• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Rabu, 28 Februari 2018

Hujan Marah Apa Sebabnya?



https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/39/Washington_Allston_-_Elijah_in_the_Desert_-_Google_Art_Project.jpg/250px-Washington_Allston_-_Elijah_in_the_Desert_-_Google_Art_Project.jpg
Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Elia


Dengarkah? Jantungku menyerah, Terbelah di tanah yang merah, Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering. Melemah dan melemah ... Hujan, hujan jangan marah”

Sepenggal lirik dari Grup Band Efek Rumah Kaca (ERK) yang berjudul Hujan jangan marah  diatas menggambarkan penantian seseorang akan datangnya hujan saat/setelah kemarau panjang. Seorang itu mengharap pada kemurahan Hujan agar mengguyur haus tanah, yang berbahasa melalui belahan tanah disawahnya yang merah. Meminta hujan untuk tidak marah dan menghukum Sang Petani. Dengan lagu ini, ERK ingin menyampaikan suara sumbang dari mereka yang paling tak berdaya menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata.

Petani pada Cuaca yang Tak Menentu
Hari-hari ini Ironi seperti yang disuarakan oleh ERK dalam lagu Hujan Jangan Marah itu semakin nyata. Kejadian ini sedang dialami oleh para petani di daerah Aceh. Sekitar 150 haktare tanaman padi milik  warga di Tiga Desa, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, teracam gagal penen akibat dilanda kekeringan. Bahkan tanaman padi yang telah ditanam sejak Desember 2017 lalu, tidak mau tumbuh lagi akibat minimnya air meski telah dibantu dengan mesin pompa. Di Wilayah lain, rendahnya curah hujan akan mengakibatkan potensi terjadinya bencana kebaran hutan. Dari data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mulai akhir februari sampai maret 9 wilayah yang akan berpotensi mengalami kejadian itu, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur.

Kerugian yang dialami akibat bencana kekeringan di Aceh, dialami pula oleh para petani di wilayah kabupaten Pacitan, Wonogiri dan Gunung Kidul, walaupun dengan kondisi yang agak berbeda. Diwilayah-wilayah selatan pulau jawa itu banyak mengalami gagal panen akibat fenomena tanah amblas yang justru disebabkan oleh tingginya intensitas hujan semenjak Januari lalu di pulau Jawa. Para petani harus menanggung kerugian, jangankan memetik hasil, lahan pun sudah tidak bisa digarap lagi.

Akhir-akhir ini memang kita berada pada cuaca yang tak menentu.Sementara di wilayah Jawa Februari hingga Maret diprediksikan merupakan puncak-puncaknya musim hujan, di daerah lain curah hujan justru begitu rendah. Anomali cuaca seperti sekarang ini tentu paling berdampak kepada mereka yang mengandalkan hidupnya pada musim dan cuaca, seperti petani dan nelayan.

Menaiknya Suhu dan Berubahnya Iklim Global
Secara umum, memang kondisi demikian tidak hanya dialami oleh wilayah yang ada di Indonesia saja. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kenaikan panas yang dialami secara global semenjak tahun 1901 mencapai 0,89◦C, sedangkan di kawasan Asia Tenggara sendiri tercatat temperatur naik pada kisaran 0,4 – 1◦C. Bahkan menurut prediksi dalam laporan tersebut di wilayah Asia tenggara kenaikan temperatur akan mencapai 1,5-2◦C pada tahun 2046-2065 mendatang. 

Apa akibat naiknya temperatur? Curah hujan diperkirakan akan meningkat di negara-negara seperti Indonesia dan Papua Nugini, sedangkan di negara-negara lain seperti Thailand, Laos, Myanmar, Kamboja dan Vietnam, curah hujan diperkirakan akan menurun sebesar 10 % - 20 % dibulan Maret sampai Mei. Walaupun secara keseluruhan data memperlihatkan bahwa curah hujan akan naik, namun terdapat pengecualian di wilayah barat daya Indonesia.

Kenaikan suhu secara global tak hanya mengakibatkan membesarnya kemungkinan gagal panen bagi petani, namun juga pada mereka yang menggantungkan perekonomiannya pada kondisi laut. Pemanasan global mengakibatkan kenaikan air laut dikarena mencairnya Es di Kutub. Dari laporan Jurnal Nature yang dipublikasikan pada tahun 2015, menemukan bahwa antara 1901 ke 1990 rata-rata permukaan air laut global naik sebanyak 1,2 milimeter per tahun, sedangkan dari 1990 ke 2010 angkanya melejit hingga 3 milimeter. Lebih menarik lagi jika melihat  laporan Bank Dunia dengan judul “Turn Down the  Heat    Climate  Extremes,  Regional  Impacts  and  the  Case  for  Resilience” menunjukkan bahwa kawasan pesisir pantai di Asia Tenggara akan mengalami kenaikan 10-15 % lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kenaikan muka air laut global. Bahkan diperkirakan tahun 2050 kenaikan permukaan air laut  akan mencapai 50 cm dan pada tahun 2090 mencapai 100 cm.

Kenaikan air laut memperbesar meningkatnya bencana aquaculture, juga menghambat tangkapan ikan bagi nelayan. Perubahan ilkim juga akan berimbas pada pariwisata dikawasan pantai. Diprediksikan kawasan asia akan mulai kehilangan keanekaragaman hayati berupa terumbu karang hingga 88% akibat dari pemutihan yang akan dimulai tahun 2030. Sebuah data yang menyedihkan bagi Petani dan Nelayan.

Eksploitasi alam dalam Industrialisasi
Ada yang menarik dari perubahan iklim yang seakan begitu mengancam ini, yaitu bahwa kenaikan suhu global ini bersifat antropogenik, artinya tidak terjadi secara alamiah tetapi sebagai hasil dari kegiatan manusia. Penyebab utamanya adalah emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Kurang lebih 60% dari seluruh peningkatan emisi karbon dioksida disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak, dan ga bumi); sedangkan hampir 20% diakibatkan oleh pengelolaan tanah terutama maraknya pembabatan hutan. 

Jika melihat kenyataan itu, maka negara-negara Industri maju secara sejarah bertanggungjawab atas hampir 80% peningkatan karbon dioksida di Bumi. Selain itu juga negara-negara berkembang yang secara ekonomi mulai menunjukkan kemajuan yang pesat akibat mengekor cara-cara industrialisasi yang dilakukan terlebih dahulu di negara maju, seperti Tiongkok, menunjukkan tingkat emisi absolut yang tinggi.

Perubahan iklim yang kita alami sekarang ini merupakan dampak dari model kegiatan ekonomi dan peradaban yang menggunakan energi secara intensif, serta dalih peningkatan perekonomian yang mengiringinya, yang harus kita akui hanya bisa dinikmati segelintir saja penduduk bumi. Laporan dari Postdam Institute for Climate Impact Researce (PIK) menunjukkan korelasi yang sangat tinggi antara jumlah kepemilikan modal suatu negara dengan tingkat jumlah emisi Karbon Dioksidanya. Dengan demikian kita bisa sedikit mengerti gambaran dosa emisi karbon dari negara-negara industri yang kaya kepada manusia, daerah, dan negara miskin yang paling rentan menerima dampak dari perubahan iklim global yang semakin nyata.

Kondisi ini diperparah dengan percepatan penyebaran model kegiatan ekonomi dan peradaban negara-negara industri seperti ini keseluruh pelosok bumi melalui globalisasi. Konsekuensinya semakin banyak saja negara-negara berkembang yang meniru jalur pembangunan seperti itu dan berhasil walaupun, tentu saja, disertai konsumsi energi yang tinggi dan peningkatan kembali emisi Karbon Dioksida di bumi yang semakin cepat. Mereka yang kalah dan tidak mengikuti jalur pertumbuhan ekonomi yang demikian, sampai saat ini tersisihkan dari proses pertumbuhan kemakmuran.

Saat ini negara-negara di dunia mulai menyadari bahwa dunia ini mempunyai batas, pertumbuhan ekonomi ada batasnya, demikian pula dengan akumulasi modal. Apa akibat jika batas ini dilanggar? punahlah bumi sebagai satu-satunya tempat tinggal manusia. Isu pemanasan global ini penting untuk menunjukkan bahwa untuk tetap bisa hidup di bumi secara lestari, maka pola produksi, distribusi dan konsumsi seperti sekarang ini harus dipotong sekitar 80% menjadi 20% saja. Apabila kita tetap mau mempertahankan pola produksi, distribusi dan konsumsi seperti sekarang, maka manusia  memerlukan lima planet seperti bumi, jika itu mungkin.

Apakah hujan semata-mata marah?

Kembali pada anomali cuaca di Indonesia. Kemarahan hujan yang diakibatkan oleh tinggi dan rendahnya curah hujan di berbagai wilayah di Indoesia, tanpa mengkerdilkan dampaknya, ternyata hanya sebagian saja akibat dari perubahan iklim yang sedang dialami bumi secara keseluruhan. Waktu-waktu kedepan, jika tidak ada kemauan bersama untuk mengubah pola produksi, distribusi dan konsumsi dari tatanan dunia sekarang, tidak hanya hujan yang akan  marah, namun sangat mungkin juga lautan, bumi dan udara, singkatnya alam, yang akan murka pada manusia. 

Dari data-data diatas kita mengetahui bahwa alam yang diciptakan dengan hukum-hukum yang pasti itu ada batasnya, sedangkan keserakahan manusia tiada batasnya. Kesadaran bahwa perubahan iklim di dunia saat ini semakin nyata tentu semakin meyakinkan kita, bahwa saat ini penduduk bumi mengalami penderitaan bukan semata-mata dari bencana yang alamiah, namun akibat perbuatan manusia sendiri terhadap buminya. Dan selama penderitaan itu datang dari manusia, dan bukan bencana alam, ia pun pasti bisa diubah pula oleh manusia. 

Hal itu bisa ditempuh, selain dengan kehendak bersama dari pemerintahan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengurangi emisi karbon dioksida,  kesadaran etis untuk memperhatikan alam dalam berkehidupan juga harus ditanamkan dalam masyarakat sipil. Hal itu menjadi tugas tidak hanya pendidik formal, tetapi terutama pemuka agama yang lebih mempunyai pengaruh secara etis dalam masyarakat, disamping itu orientasi pembangunan juga harus terus melibatkan kelompok miskin selama ini paling rentan terdampak oleh perubahan iklim. Dengan begitu, kita bisa mengindari kemarahan hujan.

Share:

Minggu, 18 Februari 2018

HMI Menyambut Generasi Baru



Hasil gambar untuk hmi

Tujuh puluh satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 5 Februari 1947 di Jogjakarta, berkumpul mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII) untuk menyiapkan kelahiran organisasi mahasiswa sebagai penyalurkan aspirasi mahasiswa Islam. Pertemuan tersebut diinisiasi oleh pemuda bernama Lafran Pane yang kelak diberikan gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Hasil pertemuan  tersebut menandakan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan komitmen yang dirumuskan dalam dua tujuan HMI yaitu mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang baru saja merdeka serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama islam. Kelahiran HMI tak lepas dari semangat keislaman dan keindonesiaan yang begitu  kental sejak kelahirannya.
Berbagai Kritik terhadap HMI
Sejak berdirinya, HMI telah memberi andil yang tidak sedikit bagi bangsa Indonesia, namun demikian sebagai organisasi yang telah puluhan tahun mengabdi untuk republik tentu tidak bisa dilepaskan dari kritik dari berbagai pihak. Sebagai contoh Agus Salim Sitompul sejarawan HMI merumuskan ada “44 Indikator Kemunduran HMI” di dalam bukunya yang terbit pada tahun 2008. Kritik lain juga pernah disampaikan oleh Nurcholis Madjid tokoh pembaharu muslim yang sempat menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode. Cak Nur melihat bahwa jika HMI tidak berubah dan memperbaiki diri lebih baik HMI bubar saja.
Tentu masih banyak lagi kritik yang dilayangkan kepada HMI, baik itu dari anggotanya sendiri, alumni, ataupun dari pihak luar HMI. Hal ini wajar karena melihat besarnya angota dan lamanya organisasi ini telah berdiri. Kritik ini juga bisa dilihat sebagai pekerjaan rumah organisasi mahasiswa yang akan melaksanakan Kongres dalam waktu dekat ini. Pada prinsipnya kita harus melihat kritik sebagai sarana untuk mawas diri, sehingga kita dapat melihat secara jujur sejauh mana HMI berfungsi dan berperan. Mau dibawa kemana Himpunan ini? Mana yang diprioritaskan? Saya memilih untuk optimis terhadap kondisi himpunan ini.
Penyusunan kerangka kerja organisasi haruslah melihat dan menekankan pada ­basic need umat dan bangsa Indonesia sebagaimana tujuan awal HMI berdiri dan peranannya dalam mengisi kemerdekaan. Awal berdirinya HMI bangsa Indonesia masih dalam masa Revolusi dimana rakyat masih disibukkan dengan mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Maka yang dibutuhkan pada masa itu adalah sosok Intelektual muslim yang bercirikan Solidarity Maker, seorang pemimpin yang dapat mengorganisir massa untuk bersatu mempertahankan kedaulatan baik ancaman dari dalam dan luar negeri, maka HMI saat itu lebih bercorak sebagai organisasi massa.
Kemudian pada masa membangun sejak Orla hingga sekarang, yang dibutuhkan bangsa ini adalah Intelektual muslim yang bercirikan Problem Solver tipe Administrator yaitu kader yang cakap menguasai ilmu pengetahuan yang diimbangi dengan iman/akhlak sehingga mampu melaksanakan tugas kemanusiaan.
Dengan demikian HMI harus mengorientasikan diri lebih kepada fungsinya sebagai organisasi kader, sehingga corak politis yang kerap menempel di tubuh anggota HMI beralih dari perkaderan politik yang bersifat jangka pendek (politik praktis), menjadi politik perkaderan yang mengorientasikan investasi jangka panjang, untuk menyuplai dan mempersiapkan kebutuhan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas insan cita. Pertanyaannya kemudian adalah, setelah 71 tahun HMI berdiri apa yang dibutuhkan oleh Umat Islam dan bangsa Indonesia menghadapi generasi baru ini?
 Menyambut i-Generation
Reformasi pada tahun 1998 telah membuka keran keterbukaan dan kemudahan akses informasi yang menciptakan pola generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kurang lebih setelah dua puluh tahun reformasi hadir di negeri ini, sekarang anak-anak yang lahir setelah era keterbukaan tersebut telah memasuki telah menjadi mahasiswa baru di kampus-kampus. Generasi yang mempunyai corak baru ini acapkali disebut sebagai Generasi Z atau I-Generation.
I-Generation ini adalah anak-anak yang lahir pada medio 1990-an, dimana intenet sudah mulai masuk di Indonesia dan memasuki era keterbukaan informasi. Psikolog Elizabeth T. Santosa berpendapat salah satu karakter I-generation yang lahir di era digital ini adalah keterikatan mereka dengan dunia digital dan informasi, mereka juga tidak lagi sebagai warga negara Indonesia saja namun juga menjadi komunitas berskala besar dalam sebuah jaringan media dan teknologi,
Selain itu dalam buku Milennials and I-generation Life menyatakan bahwa cara generasi I mengakses informasi terbilang sangat intens. Rata-rata dari mereka mengakses internet 3-5 jam per-hari lewat smartphone mereka. Hal ini tentu menyiratkan bahwa HMI perlu melakukan penyusunan strategi yang tepat untuk mengakomodir potensi I-Generation ini.
HMI tidak bisa lagi menggunakan cara lama dalam menjalankan roda organisasi dan tidak merangkul generasi baru ini, sebab menjadi boomerang tersendiri jika HMI tidak melihat Student need dan Student Interest-nya sendiri, yaitu generasi I.
Memasuki era Bonus demografi dan masalah Pengangguran
Selain dari corak generasi yang memiliki perbedaan dengan generasi sebelumnya. Ada yang juga perlu diperhatikan oleh HMI untuk mempersiapkan investasi kader-kadernya yaitu masalah Bonus Demografi. Sejak tahun 2012 lalu sampai 2035, Indonesia akan menghadapi bonus demografi dimana struktur penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada penduduk yang berusia tidak produktif (dibawah 15 dan diatas 64 tahun).
Menurut data BPS, mulai tahun 2020 nanti komposisi penduduk akan mencapai 70 persen usia produktif dan 30 persen saja penduduk berada diusia tidak produktif. Artinya, apabila dalam rumah terdapat 4 orang, 3 diantaranya berada di usia produktif. Hal ini tentu menjadi keuntungan apabila dipersiapkan dan dimanfaatkan dengan baik, walaupun juga bisa menjadi boomerang apabila tidak dipersiapkan dengan baik oleh semua elemen masyarakat Indonesia.
Di sisi lain masih terdapat sejumlah persoalan dalam mempersiapkan bonus demografi. Data BPS menunjukkann sektor formal kita hanya menyerap 60 persen tenaga kerja secara keseluruhan, artinya sektor ini belum bisa secara maksimal menyerap tenaga kerja kita. Yang juga menjadi ironi adalah masalah pengangguran di tanah air, dimana lulusan pendidikan tinggi (diploma/sarjana) justru menyumbang 13,44 persen dari jumlah pengangguran yang ada. Dari data itu kita dapat melihat bahwa lulusan pendidikan tinggi saja ternyata tidak menjamin pekerjaan.
Sejumlah masalah diatas ini harus menjadi perhatian HMI jika ingin terus mencetak kader umat kader bangsa. HMI yang selama ini dikenal sebagai kawah candradimuka bagi mahasiswa juga harus mempersiapkan kadernya untuk menghadapi tantangan bangsa ke depan secara optimis.
Memang tidak mudah namun di usianya yang semakin matang tantangan ini dapat dijawab HMI dengan berbagai cara antara lain menjawab modernisasi organisasi dengan penguasaan teknologi informasi untuk menyiapkan kader generasi I, mengoptimalkan lembaga profesi yang ada di HMI untuk menyiapkan kader yang profesional saat terjun di masyarakat dan kemampuan berwirausaha bagi kader HMI yang berbasis nilai nilai Islam adalah beberapa hal yang harus segera dilakukan HMI dalam waktu dekat.
Selamat Milad HMI ke-71 dan Selamat berkongres, Yakin Usaha Sampai.
 
Share:

About

FIRMAN HARI INI