Hari ini aku bangun lebih siang dari biasa. Selain memang tidak ada
agenda minggu pagi ini, aku merasa tubuhku berhak untuk bermalas-malasan
lebih lama setelah membersihkan kamar kost semalam. Ah, sebenarnya pun
aku tak suka kamar ini, terlalu nyaman buatku. Aku jengkel ketika kamar
ini membuatku semakin malas menghadapi dunia luar. Di luar pintu kost
itu rasanya segala perilaku telah berubahh sedemikian palsu. Aku tak
tahu, apakah semua orang juga merasa palsu, berupaya membahagiakan satu
sama lain sembari menyumpahi satu sama lain dalam hatinya?
Entahlah, aku tak mau memikirkannya lebih jauh. Pagi ini aku lebih ingin
mensyukuri saja segala yang masih kumiliki, kepada Tuhan, atau entah
apa sebutannya. Bangun pagi, masih sempat malas-malasan, ah itu juga
sesuatu yang harus disyukuri hari ini. Kupikir dalam hidupku yang entah
bermakna entah tidak ini, bersyukur adalah satu-satunya bahan bakarku
untuk menghadapi segala hal.
Tapi, aku pun tak tahu pikiran-pikiran itu masih penting atau tidak
sekarang ini. Aku hanya bisa menikmati segala pertanyaan mengalir dalam
pikiranku pagi hari ini, tepat diatas kasur, di kamar kostku.
Sembari bermalas-malasan, kuperiksa HP-ku yang sekedarnya. Sudah aku
perkirakan akan ada pesan-pesan yang masuk pagi ini. Ya, benar saja, ada
10 panggilan tak terjawab, dan 2 notifikasi chat lainnya.
"Selamat ulang tahun, Mbak. Usia Mbak Nana sekarang sudah 25. Semoga
semakin bertambah bijak dalam hidup, sukses dalam karir serta senantiasa
diberkahi Tuhan, Nak. Semoga segera menemukan Jodohmu yang terbaik"
Pesan itu dari Mama. Ya, hari ini aku berulang tahun. Mama memang tak
pernah melupakan tanggal lahir anak-anaknya. Sebagai anak perempuan
tertua di keluarga, setiap ada kesempatan menasehati dan mendoakanku,
Mama juga tak pernah melupakan persoalan jodohku. Oh, Mamaku sayang, aku
tak tahu kenapa sebegitunya ia mengkhawatirkan persoalan pasangan
hidupku. Selama ini tak pernah aku tak menuruti harapan mama, mulai dari
memilih sekolah, kuliah, dan kerja. Tapi jodoh? Siapa yang rela aku
bohongi untuk menerimaku? Aku terlalu banyak berpura-pura selama ini,
tapi tentu saja aku tak mau berbohong selamanya dengan asal-asalan milih
suami hanya karena umurku, dan karena adikku yang ngebet pengin menikah
itu. Aku tak ingin satu sangkar bersama orang yang hanya mengenal
perkara tubuhku semata, lantas memutuskan menikah denganku.
“Naa ... Banguun! hari ini jadi ya, aku jemput jam 10”
Chat lain dari Hendri, pacarku. Aku memang punya pacar, itupun
demi Mama. Bukan, kami tidak dijodohkan. Aku memang sengaja menerima
Hendri rekan kantorku sebagai pacar untuk menenangkan hati mama. Aku tak
mau banyak-banyak menghabiskan waktuku dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang jodoh setiap teman atau keluarga bertanya.
Selain memang sebagai tameng agar tidak sembarangan orang mendekatiku
jika aku tak punya pasangan. Tapi apakah aku mencintainya? Itu juga
salah satu pertanyaan yang akupun tak mau tahu jawabannya. Yang ku ingat
saat ini, hari ini aku diajaknya bertemu. Entah untuk apa, kukira dia
akan memberiku hadiah, layaknya yang dilakukan lelaki pada umumnya. Tapi
aku masih berbaring di tempat tidurku saat ini, menikmati segala
pertanyaan yang hadir dan menerka-nerka segala kemungkinan untuk
menjawabnya, dan kadang-kadang menertawainya.
Tapi kenapa orang-orang ini merayakan ulang tahun? Apa spesialnya
putaran waktu itu? Ah, kupikir sepertinya memang begitu watak manusia.
Manusia berusaha mencari dan membuat-buat makna terhadap segala
peristiwa dan dengan khayalannya tentang makna mengapa manusia
menyibukkan diri. Semua itu demi menutupi kenyataan bahwa hidup ini
memang berjalan tanpa makna. Ah, tapi itupun hanya berlaku kalau manusia
sempat mencari makna, Hendri ini, mana sempat? Kupikir dia pun hanya
ikut-ikutan saja merayakan ulang tahunku hari ini. Dan aku tertawa
dengan pikiran itu.
Aku biarkan Hendri yang di pikiranku itu mencari makna dan menyibukkan
diri dengannya.Ya, memang bagaimanapun aku tak mau dan tak pernah tahu
apa yang ada di pikirannya tentang hari ini atau apapun juga. Kupikir
masing-masing manusia tak bisa diterka isi pikirannya. Di sana juga
manusia benar-benar bebas dan tak perlu capek-capek berpura-pura. Di
sana pulalah selama ini tempatku bersembunyi dari Mama, Hendri dan
siapapun juga.
Di Depan Cermin
Aku beranjak dari kasur dan pikiranku itu, dan pergi ke kamar mandi.
Setelah mencuci muka, kupandangi wajah dan tubuhku dalam-dalam didepan
cermin. Aku memang suka berlama-lama di depan cermin karena disana aku
dapat melihat wajah kedua orangtuaku secara bersamaan. Ya, beginilah
jika wajah mama dan papaku digabung jadi satu. Setidaknya dengan melihat
cermin itu sedikit meredakan rinduku kepada mama, dan di sana pula
terdapat wajah papa yang entah seperti apa sebenar rupanya. Papa
meninggalkan kami sejak aku masih kecil. Hanya di depan cermin aku bisa
membayangkan kembali wajahnya. Dua wajah sekaligus, wajah yang aku
rindukan sekaligus wajah yang sama sekali tak ingin aku temui. Untung
saja wajahku ini kata orang-orang lebih banyak mirip mama.
Tapi kali ini aku tak terlalu ingin mengingat wajah mereka. Hari ini di
depan kaca aku hanya berpikir “Ternyata beginilah rupanya memiliki wajah
dan tubuh berusia 25 tahun”. Kupandangi wajahku, wajah yang kata Hendri
cantik dan membuatnya tergila-gila ini. Kenapa orang menganggapnya
cantik? kupandangi lagi tubuhku. Nah, memang aku selalu janggal melihat
satu bagian tubuhku, payudaraku. Kenapa dari semua bagian tubuhku,
tumpukan lemak lebih banyak bertumpuk disana? Ini juga mungkin yang
membuat Hendri sebut “tergila-gila”. Oh Hendri yang malang, sama saja
dengan lelaki yang lain.
Aku amati wajah dan tubuhku ini, dan aku ingat-ingat kembali apa yang
telah aku lalui 25 tahun ini? dan aku ingat rupanya wajah dan tubuhku
ini yang kadang merepotkanku juga selama ini.
Sejak aku beranjak dewasa, aku memang harus kian memilah-milah teman
dekat, atau setidak-tidaknya harus mengatur jarak terhadap teman-teman
lelaki. Kenapa? selama 25 tahun usiaku ini, gara-gara kombinasi wajah
mama dan papaku di mukaku dan kelebihan lemak di dadaku ini, ternyata
banyak merusak hubungan-hubungan teman dekatku. Mulai dari merusak
persahabatan antar kawan lelaki, hubungan dengan pacar
sahabat-sahabatku, atau malah hubunganku dengan sahabat-sahabatku
sendiri.
Semua itu karena banyak dari mereka, lelaki yang sekedar melihat
perempuan hanya wajahnya dan tubuhnya saja itu, berusaha mendekatiku. Ya
memang aku berusaha bersikap baik kepada siapapun. Dan setelah beberapa
masalah dengan sahabatku, aku berusaha menyesuaikan sikapku. Tapi
apakah tubuhku pantas bersalah atas itu semua?
Kenapa dalam imajinasi para lelaki ini memasukkanku dalam kriteria
cantiknya? Tentu saja itu bukan salahku. Tapi mereka, para industri
kosmetik dan industri perawatan badan, sabun, gym dan sebagainya. Kenapa
dalam masyarakat kita yang berkulit coklat dan bertubuh tak
tinggi-tinggi amat ini mereka memasang iklan wanita berkulit putih dan
berbadan tinggi langsing sebagai perempuan idealnya? Tentu saja itu
semua mempengaruhi imajinasi mereka mengenai bagaimana perempuan yang
ideal. Dan kebetulan saja semua kriteria itu ada padaku karena
perkawinan mama dan papa, tanpa aku minta.
Lagipula, kenapa sembrono mendekatiku? Tak tahukah mereka di dalam
pikiranku, lelaki yang cara pandangnya sempit begitu, derajatnya paling
rendah dan selama ini paling mudah aku bodohi. Entah penilaianku itu
datang darimana, memang ketika aku merasa mereka mendekatiku, aku selalu
teringat papa, lelaki yang tega-teganya meninggalkan aku dan mama hanya
karena wanita lain. Dan aku muak mengingatnya kembali.
Kembali aku pandangi wajah dan tubuhku ini. Oh betapa sudah lamanya
tubuh ini aku miliki. Semakin tumbuh membesar dan meninggi seiring
bertumbuh pula pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku ini. Kupikir selama
ini memang aku hanya bertambah tubuh membesar, namun jiwaku ini masih
menguasai tubuh ini sepenuhnya, dengan sadar dan utuh. Ah, itu juga hal
yang perlu aku syukuri hari ini. Kupikir hanya itu kebutuhan dasar
manusia yang utama.
Lama kupandangi cermin ini, pantulan wajah dan tubuhku, aku lupa,
rupanya ini juga yang membawa persoalanku sekarang ini, Mama yang
ditawari mantu oleh teman-temannya, dan karena itu sekarang aku harus
memacari Hendri agar tak repot-repot menjawab itu semua. Dan sekarang
Hendri segera menghampiriku. Aku harus menemuinya. Aku mandi dulu.
Terakhir, meski aku tidak tahu berapa sebenarnya usia jiwaku yang melulu
bertanya dan menerka apa saja ini, aku ingin mengucapkan kepada tubuhku
dan hidupnya yang terbatas: Selamat ulang tahun ke 25 tubuhku yang kian
membesar.
0 komentar:
Posting Komentar