kesulitan seluruh bangsa. “Pondok pesantren adalah batu sudut rumah (negara) yang diabaikan oleh para pembangun rumah itu”.
Perlawanan berabad-abad terhadap kolonialisme yang berlangsung sporadis atas dasar pertimbangan keagamaan dan dorongan kepentingan perdagangan megakibatkan perlawanan hanya terbatas pada wilayah-wilayah kecil tertentu, belum mencakup apa yang kita sebut sekarang sebagai dari Sabang sampai Merauke.

Kesadaran nasionalisme modern Indonesia baru mulai bersemi ketika Belanda melaksanakan politik etis kepada tanah jajahan Hindia-Belanda (Indonesia) yang dilakukan atas dorongan kaum sosialis, humanis dan reformis liberal di Eropa. Cak Nur menjelaskan bahwa kebijakan politik etis oleh Belanda yang akhirnya secara tanpa sengaja (tidak dimaksudkan demikian pelaksanaannya) menumbuhkan kesadaran bersama bagi kaum pribumi sebagai bangsa terjajah.

Mulai tumbuh organisasi-organisasi dari kaum pribumi, mengemuka pula bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu yang digunakan sebagai bahasa persatuan. Perjuangannya sudah tidak lagi sporadis kesukuan, keagamaan, atau kerajaan, namun sebagai satu kesatuan sebagai bangsa terjajah. Itulah apa yang disebut Cak Nur sebagai kesadaran nasionalisme modern, yang membedakannya dari nasionalisme klasik. 
Nasionalisme modern menurut Cak Nur semangat yang dibawanya begitu identik dengan konsep masyarakat Madinah pada periode kepemimpinan Nabi. Nasionalisme sejati dalam artian suatu paham yang memperhatikan kepentingan warga bangsa secara keseluruhan tanpa kecuali adalah bagian integral dari konsep Madinah yang dibangun Nabi.

Konsep nasionalisme modern yang demikian akan selaras dengan konsep masyarakat Madani apabila melaksanakan good governance secara konsekuen, yaitu pengelolaan yang baik yang bertumpu pada kemutlakan adanya transparansi, partisipasi terbuka, dan pertanggung jawaban atau accountable dalam semua kegiatan kenegaraan di setiap jenjang pengelolaan negara, sehingga terbentuk pemerintahan yang bersih.
Pada bab-bab selanjutnya Cak Nur berusaha mengaitkan konsep negara bangsa yang dicita-citakan para pendiri bangsa itu dalam prakteknya pada periode kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia tentu menarik segi positifnya sebagai peristiwa dan dinamika sejarah yang amat berharga, walaupun begitu menyeleweng terhadap cita-cita yang diusung sejak kemerdekaan.
Pada akhir tulisannya beliau menawarkan platform “Membangun Kembali Indonesia” untuk mengurai krisis multidemensional yang dialami. Dalam platform tersebut ada sepuluh poin yang ditawarkan Cak Nur, pertama mewujudkan Good Governance pada setiap lapisan pengelolaan negara, menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen, melaksanakan rekonsiliasi nasional, merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produksi dari bawah.

Selanjutnya mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi: kebebasan sipil khususnya pers dan akademik, dan pembagian tugas yang jelas antara tiga cabang kekuasaan, meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personel dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi, memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-bhinneka-an dan ke-eka-an, serta pembangunan otonomisasi, meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan negara, dan terakhir mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia.
Kelebihan buku ini bagi saya adalah pengambilan sudut pandang yang jarang dipakai oleh orang lain. Cak Nur menggali akar kebangsaan dengan sudut pandangnya yang konsisten sebagai seorang intelektual muslim. Hal ini menarik karena sangat membantu untuk memahami bagaimana seorang muslim, tanpa meninggalkan identitasnya itu, dapat menilai dan memaknai dialektika kesejarahan perkembangan bangsanya secara wajar dan konsisten.

Dengan begitu kita sebagai sebuah bangsa yang besar ini dapat mengambil pelajaran dari trial and error yang telah dilakukan para pendahulu, dalam arti bisa meneruskan apa yang baik dan mengevaluasi kegagalan yang ada tentunya dengan semangat yang sama seperti saat nabi memimpin madinah. Sehingga kita dapat secara bersama-sama merumuskan kembali pembangunan yang seperti apa yang paling baik untuk bangsa. 
Kurangnya buku ini bagi saya adalah pembahasannya yang masih sangat umum. Cakupan pembahasannya yang cukup luas hanya dibahas oleh Cak Nur dengan 215 halaman, yang menjadikan gagasannya tidak diulas mendalam.

Namun hal ini bisa dimaklumi saat mengetahui bahwa tujuan awal pembuatan buku ini adalah sebagai suatu rintisan yang ditunjukkan kepada siapapun yang mempunyai keprihatinan yang sama, khususnya generasi muda, agar dapat mengembangkan dan memperbaiki serta melaksanakan dengan memberikan tauladan sebaik-baiknya untuk warga masyarakat. 
Maka buku ini saya rekomendasikan agar dapat perhatian yang lebih kepada khalayak, terutama warga negara yang beragama Islam. Mengapa? Melihat tren sekarang ini menurunnya semangat kebangsaan dan mulai kembali melenceng dari jalur diakibatkan oleh para politisi yang mengalami split personality lalu akhirnya hanya memainkan politik identitas.

Akibatnya sekarang ini kita dipertontonkan dagelan identitas, identitas Pancasila dan identitas Islam, berebut siapa yang paling Islam dan siapa yang paling Pancasila seakan dua-duanya sangat dikotomis.

Politik yang hanya terbatas pada jubah akan sangat jarang sekali membawa nilai-nilai kebangsaan yang membawa kepentingan bersama sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa dan juga dicontohkan oleh Nabi. Menjadi sangat wajar jika politisi sekarang menyibukkan diri pada hal-hal identitas tanpa pertarungan gagasan, ide dan konsep yang mencerdaskan masyarakat.

Untuk meluruskan itu semua pembahasan-pembahasan konstruktif tanpa meninggalkan pengalaman sejarah dan kepentingan seluruh bangsa sangat diperlukan. Bagi saya Cak Nur telah merintis pembahasan itu dengan cerdas dalam buku ini, dan tugas kita sekarang untuk memahami, mengembangkan dan tentunya melaksanakan.
Share:

Minggu, 15 April 2018

Gangguan Mental dan Masyarakat Modern

Penulis : Rizal A
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan peristiwa-peristiwa beruntun tentang penyerangan ulama yang dilakukan oleh orang yang diduga mengalami gangguan kejiwaan. Peristiwa itu mencuat ke ruang publik kita di tengah panasnya suasana Pilkada. 
Kondisi itu memunculkan prasangka bahwa penyerangan itu seakan direncanakan oleh kelompok tertentu yang anti terhadap agamanya, bahkan beredar video yang mengintimidasi orang-orang dengan gangguan mental ini agar mengaku kader Partai Komunis Indonesia, partai yang telah lama dibubarkan di Indonesia.
Di daerah lain kita juga diperlihatkan bagaimana orang dengan gangguan mental sering diperlakukan tak manusiawi oleh masyarakat, salah satunya dengan cara dipasung. Bahkan di Mojokerto ditemukan orang dengan gangguan mental telah dipasung selama 25 tahun di tengah hutan. Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan betapa minimnya kesadaran masyarakat kita tentang orang dengan gangguan mental.
Minimnya pemahaman itu menyebabkan berbagai prasangka dan stigma negatif dimasyarakat tentang orang dengan gangguan mental, dan akhirnya secara sembarangan membentuk prasangka sesuai ketakutannya : PKI-lah, amoral-lah, kurang iman –lah, kesurupan jin-lah, dan lain sebagainya. 
Jika kita lihat lebih mendalam gejala gangguan kejiwaan sebetulnya tidak semata-mata muncul akibat faktor genetik atau keturunan maupun faktor kerusakan otak. Lebih dari itu, kondisi sosial dan lingkungan turut berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang. 
  
Mental Disorder dan Keberingasan Masyarakat Modern

Menurut Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial, gangguan kejiwaan hampir tidak pernah disebabkan hanya oleh satu sebab, namun kebanyakan oleh satu kompleks faktor penyebab. Kartini menyebutkan setidaknya ada tiga faktor yang saling berkelindan dalam masalah gangguan kejiwaan antara lain faktor organis / somatis, dalam hal ini kerusakan pada otak, bisa terjadi secara genetik, atau terjadi karena kecelakaan pada kepala, juga bisa terjadi kepada pecandu alkohol ataupun narkoba. 
Faktor kedua adalah psikis dan struktur pribadi, yaitu kecemasan, kesedihan, sakit hati, depresi, dan rendah diri. Hal bisa menyebabkan orang sakit secara kejiwaan, dan mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan disintegritas kepribadian. Pemasakan pengalaman dengan cara-cara yang keliru bisa membuat orang terganggu jiwanya, terutama apabila beban psikis lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban itu. 
Kondisi sosial atau lingkungan juga turut mempengaruhi kejiwaan seseorang. Pembangunan, modernisasi, urbanisasi menyebabkan kehidupan masyarakat modern menjadi kompleks, sehingga penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat menjadi sangat sulit. Akibatnya orang mengalami ketakutan, kecemasan, kebingungan, frustasi, konflik batin dan konflik sosial sosial terbuka dengan orang lain. 
Lebih lagi kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan rasa individualisme mengakibatkan kontak sosial di kota-kota menjadi sangat longgar. Masyarakat menjadi kesepian, kepanikan, ketakutan yang mengganggu ketenangan jiwa. Hal ini mengakibatkan mereka mengalami dekompensasi, derealisasi, dan depersonalisasi, yang dalam tahap lebih lanjut dapat berubah menjadi gejala neurosa. 
Gejala utama masyarakat modern adalah hilangnya penguasaan terhadap konflik-konflik dan kekalutan batin sendiri. Selain itu, munculnya gejala menutup diri dan egosentrisme yang ekstrim menyebabkan orang tidak lagi tersentuh sama sekali oleh kehadiran atau masalah orang lain. Akibat kekacauan dalam diri sendiri membuat mereka tidak tanggap terhadap keadaan lingkungan. 
Hal ini yang sebenarnya juga memperparah dampak dari gangguan kejiwaan itu sendiri. Masyarakat yang semakin individual tak peduli dengan kondisi kejiwaan lingkungannya, akibatnya secara sembarangan memberi stigma negatif terhadap mereka yang sebenarnya memiliki kebutuhan khusus, bahkan memperlakukan mereka secara tak manusiawi. 
Adalah ironi mengetahui data bahwa dari 400.000 orang dengan gangguan kejiwaan berat, 14,3 persen di antaranya atau 57.000 orang pernah atau saat ini dalam kondisi dipasung. Pada bulan Maret 2016, pemerintah mempublikasikan data bahwa ada sekitar 18.800 ODGJ yang masih dipasung di Indonesia 
Kondisi Kesehatan Mental di Indonesia 
Data-data umum tentang kondisi kesehatan mental nasional akan memberi gambaran lebih terang tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013 prevalensi gejala-gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun keatas mencapai 6 persen. Artinya sekitar 14 juta orang orang remaja dan dewasa Indonesia mengalami gangguan kejiwaan sedang dan ringan.[1]
Angka tersebut bukanlah angka yang sedikit, meski menurut dr. Fidijiansjah, sebagaimana dilansir dari Tirto, meyakini bahwa ketika pengujuannya dilakukan dengan metodologi yang lebih tajam dan melibatkan pakar khusus, maka realitanya bisa mencapai sekitar 20 persen. Jika memakai angka ini, bisa diartikan 1 dari 5 orang di Indonesia mengalami gangguan kejiwaan. 
Walau demikian, dengan angka 6 persen saja, secara global Indonesia saat ini sudah menempati urutan ke-4 dalam daftar negara-negara dengan tingkat depresi paling tinggi di dunia, dan menempati urutan ke-6 dalam hal gangguan kesehatan mental dan kejiwaan secara keseluruhan. 
Kondisi yang demikian diperburuk dengan minimnya pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Saat ini, hanya 30 persen saja dari 9.000 puskesmas di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya ada 249 dari total 445 rumah sakit uum di Indonesia yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa. 
Tenaga kesehatan jiwa pun masih sangat minim. Saat ini hanya ada 600 hingga 800 psikiater di seluruh Indonnesia. Bisa diartikan dengan angka itu seorang psikiater terlatih diharuskan menangani 300.000 sampai 400.000 orang. Itupun jika sebaran geografisnya merata, faktanya sebanyak 70 persen dari seluruh psikiater berada di Jawa dan 40 persen dari jumlah itu bekerja di Jakarta.[2]
Dari data diatas dapat diartikan sisi fasilitas pelayanan kesehatan mental dan jiwa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini belum ditambahkan dengan minimnya penyadaran kepada masyarakat tentang orang dengan gangguan kejiwaan, baik ringan sedang atau berat. 
Minimnya pengetahuan masyarakat dan stigma negatif terhadap mereka yang memiliki gangguan kejiwaan adalah salah satu penyebab orang dengan gangguan kejiwaan merasa tersisih dan semakin sendiri, bahkan merasa malu untuk sekedar pergi ke psikiater. Akhirnya banyak dari mereka mengkonsumsi obat-obatan, miras, bahkan dalam depresi yang semakin berat tak sedikit yang bunuh diri. 
Kurangnya pemahaman awam tentang gangguan kejiwaan tak hanya terjadi di Indonesia. Dari survei yang dilakukan Depression and Bipolar Support Alliance (DBSA) terhadap 1.200 responden Amerika mengenai pandangan awam tentang individu yang mengalami salah satu gangguan kesehatan jiwa bipolar, memberikan hasil bahwa di negara yang maju ini pun masih banyak yang belum tersadarkan dengan gangguan ini, yaitu dua per tiga responden menyatakan bipolar sebagai perilaku atau kebiasaan buruk yang melekat pada individu. 
Ruang Publik untuk Kesehatan Jiwa 
Disadari atau tidak pembangunan yang dipusatkan hanya pada kota turut andil dalam memperburuk masalah ini. Mereka yang pergi ke kota untuk menyambung hidup harus menyesuaikan diri dengan kondisi warga kota yang cenderung individualis, kontras dengan cara hidup di desa yang komunal. Kohesi sosial yang mengendur tak jarang mengakibatkan masyarakat tak siap menghadapinya. 
Kita dapat mengambil contoh data di kota Jakarta. Pada tahun 2017 peningkatan jumlah penghuni panti sosial yang dikelola oleh pemerintah daerah jumlahnya mencapai 174 persen, artinya panti yang hanya berkapasitas 1.700 orang, kini jumlahnya sudah mencapa angka 3.000 orang. 
Yang memprihatinkan adalah dari jumlah penderita gangguan mental itu 75 persennya adalah para pendatang dari luar ibukota. Angka ini boleh jadi disebabkan karena banyak pendatang yang tidak bisa bertahan dengan kerasnya persaingan dan persoalan ekonomi di ibukota, kemudian mengalami gangguan kesehatan mental dan akhirnya menjadi penghuni panti-panti sosial. 
Tata kota yang berpihak hanya pada kepentingan modal sebagai contoh memperluas penggunaan lahan untuk mall mengakibatkan menyempitnya ruang terbuka publik yang bisa diakses semua kalangan. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Juneman dalam risetnya yang dilansir oleh Tirto, bahwa pertumbuhan pesat mal di kota-kota besar di Indonesia menjadi biang menipisnya kohesi sosial antar warga kelas menengah atas dengan warga kelas menengah bawah. Juneman mengungkapkan Mal bukanlah ruang publik yang ideal sealigus menyehatkan bagi jiwa warga kota. 
Juneman juga menambahkan bahwa kecanduan warga perkotaan dengan penggunaan media sosial semakin mengakibatkan menipisnya kesempatan mereka untuk menguatkan kohesi sosial di dunia nyata. Dari risetnya ia menekankan bahwa ada relasi yang kuat antara kesehatan jiwa dengan penggunaan ruang publik yang mewadahi pertemuan riil antar warga kota. 
Hasil analisis riset menunjukkan tingkat pemanfaatan ruang terbuka publik bisa menyehatkan jiwa warga kota. Kesimpulan ini didapat setelah ditemukannya korelasi positif antara pemanfaatan ruang terbuka publik dengan kohesi sosial para partisipan dengan warga kota lainnya. Hubungan sosial yang meningkat membuat kondisi warga kota menjadi lebih stabil, menjauhkan dari rasa depresi yang berlebihan. 
Ruang publik yang ideal adalah yang bersifat inklusif alias bisa dimasuki dan diakses oleh orang-orang dengan berbagai latar belakang atnis ataupun sosial ekonomi. Komunikasi yang terjalin untuk menstimulus kohesi sosial juga tak mesti intensif, formal, dan terstruktur dengan orang atau kelompok yang sudah dikenal, melainkan bisa dimulai dengan sapaan dan obrolan singkat. 
Menghapus Stigma, Menjunjung Martabat 
Dari berbagai pemaparan diatas kita dapati bahwa kesadaran masyarakat tentang orang dengan gangguan kejiwaan masih sangat minim. Hal itu menimbulkan banyak stigma dan perlakuan negatif yang alih-alih memperbaiki kondisi malah jutru memperburuk kondisi. 
Kita dapat membantu mereka dengan menghilangkan stigma negatif terhadap orang dengan gangguan mental, mulai dari yang paling ringan dengan tidak membully mereka yang sedih berlebihan, mereka yang sering berubah mood, atau mereka yang gampang marah dan mudah meledak. Karena hal tersebut dapat memperburuk ondii kejiwaan si penderita. 
Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat kohesi sosial dengan saling sapa antar warga masyarakat, mengobrol ringan dengan para tetangga, menjenguk mereka yang sakit dan lain sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kesadaran bahwa kita semua tidak hidup sendiri. 
Sedangkan peran pemerintah bisa dilakukan dengan cara memperkuat pembangunan di desa dan tidak melulu di kota. Hal ini akan mengurangi angka urbanisasi yang mengakibatkan minimnya lapangan kerja di desa. 
Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan pembagian ruang yang imbang dalam penataan wilayah kota. Perluasan ruang terbuka publik bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kohesi sosial atar masyarakat.
Pencerdasan masyarakat terkait dengan orang dengan gangguan mental juga dapat menjadi solusi dari tindakan tak manusiawi masyarakat terhadap mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Dengan begitu kita dapat benar-benar melakukan revolusi (perbaikan) mental, dan bukan sebaliknya. 
Share:

Jumat, 30 Maret 2018

Kelas Menengah dan Perubahan Sosial

 
 
 
 
Jika Anda memiliki waktu luang untuk sekedar mengklik tautan yang menggiring Anda menuju kepada opini penulis ini, entah berasal dari Facebook, Twitter, Instagram, Line, atau Whatsapp, saya tebak Anda sudah memiliki cukup materi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum Anda seperti sandang, pangan, papan. 
Anda tidak sedang diteror keresahan memikirkan apa yang akan Anda makan esok hari, atau tidur dimana malam ini. Anda memiliki kemandirian ekonomi yang cukup, sehingga memiliki waktu yang cukup pula untuk sekedar mencari tahu (baca: kepo) kabar atau aktifitas teman dan keluarga lewat telepon genggam anda.

Bahkan Anda membutuhkan aktifitas lain itu untuk mengisi waktu luang anda. Jika semua tebakan itu tepat, ketahuilah bahwa kita (anda dan saya) masuk ke dalam golongan kelas menengah dan berpotensi melakukan perubahan sosial seperti yang dilakukan para pendahulu.
Pembagian Kelas dalam Perspektif

Setelah 72 tahun kemerdekaan diraih dari kaum penjajah, bangsa kita telah merasakan berbagai strategi pembangunan ekonomi yang digalakkan dari masa ke masa telah melahirkan aneka lapisan sosial-ekonomi baru. Berbeda dari zaman-zaman sebelum kemerdekaan yang menurut pisau analisis Clifford Geertz membagi kelas di Indonesia menjadi Trikotomi dalam masyarakat Indonesia yaitu kelompok priyayi, santri, dan abangan. Kini pembagian tersebut perlu dipertanyakan relevansinya.
Trikotomi dalam pembagian kelas sosial-politik Clifford Geertz memang sangat berharga untuk memberikan pemahaman bagaimana keadaan sosial Indonesia sebelum kemerdekaan. Setidaknya selain pembagian itu bermuatan politis juga bermuatan ekonomis. 
Kelompok priyayi adalah para birokrat yang menerima upeti dari kelas lain; kelompok santri adalah pemeluk agama islam yang taat dan berprofesi sebagai petani dan sebagian pedagang; sedangkan kelompok abangan adalah kelompok pemeluk agama Islam secara formil saja, kebanyakan adalah petani gurem dan buruh tani. Tentu pembagian ini sangat berharga sebagai pijakan analisis melihat peran politik, kekuatan ekonomi, dan perilaku sosial mereka.
Namun jika melihat situasi politik pasca kemerdekaan akan terlalu memaksakan jika tetap memakai pijakan analisis itu. Misalnya jika untuk melihat fenomena munculnya golongan sosial-ekonomi baru akibat kebijakan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi pada medio tahun 1980-an yang kemudian semakin meningkat proporsinya sampai sekarang. Kelompok ini diidentifikasikan sebagai kaum profesional, komunitas bisnis dan intelektual. Tentunya peran politik, kekuatan ekonomi dan perilaku sosial mereka berbeda dengan trikotomi yang diungkapkan Geertz di atas.
Jika kita memakai pisau analisis induk yang ada dalam sosiologi kita menemui dua kutub besar yaitu Marxian dan Weberian. Secara sederhana dapat dijelaskan dalam teori Marxian hanya ada dua kelas sosial yaitu kelas produktif yang dihisap yaitu kelas pekerja atau proletariat dan kelas tidak produktif yang menghisap yaitu kelas pemilik modal kapital. 
Karl Marx melihat bahwa dalam masyarakat kapitalis pemilikan atas modal dan alat-alat produksi akan mengalami proses konsentrasi dan sentralisasi di tangan para pengusaha besar. Tapi dalam tahapan kapitalisme industri selanjutnya Marx juga melihat eksistensi pengusaha-pengusaha kecil. Menurut pandangan ini petani dan pengusaha atau pedagang kecil adalah sisa-sisa kelompok masa ekonomi pra-kapitalis, itulah yang disebut sebagai “Golongan tengah”. Suatu kelas yang berbeda dengan Aristokrat dalam sistem feodal yang makin besar dan penting perannya dalam pertumbuhan kapitalisme.
Sedangkan dalam analisis Weberian membagi kelas sosial tidak hanya berpijak pada faktor ekonomi, tapi bisa diperluas tergantung oleh penguasaan alat produksi, kegiatan konsumsi, status sosial, kewibawaan, serta daya tawar dalam pasar.
Weber membagi kelas sosial menjadi lima yaitu (1) kelas pemilik di lapisan teratas yang identik dengan borjuis dalam Marxian, (2) kelas pekerja di tingkat bawah yang identik dengan proletar, (3) kelas intelegensia, (4) kelas manajer / administrator, dan (5) borjuis kecil yang dalam pandangan Marxian identik dengan strata peralihan.
Secara sederhana pula dua kutub besar dalam klasifikasi sosial memberi implikasi bahwa (1) Marxian menekankan pertentangan kelas yang begitu dikotomis, sedangkan Weberian menekankan kepentingan atau kemampuan diantara banyak kelas; (2) Marxian juga membawa bobot ideologis yang radikal dan secara ambisius menjangkau sebuah cakrawala perubahan sosial secara makro, sedangkan Weberian setia pada realitas empirik yang mikro dan majemuk.
Namun meskipun demikian, identifikasi Marx mengenai golongan tengah yang ia sebut sebagai petit bourgeuisie dan Weber mengenai kelas intelegensia dan administrator menyiratkan bahwa dua kutub itu pun mengembangkan teori “Golongan menengah baru” di era ekonomi pasar. Pijakannya tidak hanya ekonomi tapi berkembang pada politis sosiologis.
Dengan melihat perkembangan masyarakat saat ini kita tidak lagi melihat pembagian kelas atau klasifikasi namun berkembang menjadi stratifikasi sosial. Hal ini untuk melihat posisi seseorang dalam sistem sosial dimana Ia hidup, kesempatan hidup dan gaya hidup.
Titik pijaknya dengan melihat golongan masyarakat secara hierarkis dengan tekanan melihat ketidaksamaan dan kepincangan sosial dilihat dari (1) tingkat pendidikan, (2) pembagian kekayaan, (3) jenjang kekuasaan, (4) prestise, (5) umur, dan (6) entitas.
Perkembangan dan Potensi Kelas Menengah 

Memang tidak berlebihan ketika Samuel P. Huntington memandang kelas menengah memiliki potensi melakukan perubahan sosial. Menurutnya kelas menengah adalah mereka yang berpenghasilan ekonomi lebih dari cukup dan secara otomatis akan berbanding lurus dengan pendidikannya. Sehingga merekalah yang berperan besar membantu negara dalam pembangunan.
Kelas menengah dengan potensinya akan menciptakan lapangan kerja bagi warga negara yang lain, selain membantu negara memberikan pendidikan kepada mereka yang tidak mampu mengakses. Dalam dinamika kehidupan bernegara, karena kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara dalam negara demokrasi cenderung telah mereka pahami, mereka menjalankan fungsi check and balances demi dinamika demokrasi yang lebih baik. 
Di Indonesia dengan berbagai strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh para pemimpin kita tak dipungkiri telah menunjukkan hasil yang cukup baik jika dilihat dari segi berkurangnya kemiskinan. Saat ini menurut data World Bank, ada sekitar 52 juta orang Indonesia masuk kelas menengah. Artinya satu dari lima orang di Indonesia masuk dalam kategori kelas menengah. 
Sementara 45 persen penduduk lainnya merupakan yang ingin menjadi kelas menengah: mereka tidak lagi miskin atau rentan jatuh miskin. Bukankah ini sangat potensial untuk menciptakan apa yang dibayangkan Huntington, yaitu demokratisasi yang lebih baik di Indonesia?
Namun optimisme Samuel P. Huntington dalam memandang kelas menengah itu juga perlu kita kritisi bersama. Pandangan itu beranggapan bahwa kelas menengah adalah kelas yang monolitik, terdiri dari satu ragam. Dianggap punya watak, sifat, tabiat dan jati diri yang esensial. Nyatanya ketika kita melihat realita, kita melihat mereka yang berekonomi mapan mempunyai watak yang beragam. Ada yang memandang kelas menengah sebagai kelompok yang demokratis, bermoral tinggi, cerdas dan jujur. Di sisi lain ada pula yang menganggap mereka sebagai kelompok oportunis, penjilat, genit, atau hedonistik.
Memang terlalu naif jika kita menganggap kelas menengah ini mempunyai satu ragam watak tertentu. Hal ini karena watak juga sangat dipengaruhi gaya hidup, pendidikan dan kesadaran berdemokrasi dalam kelas menengah. Namun jika kita melihat potensi kelas menengah yang cenderung mandiri secara ekonomi dan merdeka dari intervensi politik pusat kita perlu optimis. 
Kian mapan dan kukuhnya institusionalisasi dan solidaritas kelas menengah tidak saja menjadi tulang punggung penggerak ekonomi bangsa namun juga sebagai motor penggerak masyarakat dalam berbangsa dan bernegara melalui peranan politiknya. Lagipula jika kita melihat perubahan-perubahan yang terjadi di dalam bangsa kita kebanyakan dimotori oleh kelas menengah. Hal ini wajar karena mereka punya dana, pikiran, sarana komunikasi, transportasi dan jaringan organisasi yang mampu menjadi kekuatan sosial yang besar.
Perubahan Sosial di Indonesia

Ilmu sosial Marxisme pernah meramalkan bahwa kelas pekerja (proletar) akan berperan sebagai aktor utama dalam perubahan tata sosial. Namun sejarah berkisah lain, harapan dan ramalan itu membuahkan kekecewaan bukan penggenapan. Perubahan sosial justru banyak dilakukan oleh kaum terdidik kota, hal yang juga terjadi di Indonesia.
Misalnya ketika melihat perkembangan kesadaran awal nasional Indonesia akan sulit menyangkal bahwa kesadaran itu tumbuh salah satunya akibat penerapan politik etis yang membuat kaum Inlander atau pribumi berkesempatan mengakses pendidikan. Kaum pribumi mulai belajar mengorganisasikan diri dengan mendirikan organisasi-organisasi pelajar, pers, serikat dagang dan lain sebagainya. 
Walaupun pendidikan dalam era politik etis masih sangat diskriminatif, yakni hanya kaum keturunan bangsawan yang diberi akses, namun mereka yang terpelajar tidak menggunakan kebangsawanannya dalam berorganisasi demi menciptakan kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran nasional. 
Hal ini dapat tercermin ketika melihat Tirto Adhi Soerjo, pengusaha pribumi terpelajar yang mulai menyadari peran penting Pers dan Organisasi dari kaum pribumi sendiri. Tirto mendirikan organisasi Sarekat Prijaji tahun 1906 meskipun tidak banyak berkembang karena kesadaran kaum priyayi yang kebanyakan masih bergaya pikir feodal. Ia juga menerbitkan surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907 yang kemudian menjadikannya sebagai Bapak Pers Indonesia. Tirto banyak disebut sebagai peletup awal kesadaran nasionalisme modern di Indonesia.
Tentu masih banyak lagi motor penggerak rakyat yang memang kebanyakan dari kaum menengah yang tidak memikirkan diri dan kelasnya sendiri. Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo pada tahun 1900, yang kemudian dalam perkembangannya diketuai oleh Tjokroaminoto dan berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI). Dari organisasi ini melahirkan banyak tokoh pendiri bangsa dan mengembangkan kesadaran nasionalisme lebih jauh lagi. 
Semakin banyaknya kaum terpelajar dan organisasi-organisasi yang didirikan oleh kaum Pribumi semakin menguatkan kesadaran nasional Indonesia, bahkan pada tahun 1928 para pemuda dan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul untuk berkongres dan mengucapkan sumpah bersama yang sekarang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. 
Sampai pada kemerdekaan politik Indonesia tiba, memang kalangan terpelajar mempunyai peranan penting dalam transformasi sosial di Indonesia, hal ini menjadikan dinamisnya pemikiran kebangsaan dari para pemimpin pergerakan di Indonesia. Bahkan pada masa awal pendirian Partai Nasional Indonesia didirikan pada akhir 1920-an, sang Dwitunggal Soekarno dan Hatta memiliki perbedaan yang agak kontras. 
Soekarno menekankan PNI untuk mengkonsolidasi massa rakyat sebanyak-banyaknya, sedangkan Hatta lebih menekankan untuk lebih menguatkan peran pendidikan terlebih dahulu. Hal ini menjadi perbedaan mendasar yang nantinya membuat mereka tak sepaham dan akhirnya perbedaan tersebut di kemudian hari menyebabkan Hatta mengundurkan diri dari wakil presiden pada tahun 1950an.
Setelah kemerdekaan politik diakui pada 1949 oleh komunitas internasional, baru banyak strategi ekonomi digencarkan, mulai dari nasionalisasi hingga Indonesianisasi perusahaan asing. Hal ini tentu semakin membuka sejarah awal proses menjamurnya kelas menengah di Indonesia. 
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada pertengahan tahun 65 dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok akibat krisis membuat keadaan ekonomi dan sosial tidak stabil. Pergerakan sosial untuk menuntut perubahan dimotori oleh mahasiswa dengan turun ke jalan dan membuat acara-acara protes yang kreatif. Hasilnya Orde Baru naik ke pemerintahan dengan dukungan kelas menengah Indonesia, yakni para mahasiswa, kaum intelektual, para teknokrat dan lain-lain. 
Namun begitu bulan madu Presiden Soeharto yang muncul berkat jasa kelas menengah tak berlangsung lama. Gelombang oposisi kelas menengah pun hadir untuk menyeimbangkan demokrasi. Pada tahun 1973-4 demonstrasi dan protes kelas menengah muncul akibat semakin meluasnya gap antara yang kaya dan miskin, serta meningkatnya pengangguran. Aksi protes ini kemudian ditanggapi secara represif oleh rezim Orde Baru, peristiwa ini disebut sebagai Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). 
Walaupun pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru banyak dipuji, namun cara-cara represif yang diterapkan selama masa Orde Baru yang membungkam banyak pergerakan sosial tentu memperburuk demokrasi. Hal ini di satu sisi memperbanyak kelas kelas menengah baik kuantitasnya maupun jenis-jenisnya. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan demokrasi yang seimbang. Akibatnya Check and balence antara warga negara dengan penguasa melemah, praktik-praktik biadab semacam korupsi, kolusi, dan nepotisme menjamur di kalangan elit pemerintahan. 
Hal itulah yang menyebabkan tidak hanya krisis ekonomi namun juga krisis sosial. Pada tahun 1998 krisis memuncak dan gerakan reformasi mendapat dukungan yang begitu luas baik dari kalangan menengah maupun kalangan bawah. Gerakan sporadis dalam reformasi tentu menyulitkan untuk memulai konsolidasi nasional kembali. Namun demokratisasi yang timbul karena reformasi memberi pijakan untuk kita membangun peradaban Indonesia lebih baik. 
Kelas Menengah Kekinian

Setelah hampir 20 tahun Era Reformasi telah kita lalui, banyak hal yang mesti kita evaluasi. Kelas menengah yang semakin banyak jumlahnya ternyata tidak begitu saja menjadi motor penggerak perubahan sebagaimana diharapkan. Demokratisasi yang diharapkan oleh gerakan reformasi dapat mempertinggi harkat rakyat banyak tidak berjalan secara konsekuen. 
Hal ini dapat dilihat misalnya dari sisi kepartaian. Meskipun partai politik begitu banyak di Indonesia, namun sistem perkaderannya masih begitu lemah kualitasnya. Mulai dari rekruitmen yang “asal populis” dan “asal banyak” namun pembinaan dan penanaman nilai tak pernah diperhatikan, serta elit partai yang membawa kebijakan partai begitu oportunis. Akibatnya adalah demokrasi tidak sehat dan praktik biadab korupsi, kolusi dan nepotisme justru semakin menyebar.
Dari sisi kemahasiswaan, komersialisasi pendidikan menyebabkan kampus tak kalah oportunisnya. Akibatnya mahasiswa yang selama ini jadi elitnya pemuda, terlalu nyaman dengan dunia akademiknya. Akibatnya mahasiswa yang minim aktivisme mudah terombang-ambing oleh isu politik yang ada. Tentu masih banyak lagi yang perlu kita perbaiki selama masa transisi demokrasi ini. 
Kelas menengah, seperti selama ini ada, sebenarnya mempunyai potensi yang begitu besar, apalagi di era yang semakin demokratis. Potensi ini akan berkembang luas jika mereka, sekali lagi seperti yang terjadi di masa lalu yaitu mampu mengorganisasikan diri dengan baik, mengenyam pendidikan, sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta tidak berpikir hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Keberpihakan memang sulit bagi yang sudah mencapai derajat kemapanan dan posisi yang nyaman dalam tata sosial yang ada. Namun semua itu tergantung kita pula, mau digunakan untuk apa segala potensi modal, pikiran, kelonggaran waktu, akses informasi dan pendidikan, sarana komunikasi yang kuat, transportasi, jaringan organisasi - singkat kata sumber daya- yang itu semua sulit diakses oleh kalangan bawah.
Bersediakah kita berbagi kesejahteraan pribadi demi kesejahteraan banyak warga negara lain yang kurang beruntung?
Share:

Rabu, 14 Maret 2018

Sektor Pinggiran Tak Seharusnya Dipinggirkan

Tb Arief Z-art
Gambar diambil dari: https://babadsurosowanilustrasikronologi.wordpress.com/2013/02/12/anak-miskin-menjaga-becak-bapaknya-di-kwitang-by-tb-arief-z-art/


Ketika dihadapkan pada maraknya pedagang kaki lima, penjual asongan atau pemulung di sekitar kita, banyak orang akan langsung terbayang suasana kumuh, mengganggu kenyamanan dan tak tertib aturan. Bayangan demikian tercipta akibat imaji palsu kita tentang lingkungan ideal yang diproduksi terus-menerus ala iklan perumahan elit dengan bahasa “penertiban” oleh aparat pemerintah.
Selama ini kehadiran mereka memang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apalagi di tengah gencarnya pertumbuhan ekonomi pemerintah yang berbasis sektor infrastruktur dan investasi baik dalam maupun luar negeri. Maka dari itu mereka sering disebut sektor pinggiran oleh beberapa kalangan, walau secara akademis disebut sebagai sektor informal.
Jika dilihat lebih dalam, kehadiran sektor ekonomi informal ini tidak bisa dilepaskan dari maraknya pembangunan yang belum berpihak masyarakat kebanyakan. Padahal perputaran ekonomi sektor informal inilah yang sekarang menampung tenaga kerja yang tidak bisa terserap di sektor formal.


Ambisi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial
Sejak masa kampanye pemerintah memang menargetkan angka yang ambisius untuk perbuhan ekonomi nasional, yaitu mencapai angka 7 persen.[1] Angka pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat dicapai dengan meningkatkan investasi dan memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Dua resep yang dominan itulah yang selama ini dianggap akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Untuk menarik calon investor, pemerintah memprioritaskan sektor infrastruktur untuk mencapai target pertumbuhan dan investasi. Sampai tahun 2019, pemerintah menargetkan penyelesaian 1.000 km jalan tol baru, 3.200 km jalur kereta api, 15 bandara baru, dua lusin pelabuhan, 33 bendungan dan pembangkit listrik yang mampu menghasilkan sekitar 35.000 megawatt listrik—cukup memasok listrik kepada sekitar lima juta orang.[2]
Masih hangat juga di ingatan berbagai cara dan kebijakan pemerintah untuk mengusahakan pertumbuhan ekonomi mulai dari mencabut berbagai peraturan daerah yang dianggap berpotensi menghambat investasi, melancong ke berbagai negara untuk mengundang calon investor di negara lain atau meliberalisasi sektor-sektor publik menjadi privat.
Terlepas dari targetan pertumbuhan ekonomi yang meleset tiap tahunnya, kita menangkap pola bahwa konsep pembangunan yang diterapkan sekarang memang cenderung menonjolkan pertumbuhan ekonomi, dimana seperti yang kita ketahui, pemerintahan yang demikian kebanyakan melupakan pemerataan. Disadari atau tidak model pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi selalu berimbas pada kemunculan beberapa masalah sosial, seperti kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan rendahnya kesempatan kerja.
Faktanya angka kesenjangan ekonomi kita memang masih memprihatinkan. Di tengah angka pertumbuhan ekonomi yang masih bertengger di angka 5 persen, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi kita juga masih tinggi, yaitu 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Angka tersebut hanya bisa disaingi oleh Rusia, India, dan Thailand.[3]
Pertumbuhan ekonomi memang cukup stabil, namun hal ini tidak diiringi dengan pembagian pendapatan yang merata. Sebuah ironi bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Data lain yang perlu diperhatikan negara kita masuk pada peringkat 7 crony capitalism menurut data Bank Dunia, hampir dua per tiga harta kekayaan konglomerat Indonesia didapat dari hasil bisnis yang berkolaborasi dengan penguasa. Istilah Crony capitalism sendiri di dunia ekonomi kerap diartikan untuk menyebut pengusaha yang kesuksesan bisnisnya didapat karena kedekatan hubungannya dengan pemerintah.
Soal pemerataan pendapatan di sektor agraria juga terdapat ketimpangan yang tak kalah memprihatinkan. Bank Dunia menyebutkan 304 perusahaan besar di Indonesia menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Bandingkan angka ini dengan 23,7 juta petani Indonesia yang hanya memiliki luas tanah 21,5 juta hektare lahan.[4] Dari beberapa angka itu kita mendapat gambaran bagaimana pertumbuhan ekonomi nasional kita tak diikuti dengan distribusi pendapatan yang merata.


Penyerapan Tenaga Kerja dan Sektor Pinggiran
Sebagai negara dengan total penduduk sekitar 255 juta orang, Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat keempat di dunia. Hal tersebut juga menyebabkan banyaknya angkatan kerja yang di Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah angkatan kerja pada Agustus 2017 mencapai 128 juta angkatan kerja.
Namun dari banyaknya angkatan kerja tersebut, masih banyak yang belum terserap sempurna ke lapangan pekerjaan, masih terdapat 7 juta angkatan kerja yang menganggur. Jika dilihat lebih jauh, penyerapan tenaga kerja kita memang mengalami tren penurunan.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) penyerapan tenaga kerja dari investasi yang masuk ke Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2015, masuknya investasi baru mampu menyerap 900 ribu pekerja. Pada tahun 2016 angka ini justru turun menjadi 700 ribu pekerja dan pada bulan Juni 2017 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan kembali menjadi hanya 250 ribu pekerja.[5]
Tren penurunan tersebut mengkhawatirkan sekaligus membuktikan bahwa investasi yang digenjot pemerintah juga belum selaras dengan penyerapan tenaga kerja. Ketidakmampuan sektor utama dalam menyerap tenaga kerja itu menyebabkan konsekuensi meningkatnya angkatan kerja sektor informal.
Sektor informal menjadi penyangga dalam penyerapan tenaga kerja yang secara umum tak terserap di sektor formal, terlebih mereka yang tak terpengaruh dampak secara langsung pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yaitu mereka yang bermodal & berpendidikan rendah, keterampilan terbatas, dan kaum marginal.
Adalah hal yang menarik bahwa sifat dari ekonomi informal ini tidak membutuhkan modal yang besar, menggunakan bahan setempat, dan tidak membutuhkan keterampilan tinggi ini justru relatif tidak sensitif terhadap gejolak perekonomian internasional.
Sektor informal bisa dikatakan lebih mandiri dari gejolak ekonomi internasional disebabkan karena barang-barang yang dijajakan biasanya merupakan barang dan jasa yang dibutuhkan sehari-hari. Selain itu hasil dari sektor pinggiran juga dikonsumsi oleh mereka yang bekerja di sektor formal.
Contoh kecil dalam hal ini adalah ketika pulang para pekerja formal harus naik ojek, becak, angkutan umum untuk menuju rumahnya. Ketika haus para pekerja di sektor formal dapat membeli es kelapa muda di pinggir jalan, atau saat lapar pekerja sektor formal bisa makan ketoprak di warung, sembari membeli surat kabar dari para penjaja koran.
Dari kacamata yang lebih umum, peran sektor informal tidak hanya sebagai penampung kelebihan tenaga kerja pada saat program pembangunan berjalan timpang namun juga dalam saat situasi krisis dan ledakan pengangguran. Hal ini pernah terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998.
Krisis ekonomi menyebabkan industri besar yang saat itu paling diuntungkan dalam proses pembangunan (karena bergantung pada sektor impor) harus berhenti beroperasi. Imbasnya dari ekonomi yang carut marut, inflasi yang tinggi, menyebabkan banyak terjadi informalisasi tenaga kerja (Informalisation of Labour) disebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi.  
Sedangkan disisi lain, sektor informal yang memiliki karakter teknologi sederhana, berbahan baku lokal, modal relatif kecil dan kemudahan beroprasi menjadi subur. Keberpihakan pemerintah pada sektor ini akan menjadi senjata yang ampuh untuk meredam gelombang pencari kerja ketika krisis terjadi.

Pembangunan atau Pemiskinan?
Data dan fakta di atas memperlihatkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak selalu selaras dengan pemerataan pendapatan. Meningkatnya investasi yang digadang-gadang jadi syarat pertumbuhan ekonomi tak berpengaruh banyak terhadap penyerapan tenaga kerja, bahkan secara bertahap menurun dari tiga tahun terakhir.
Di sisi lain sektor informal mempunyai peran penting dalam menampung berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal itu, terutama bagi mereka yang tak kena dampak dari program pembangunan pemerintah. Pemerataan pendapatan lewat sektor informal mempunyai peran penting dalam mempersempit gap kesenjangan yang masih tinggi di Indonesia.
Walau demikian, sektor informal selalu dilihat sebelah mata karena tiadanya bantuan ataupun proteksi ekonomi. Untuk itu diperlukan upaya memberdayakan sektor informal, karena akan berakibat langsung dalam kesejahteraan dikalangan ekonomi lemah.
Pendapat yang mengatakan bahwa mereka merupakan residual, sampah masyarakat yang harus disingkirkan dikarena menggangu ketertiban, perlu ditinggalkan. Tindakan penertiban pemerintah daerah terhadap kelompok sektor informal haruslah bertujuan menaikkan derajat hidup mereka, bukan pengusiran yang tak manusiawi dan justru berdampak pada semakin bertambahnya penderitaan hidup masyarakat kecil.
Jika demikian yang selama ini terjadi, perlu diperiksa kembali pendengaran kita apakah yang sering disebut-sebut oleh pemerintah itu? Pembangunan atau pemiskinan?



[1]https://www.merdeka.com/uang/ambisi-pemerintah-jokowi-ekonomi-tumbuh-7-persen-dalam-lima-tahun.html
[2] https://www.matamatapolitik.com/ambisi-pembangunan-infrastruktur-indonesia-memakan-korban-nyawa/
[3] https://kumparan.com/manik-sukoco/lebarnya-ketimpangan-ekonomi-indonesia
[4]http://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/03/09/p5bb8o384-abraham-samad-kesenjangan-ekonomi-indonesia-mengkhawatirkan
[5]http://bisnis.liputan6.com/read/3163787/penyerapan-tenaga-kerja-akan-meningkat-di-2018-ini-alasannya
Share:

Rabu, 28 Februari 2018

Hujan Marah Apa Sebabnya?



https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/39/Washington_Allston_-_Elijah_in_the_Desert_-_Google_Art_Project.jpg/250px-Washington_Allston_-_Elijah_in_the_Desert_-_Google_Art_Project.jpg
Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Elia


Dengarkah? Jantungku menyerah, Terbelah di tanah yang merah, Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering. Melemah dan melemah ... Hujan, hujan jangan marah”

Sepenggal lirik dari Grup Band Efek Rumah Kaca (ERK) yang berjudul Hujan jangan marah  diatas menggambarkan penantian seseorang akan datangnya hujan saat/setelah kemarau panjang. Seorang itu mengharap pada kemurahan Hujan agar mengguyur haus tanah, yang berbahasa melalui belahan tanah disawahnya yang merah. Meminta hujan untuk tidak marah dan menghukum Sang Petani. Dengan lagu ini, ERK ingin menyampaikan suara sumbang dari mereka yang paling tak berdaya menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata.

Petani pada Cuaca yang Tak Menentu
Hari-hari ini Ironi seperti yang disuarakan oleh ERK dalam lagu Hujan Jangan Marah itu semakin nyata. Kejadian ini sedang dialami oleh para petani di daerah Aceh. Sekitar 150 haktare tanaman padi milik  warga di Tiga Desa, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, teracam gagal penen akibat dilanda kekeringan. Bahkan tanaman padi yang telah ditanam sejak Desember 2017 lalu, tidak mau tumbuh lagi akibat minimnya air meski telah dibantu dengan mesin pompa. Di Wilayah lain, rendahnya curah hujan akan mengakibatkan potensi terjadinya bencana kebaran hutan. Dari data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mulai akhir februari sampai maret 9 wilayah yang akan berpotensi mengalami kejadian itu, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur.

Kerugian yang dialami akibat bencana kekeringan di Aceh, dialami pula oleh para petani di wilayah kabupaten Pacitan, Wonogiri dan Gunung Kidul, walaupun dengan kondisi yang agak berbeda. Diwilayah-wilayah selatan pulau jawa itu banyak mengalami gagal panen akibat fenomena tanah amblas yang justru disebabkan oleh tingginya intensitas hujan semenjak Januari lalu di pulau Jawa. Para petani harus menanggung kerugian, jangankan memetik hasil, lahan pun sudah tidak bisa digarap lagi.

Akhir-akhir ini memang kita berada pada cuaca yang tak menentu.Sementara di wilayah Jawa Februari hingga Maret diprediksikan merupakan puncak-puncaknya musim hujan, di daerah lain curah hujan justru begitu rendah. Anomali cuaca seperti sekarang ini tentu paling berdampak kepada mereka yang mengandalkan hidupnya pada musim dan cuaca, seperti petani dan nelayan.

Menaiknya Suhu dan Berubahnya Iklim Global
Secara umum, memang kondisi demikian tidak hanya dialami oleh wilayah yang ada di Indonesia saja. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kenaikan panas yang dialami secara global semenjak tahun 1901 mencapai 0,89◦C, sedangkan di kawasan Asia Tenggara sendiri tercatat temperatur naik pada kisaran 0,4 – 1◦C. Bahkan menurut prediksi dalam laporan tersebut di wilayah Asia tenggara kenaikan temperatur akan mencapai 1,5-2◦C pada tahun 2046-2065 mendatang. 

Apa akibat naiknya temperatur? Curah hujan diperkirakan akan meningkat di negara-negara seperti Indonesia dan Papua Nugini, sedangkan di negara-negara lain seperti Thailand, Laos, Myanmar, Kamboja dan Vietnam, curah hujan diperkirakan akan menurun sebesar 10 % - 20 % dibulan Maret sampai Mei. Walaupun secara keseluruhan data memperlihatkan bahwa curah hujan akan naik, namun terdapat pengecualian di wilayah barat daya Indonesia.

Kenaikan suhu secara global tak hanya mengakibatkan membesarnya kemungkinan gagal panen bagi petani, namun juga pada mereka yang menggantungkan perekonomiannya pada kondisi laut. Pemanasan global mengakibatkan kenaikan air laut dikarena mencairnya Es di Kutub. Dari laporan Jurnal Nature yang dipublikasikan pada tahun 2015, menemukan bahwa antara 1901 ke 1990 rata-rata permukaan air laut global naik sebanyak 1,2 milimeter per tahun, sedangkan dari 1990 ke 2010 angkanya melejit hingga 3 milimeter. Lebih menarik lagi jika melihat  laporan Bank Dunia dengan judul “Turn Down the  Heat    Climate  Extremes,  Regional  Impacts  and  the  Case  for  Resilience” menunjukkan bahwa kawasan pesisir pantai di Asia Tenggara akan mengalami kenaikan 10-15 % lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kenaikan muka air laut global. Bahkan diperkirakan tahun 2050 kenaikan permukaan air laut  akan mencapai 50 cm dan pada tahun 2090 mencapai 100 cm.

Kenaikan air laut memperbesar meningkatnya bencana aquaculture, juga menghambat tangkapan ikan bagi nelayan. Perubahan ilkim juga akan berimbas pada pariwisata dikawasan pantai. Diprediksikan kawasan asia akan mulai kehilangan keanekaragaman hayati berupa terumbu karang hingga 88% akibat dari pemutihan yang akan dimulai tahun 2030. Sebuah data yang menyedihkan bagi Petani dan Nelayan.

Eksploitasi alam dalam Industrialisasi
Ada yang menarik dari perubahan iklim yang seakan begitu mengancam ini, yaitu bahwa kenaikan suhu global ini bersifat antropogenik, artinya tidak terjadi secara alamiah tetapi sebagai hasil dari kegiatan manusia. Penyebab utamanya adalah emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Kurang lebih 60% dari seluruh peningkatan emisi karbon dioksida disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak, dan ga bumi); sedangkan hampir 20% diakibatkan oleh pengelolaan tanah terutama maraknya pembabatan hutan. 

Jika melihat kenyataan itu, maka negara-negara Industri maju secara sejarah bertanggungjawab atas hampir 80% peningkatan karbon dioksida di Bumi. Selain itu juga negara-negara berkembang yang secara ekonomi mulai menunjukkan kemajuan yang pesat akibat mengekor cara-cara industrialisasi yang dilakukan terlebih dahulu di negara maju, seperti Tiongkok, menunjukkan tingkat emisi absolut yang tinggi.

Perubahan iklim yang kita alami sekarang ini merupakan dampak dari model kegiatan ekonomi dan peradaban yang menggunakan energi secara intensif, serta dalih peningkatan perekonomian yang mengiringinya, yang harus kita akui hanya bisa dinikmati segelintir saja penduduk bumi. Laporan dari Postdam Institute for Climate Impact Researce (PIK) menunjukkan korelasi yang sangat tinggi antara jumlah kepemilikan modal suatu negara dengan tingkat jumlah emisi Karbon Dioksidanya. Dengan demikian kita bisa sedikit mengerti gambaran dosa emisi karbon dari negara-negara industri yang kaya kepada manusia, daerah, dan negara miskin yang paling rentan menerima dampak dari perubahan iklim global yang semakin nyata.

Kondisi ini diperparah dengan percepatan penyebaran model kegiatan ekonomi dan peradaban negara-negara industri seperti ini keseluruh pelosok bumi melalui globalisasi. Konsekuensinya semakin banyak saja negara-negara berkembang yang meniru jalur pembangunan seperti itu dan berhasil walaupun, tentu saja, disertai konsumsi energi yang tinggi dan peningkatan kembali emisi Karbon Dioksida di bumi yang semakin cepat. Mereka yang kalah dan tidak mengikuti jalur pertumbuhan ekonomi yang demikian, sampai saat ini tersisihkan dari proses pertumbuhan kemakmuran.

Saat ini negara-negara di dunia mulai menyadari bahwa dunia ini mempunyai batas, pertumbuhan ekonomi ada batasnya, demikian pula dengan akumulasi modal. Apa akibat jika batas ini dilanggar? punahlah bumi sebagai satu-satunya tempat tinggal manusia. Isu pemanasan global ini penting untuk menunjukkan bahwa untuk tetap bisa hidup di bumi secara lestari, maka pola produksi, distribusi dan konsumsi seperti sekarang ini harus dipotong sekitar 80% menjadi 20% saja. Apabila kita tetap mau mempertahankan pola produksi, distribusi dan konsumsi seperti sekarang, maka manusia  memerlukan lima planet seperti bumi, jika itu mungkin.

Apakah hujan semata-mata marah?

Kembali pada anomali cuaca di Indonesia. Kemarahan hujan yang diakibatkan oleh tinggi dan rendahnya curah hujan di berbagai wilayah di Indoesia, tanpa mengkerdilkan dampaknya, ternyata hanya sebagian saja akibat dari perubahan iklim yang sedang dialami bumi secara keseluruhan. Waktu-waktu kedepan, jika tidak ada kemauan bersama untuk mengubah pola produksi, distribusi dan konsumsi dari tatanan dunia sekarang, tidak hanya hujan yang akan  marah, namun sangat mungkin juga lautan, bumi dan udara, singkatnya alam, yang akan murka pada manusia. 

Dari data-data diatas kita mengetahui bahwa alam yang diciptakan dengan hukum-hukum yang pasti itu ada batasnya, sedangkan keserakahan manusia tiada batasnya. Kesadaran bahwa perubahan iklim di dunia saat ini semakin nyata tentu semakin meyakinkan kita, bahwa saat ini penduduk bumi mengalami penderitaan bukan semata-mata dari bencana yang alamiah, namun akibat perbuatan manusia sendiri terhadap buminya. Dan selama penderitaan itu datang dari manusia, dan bukan bencana alam, ia pun pasti bisa diubah pula oleh manusia. 

Hal itu bisa ditempuh, selain dengan kehendak bersama dari pemerintahan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengurangi emisi karbon dioksida,  kesadaran etis untuk memperhatikan alam dalam berkehidupan juga harus ditanamkan dalam masyarakat sipil. Hal itu menjadi tugas tidak hanya pendidik formal, tetapi terutama pemuka agama yang lebih mempunyai pengaruh secara etis dalam masyarakat, disamping itu orientasi pembangunan juga harus terus melibatkan kelompok miskin selama ini paling rentan terdampak oleh perubahan iklim. Dengan begitu, kita bisa mengindari kemarahan hujan.

Share:

About

FIRMAN HARI INI