• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Jumat, 14 Juli 2017

Milenial dan Demokrasi Gincu



Dengan pakaian kuning dan gincu merah, nampak kontras mahasiswa semester 6  Ilmu Komunikasi Universitas Paramida ini memasuki panggung Indonesia Lawyers Club TV ONE. Tsamara namanya. dengan begitu luwesnya si cantik ini mengemukakan pendapatnya mengenai kesalahan pikir politisi Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah. Menarik membahas Tsamara ini yang sekarang sedang naik daun dan diperbincangkan sebagai wakil generasi milenial. Berawal dari Tweetwar-nya (Perang Twiter) dengan Fahri Hamzah tentang isu pemberantasan korupsi yang bagi Tsamara argumentasi yang dibangun Fahri dalam cuitan-cuitan ditwitter tidak logis. Kawan sekalian bisa simak perbincangan lebih lanjut mereka terkait hal ini di Youtube.
Yang sebenarnya lebih menggelitik bagi saya adalah jawaban Fahri terhadap kritik-kritik itu. tidak secara jelas menjawab apa yang dikritik oleh Tsamara, justru jawaban Fahri “Ini adalah kritik dari perwakilan generasi milienial generasi sebelumnya”. yang juga menggeltik adalah penilian fahri terhadap generasi milenial yang berpikir elementer. bagaimana generasi milenial itu?
Generasi ini di periodekan lahir pada kurun waktu  1980 sampai 2000. Generasi dimana media dan internet sedang berkembang sangat cepat. Genrasi ini tumbuh ditengah kemajuan teknologi digital yang membuat naluri digitalisasi seakan tertanam sejak dalam kandungan. Mereka diakui sebagai generasi yang cerdas dan melek teknologi maka generasi ini di gambarkan mudah belajar dan beradaptasi. Hidup diera yang serba digital membuat Mereka sangat mandiri dan tidak tergantung lagi perjumpaan untuk mengekspresikan gagasannya atau mengetahui perkembangan jaringan sosialnya. Ruang dan waktu untuk berkomunikasi tidak lagi menjadi hambatan karena semua dapat diatasi dengan WA, Instagram, twitter atau Facebook.  Generasi millenial lebih terkesan individual, cukup mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai-nilai materialistis, dan kurang peduli untuk membantu sesama jika dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya pada saat usia yang sama. Mengapa? Sembilan puluh persen generasi milenial berinteraksi dengan internet, sehingga kaki hidup mereka tidak menginjak tanah. Ada sekat yang memisahkan mereka antara dunia nyata dan dunia maya. Tambahan juga, kalau kata fahri hamzah, generasi ini hidup di era media, juga glorifikasi (pemujaan?) terhadap hero-hero di sosial media. maka generasi ini berfikir “agak”  elementer. Saya tidak tahu apa yang dimaksud fahri dengan “elementer” ini.
Entah apapun maksud Fahri, generasi ini memang dicekoki oleh media, dan itu sangat wajar karena memang mereka (termasuk saya) sangat akrab dengan teknologi digital. Tsamara ini memang sangat pas bagi saya dianggap sebagai generasi milenial yang demikian. Karna Si Cantik Tsamara muncul ke media karena isu yang berkembang dimedia sosial, dan berita berita digital yang berkembang saat itu yaitu isu pemberantasan korupsi. Dengan twittwarnya dia berhasil memasuki panggung ILC. Terlepas dari pembahasan entah media yang membutuhkan dia atau dia yang memang pantas di tampilkan, bagi saya tetap saja Isu-isu yang ditonjolkan di media sama semakaili tidak menyangkut apa yang diresahkan masyrakat. Dengan pasar yang membutuhkan figur atau isu yang bisa menjual dan karakter generasi milenial yang apolitis alias tidak terlalu peduli dengan relasi sosial dimasyarakatnya komplitlah sudah sampah-isasi peradaban yang kita jalani ini.
Mari kita sedikit keluar dari teori atau idealisme perencanaan yang hampir omong kosong, dan mulai melihat permasalahan bangsa kita dari fakta dan realitas. Bisa kita paparkan yang sangat terasakan akhir-akhir ini adalah Tarif dasar listrik pada pelanggan 900 VA yang biasanya digunakan oleh masyarakat berpenghasilan menengah kebawah naik secara berkala dari Rp. 605/kWh pada 1 Januri 2017 kemarin menjadi Rp. 790/kWh, pada 1 Maret naik lagi menjadi Rp. 1.090 /kWh, 1 Mei naik jadi Rp. 1.352/kWh Dan terakhir 1 Juli setelah merayakan idul fitri kemarin TDL kembali naik menjadi Rp. 1.467,28 per kWh. Tentu hal ini memberatkan masyarakat, mengingat kebutuhan saat-saat seperti ini adalah memasuki tahun ajaran baru dimana pasti butuh kelengkapan sekolah baru.
Penderitaan lain lagi dialami oleh para nelayan yang dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang melarang penggunaan cantrang dalam menangkap ikan, padahal di Jawa Tengah saja sekitar 15 ribu kapal cantrang. untuk mengganti cantrang dengan alat tangkap gillnet membutuhkan biaya sekitar Rp. 1,5 miliar. belum lagi kalau pakai alat yang lebih mahal. untuk memesannya pun nelayan butuh waktu sekitar satu sampai dua tahun karena memesan jarningnya dahulu. Penderitaan nelayan ini bisa kita perpanjang dengan keadaan nelayan yang pantainya terkena proyek reklamasi. yang jelas pendapatn mereka menurun. ataupun masalah-masalah yang lain.
Harga naik tak terkira yang oleh pemerintah dianggap “hanya pencabutan subsidi”. sedangkan penghasilan masyarakat, terlebih masyarakat kecil tetap adanya. Disamping itu juga kita dihadapkan pada keadaan cuaca yang tidak menentu. Tentu ketidakpastian cuaca mengacu ritme hidup pertaniah, dan membuat bingung para petani. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh pemanasan global yang beberapa tahun terakhir kita mulai rasakan dampaknya. yang jelas selain pemanasan global ini menurunkan pendapatan nelayan dan petani yang hidupnya sngat bergantung pada alam,  pemanasan global juga menyebabkan ancaman kesehatan dan produktivitas menurun. Setidaknya begitu kata beberapa artikel yang saya baca.
Yang jelas lagi masalah-masalah masyarakat yang sedemikian terasakan sangat memerlukan tindakan politik yang mengena dan tak boleh terlambat. Tapi apa yang kita bisa lihat dalam pemberitaan politik nasional kita? Pemerintah getol mengusik kebebasan berserikat warganya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti-Undang-Undang tentang Organisasi maasyarakat. Hal ini bisa kita cermati melihat rencana pembubaran salah satu oragnisasi yang dianggap “bertentangan” dengan “Pancasila”-nya pemerintah. Bahkan tak tanggung-tanggung, Pemerintah dalam Perppu nya itu berniat memenjarakan warga negaranya yang menjadi  anggota/pengurus “organisasi” tersebut minimal 5 Tahun maksimal seumur hidup. luar biasa.
Disisi lain kita juga justru disuguhkan karupsi yang merajalela oleh mega-korupsi E-KTP, pelemahan lembaga yang sangat dipercaya oleh masyarakat KPK, konflik antar lembaga antara KPK dan DPR dan masalah-masalah lain yang tidak berhubungan dengan penyelesaian masalah yang dirasakan masyarakat. Para pejabat dan politikus ini seakan terjerumus dalam pencarian dan penegakan pencitraan, padahal pada saat yang seperti ini masyarakat lebih membutuhkan kompetensi daripada citra. Tak heran msyarakat menjadi semakin muak terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan politik nasional
Walau kita harus bersyukur atas demokrasi yang kita capai, namun kritis tetap boleh dilakukan, bahkan harus. Kita harus mengakui demokrasi yang sekarang terlaksana adalah demokrasi yang suka bersolek atau bergincu. Artinya demokrasi itu tak mengakat pada masalah riil yang ada di Mayarakat. hanya pandai bermain citra. Demokrasi yang begini berbahaya juga, mengapa? karena akan tercerabut dari prinsip dasarnya, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab. dan kebertanggungjawabannya ini bisa diukur seharusnya lewat kompetensi menyelesaikan masalah-msalah yang dihadapi masyarakat.
Kemuakan masyarakat terhadap ulah eksekutif, legislatif dan yudikatif kita yang dilahirkan oleh sistem demokrasi ini mendukung kecenderungan masyarakat dalam melupakan segala cita-cita bernegara. Kalau pandangan terhadap demokrasi merosot hal ini menjadi celah bagi sebuah siapapun untuk melayani diri sendiri, mereka yang menawarkan ideologi yang lain daripada pancasila akhirnya akan diberi kesempatan untuk memasarkan ideologinya. Terlepas dari laku atau tidaknya ideologi yang ditawarkan, bagi saya karena melihat kemuakan masyarakat terhadap kondisi politik dan ketidakpedulian pemerintah terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, sangat sah untuk mereka memasarkan ideologi alternatif itu. Sebab ketidakpedulian masyarakat terhadap  tujuan bernegara tenggelam menjadikan masyarakat yang individual pasif alias konsumeristik. Perasaan kebangsaan dan solidaritas sebagai warga negara yang masih memiliki kekurangan semakin menipis. Maka kemudian berkembanglah bangsa yang berdiri disatu pihak atas egois-egois konsumeris, dan dipihak lain fanatis-fanatis.
Poin saya, kembali kemasalah Si Cantik Tsamara dan Fahri yang muncul ke panggung ILC karena twittwarnya menunjukkan bahwa  era baru kekuatan media semakin nampak didepan mata, berkaitan dengan karakter generasi milenial yang seakan apolitis alias tidak peduli dengan politik hal itu disebabkan bukan saja karena otentisitas generasi tersebut, namun memang dipengaruhi oleh media, dan saya kira terutama karena kemuakan terhadap kelakuan pejabat-pejabat produk demokrasi gincu. Tsamara yang bergincu merah itu pun saya kira harus mulai mengurangi pegang gedgetnyadan coba belajar survey harga cabe dipasar atau beli ikan langsung ke nelayan dan berinteraksi juga dengan mereka. ndak cuma fokus mainan twitter melulu. Kalau mainnya balas twit saya sih gamasalah. hehe
catatan juga lebih-lebih aktivis generasi milenial terpelajar yang ingin merebut ruang publik tersebut juga jangan kikuk dengan keadaan. Mulailah merebut ruang itu pula, belajar dari Tsamara, kalau memang sebegitunya paradigma generasi milenial berlaku.

Referensi:
sebagai generasi milenial tentu saja beberapa artikel dan berita-berita di Internet.
artikel Franz-Magnis berjudul “Pancasila 2010” di buku rindu pancasila.
artikel Sinshunata “Demokrasi Kenes-kenesan” majalah basis.
Share:

About

FIRMAN HARI INI