• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Minggu, 25 Desember 2016

Air

Air adalah asal muasal segala sesuatu.
Setidaknya begitu kata Thales, neng.
Tak begitu tepat mungkin, namun ada benarnya juga bagiku sekarang,
Bagaimana menurutmu?
Pikirku begini, hujan yang turun pada bumi kita ini, bermuasal dari air-air pula,
Laut tepatnya.
Ia menguap menuju atmosfer, terkondensasi,
Lalu terhembus oleh puisi-puisimu, hingga kemana-mana.
Menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Menjadi kebahagiaan bagi mereka yang dikehendaki,
Termasuk aku dalam hujan desember lalu, masih ingat?
Ya, bahagia, setidaknya begitu hujan dimaksudkan, menurut ayat suci.
Air-air itu, Neng, jatuh bak perangkap dari langit, menjatuhi sawah-sawah,
Juga jalan-jalan yang pernah kita lewati.
Berjatuhan kesudut-sudut bumi, mengalir mengarungi bumi, lewat selokan, sungai dan sebagainya.
mengalir pula sampai cangkir-cangkir menuju gelas, sebagai minuman favoritmu.
Ya, dari air itu, air yang membahagiakanku Desember lalu,
Ia menuju tubuh mu, tubuh manusia yang 70% terdiri dari air.
Menjadi kehidupan bagimu, bagi kita.
Sesederhana itu hidup kita ini.
Hingga, saat air itu mengalir dari matamu,
Aku tak tahu apa-apa.
Aku menyadari ada yang lebih sulit dari pada hidup,
Yaitu tafsirannya, termasuk air dari matamu itu.
Hingga, saat air itu mengalir dari matamu.
Aku tak mengenali lagi air yg keluar dari mataku sendiri.
Dari mana ia?
Hingga, saat air itu mengalir dari matamu.
Aku menambahi kata-kata Thales,
Ia pula akhir dari segala sesuatu.
Share:

Jumat, 30 September 2016

Wake me up When September ends? Lets wake up!

Wake Me up when September end?

 

Pagi ini saya mulai dengan dengerin singel "Wake me up when september end"-nya Green Day. Singel ini merupakan salah satu dari album band Green day "American Idiot". Lagu syahdu ini berlatar belakang dari salah seorang personilnya, Billie Joe Amstrong, yang menulis lagu ini untul memorial ayahnya yang meninggal karena penyakit kanker pada 10 September 1982, ketika usia Amstrong 10 tahun. Kalau dilihat dari video clip nya, mengesankan sentimen anti-perang Amerika di Irak, dimana dalam video clip tersebut menampilkan seorang wanita yang patah hati ditinggal kekasihya berperang dan gugur di medan perang.

 

September memang selalu mempunyai kisah yang menarik. Mulai dari kisah bahagia, layakanya seorang jatuh cinta yang dapat tergambar dalam salah satu lagu Vina Panduwinata berjudul "September Ceria", sampai kisah pilu seperti judul lagu yang saya pakai sebagai judul tulisan ini pula.

Bagi bangsa Indonesia, September merupakan bulan yang kelam dalam catatan sejarah, dimana pada 30 September 1965 terdapat pembunuhan 7 Jendral yang menjadi sasaran pembunuhan dalam suatu "Rencana" yang terorganir konon oleh satuan Tjakrabirawa yang konon pula berafiliasi dengan Biro chusus PKI. Hari itu merupakan hari yang amat bersejarah dimana menjadi titik balik dimulainya pula pembalasan pembantaian yang berlebihan terhadap PKI.

 

Ya, Gestapu (Gerakan September 30), kita sering menyebutnya demikian, dan demikian pula yang diajarkan di sekolah. Gestapu merupakan operasi pembantaian satuan Tjakrabirawa yang sebenarnya ditugaskan untuk menjaga keamanan Presiden Soekarno kepada para Petinggi Militer yang terkena Issue yang berkembang saat itu tentang adanya "Dewan Jendral" di dalam internal perwira TNI yang siap mengkudeta Presiden Soekarno. Tjakrabirawa ini yang melaksanakan operasi 30 September tersebut yang pula di issue kan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa itu me " legitimasi" Mayor Jendral Soeharto yang saat itu panglima Kostrad , mengambil alih Kepemimpinan operasional dan memimpin operasi Penumpasan Gestapu, yang bagi Soeharto dalangnya adalah PKI.

Tanpa melupakan peristiwa yang pilu itu,  pasca Gestapu, dengan alasan penumpasan Gerakan 30 September (PKI), terjadi pembantaian massal yang juga tak kurang memilukannya.  Bangsa ini pernah, pada tahun itu, seakan menghalalkan darah Darah anggota, Simpatisan, dan Orang-orang yang dituduh PKI untuk dibunuh.  Bahkan yang tidak terkait dengan PKI, seperti kaum Nasionalis atau Soekarnois pendukung Soekarno, juga menjadi korbannya.

Jumlah korban yang diumumkan Fact Finding Commition adalah sebanyak 78. 000 manusia terbunuh. Rum Aly, redaktur Mahasiswa Indonesia menyebut perkiraan sekitar 500.000 manusia terbunuh. Bahkan Edhie sang pemimpin operasi tersebut di Jawa Tengah,  Jawa Timur,  dan Bali pernah menyebut angka 3 Juta manusia terbunuh dalam operasi itu. Para korban balas dendam Buta tersebut dilakukan baik oleh militer juga masyarakat sipil yang kebanyakan menganggap hal itu merupakan suatu Jihad Fi Sabilillah.Penangkapan dan Penahanan pun dilakukan sampai bahkan 10 tahun pasca pembantaian. Ada kemungkinan pada pertengaham 1970-an , 100.000 manusia masih ditahan tanpa adanya proses peradilan.  Hal ini ditutup rapat oleh rezim Soeharto, hingga sampai orba lengser, dan parlemen membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal tersebut, walaupun ditangguhkan oleh Pengadilan Tinggi.

Komnas HAM pada 23 Juli 2012 menyatakan pembantaian orang-orang yang dituduh komunis adalah pelanggaran HAM berat. Setidakmya ada sembilan (9) kejahatan/pelanggaran yang dilakukan pada masa itu, yaitu pembunuhan,  pemusnahan,  perbudakan,  penggusuran dan pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasab fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Bagi kita yang baru mengetahui angka itu,angka 78.000, 500.000, 1.000.000, atau 3.000.000, sekan hanya susunan angka statistik belaka. Bukan! Angka tersbut adalah jumlah manusia hidup layaknya kita, yang mencintai negaranya dengan cara dan keyakinan mereka. Dibunuh!!

Sejarah yang dimulai sejak september pilu ini tentu tidak diajarkan di dalam sekolahan. Pernah suatu waktu pada 2004, dalam kurikulum kita terdapat pembahasan mengenai peristiwa tersebut, namun tak lama, pada 2007 melalui Surak Keputusan Nomor 019/A.JA/03/2007 tanggal 5 maret 2007, dan Surat Perintah Kejaksaan Agung Nomor Ins/A.JA/03/2007 tentang intruksi Penarikam Buku Sejarah Kurikulum 2004 dari wilayah indonesia., akhirnya buku yang terdapat pembahasan mengenai bab terbut ditarik kembali dari peredaran. Ironis.

Namun, yang agak menarik adalah 1 Oktober, hari ini,  berdasarkan Kepres No. 153 tahun 1967, diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Are you sure?

Satu pertanyaan dalam benak saya pagi ini, apakah peristiwa hari itu dan sesudahnya terdapat Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Nasionalisme, Nilai Demokrasi, dan Nilai Keadilan Sosial terimplementasi dengan baik dan bahkan perlu kita bilang sakti hingga dengan Fakta 9 Pelanggaran HAM dalam peritiwa pasca Hari itu yang dilakukan pada masa Orba tersebut bisa dikatakan sebagai hari kesaktian pancasila?

Sedangkan bagi saya, Agama, dan tentunya secara otomatis Tuhan saya Mengutuk 9 pelanggaran HAM yang disebut, Rasa kemanusiaan saya tak pernah membenarkannya hal tersebut dilakukan kepada manusia lain, Nasionalisme menghendaki implementasi Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua, dan, demokrasi dapat menjadi alat dari kesemuanya itu menusju keadilan sosial yang kita cita-citakan. Tepatkan persepsi soal hari ini?

Hmmm, terlepas dari itu semua bagi saya september mempunyai rasa-rasa tersendiri untuk dikenang. September merupakan berakhirnya kemarau yang panjang dan dimulainya musim hujan, tentu saat yang baik untuk dinikmati dengan kopi dan lagu-lagu syahdu. By the way, selamat tinggal september, selamat memasuki bulan oktober. Semoga terbangun menjadi pribadi tidak mudah lupa dan tentunya pancasilais, Have a Great Month!

 

Salam :)

 

Referensi

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Wake_Me_Up_When_September_Ends

 

http://historia.id/modern/alasan-sarwo-edhie-memimpin-operasi-pembunuhan-massal-pki

 

http://zadandunia.blogspot.co.id/2013/10/sekilas-g-30-sdan-gerakan-pembantaian.html?m=1

 

http://www.andreasharsono.net/2007/08/jurnalis-desak-jaksa-berhenti-bakar.html?m=

Share:

Sabtu, 06 Agustus 2016

MADILOG, Tan Malaka

Telah banyak studi dan karya pustaka tentang Tan Malaka. Bahkan tak sedikit pakar yang secara sengaja mendedikasikan diri untuk mengkaji tuntas sosok “pejuang pemikir” paling mistrius ini.

Beberapa nama yang bisa disebut adalah: Harry A Poeze dan Rudolf Mrazek. Bahkan Indonesianis yang namanya disebut terakhir itu, menyebut Tan Malaka sebagai tokoh yang komplit. Sementara sejumlah penulis nasional juga berhasil merekonstruksi sejumlah aspek menonjol dari Tan Malaka. Seperti Zulhasril Nasir (buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau); Harry Prabowo (Tan Malaka, Teori dan Praksis Menuju Republik); serta Matumona (Patjar Merah Indonesia).

Dari semua itu, nyaris tak ada keberatan dari pihak manapun jika kita meletakkan buku Madilog sebagai magnum opus (karya besar) dan bahkan legenda pustaka nasional. Termasuk versi Majalah TEMPO edisi khusus, yang menempatkan literatur penting tersebut sebagai salah satu dari 100 buku paling berpengarauh di Indonesia.

Di mana istimewanya?

Benar bahwa jika dilihat dari waktu terbit —yang terlambat oleh aneka sebab— buku ini terbilang belakangan (ditulis selama delapan bulan, dalam tahun 1942 sampai 1943).

Tidak seperti karya-karyanya yang lain, seperti Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, terbit tahun 1924) atau Massa Actie (terbit tahun 1926). Begitupun dari aspek pengaruh langsung, jelas Madilog bukan yang paling utama. Buku ini tak menjadi panduan praktis serta tidak mengibarkan perlawanan revolusioner secara konkret.

Lain hal jika tinjauan mengarah pada totalitas, daya jelajah, kedalaman analisis, serta gaung yang masih menggema hingga kini. Jelas Madilog melampau semua karya-karya itu.

Sebagai sebuah pergumulan gagasan, Madilog juga berbasis pada fakta-fakta sosiologis dan fenomena sosial politik yang berlangsung —sejak Indonesia Pra Hindu sampai era kolonialisme. Ditulis dengan perspektif akademik yang kuat —meski pengakuan dari Tan Malaka, ia hanya mengandalkan hapalan, dengan metode “jembatan keledai” (membuat singkatan untuk istilah-istilah kunci), ketika menulis buku itu. Maklumlah, ia diterpa suasana kemiskinan dan menanggung resiko berat sebagai pelarian. Satu hal lagi: Madilog menjadi alat pembongkaran atas hukum berpikir dan sistem kepercayaan yang mengungkung manusia di Indonesia. Tak hanya mendekonstruksi (membongkar), melainkan memberi alternatif pemikiran.

Tan Malaka menulis: Kitab ini adalah bentuk dari paham bertahun-tahun tersimpan di dalam pikiran saya, dalam kehidupan yang bergelora (halaman 26). Gelora pemikiran yang tersayat karena melihat cara pikir kaoem repoeblik yang menurutnya lahir di dunia supranatural, supranaturan Hindu pula, supranatural yang tak gampang dikikis, dicuci bersih, maka sebagai tongkat pertama dalam dunia berpikir, perlulah sekedarnya memajukan logika…

Madilog adalah sebuah solusi. Sebagai sebuah presentasi ilmiah melalui serangkaian proses berpikir dan bertindak secara materialistis, dialektis, dan logis —dalam mewujudkan sebuah cita-cita yang diinginkan, yaitu merdeka 100 persen!

Menurut Tan Malaka, berkaca dari pengalaman berbagai kegagalan perjuangan merebut kemerdekaan (termasuk pemberontakan PKI tahun 1926-1927), cita-cita Indonesia merdeka tak akan berahasil dan jauh dari sasaran yang diinginkan, jika masa kaum proletar tidak mengganti hukum berpikir dan sistem kepercayaan yang dianut. Indonesia harus dibebaskan dari kungkungan alam pikir yang irasional, mistik, takhayul, klenik, metafisik, dan supranatural (Tan Malaka menyebutnya sebagai logika mistika). Agar terkikis penyakit lemah semangat dan lemah mental (halaman 26).

Bagaimana?

Madilog ialah cara berpikir berdasarkan materialisme, dialektika, dan logika,  dalam mencari sebab akibat, dengan mengandalkan bukti yang cukup, dan eksperimen yang sahih (lihat halaman 295). Sementara kepercayaan model logika mistika (berbau takhayul) adalah segala faham (pemikiran) yang tidak berdasarkan pada basis kebendaan (materi), tidak berpatok pada kenyataan, atau dengan kata lain segala paham yang tidak berdasarkan bukti dan tidak bisa dieksperimentasi. Masalahnya, hukum berpikir seperti ini, menurut Tan Malaka, telah mengakar, dan berproses sangat jauh. Melalui tahap kepercayaan Indonesia asli (yaitu era Pra Hindu), kepercayaan Hindustan, kepercayaan Islam, dan kepercayaan Tiongkok (lihat halaman 394).

Sementara logika, adalah disiplin berpikir runut, sistematik, melalui silogisme, memiliki definisi yang jelas, dan paling penting adalah bisa dieksperimentasi. Sedangkan materialisme adalah faham yang berpijak pada bukti-bukti kebendaan. Dan terakhir, dialektika adalah gerak, perubahan, dan dinamika. Satu hal pasti, keseluruhan prosedur berpikir seperti itu sajalah yang sanggup menafsirkan berbagai fenomena dengan ilmiah, scientis (ilmu bukti), dan menjadi solusi.

Menariknya, penjelajahan dan bantal argumentsi Madilog begitu panjang dan detil. Setiap bagian, masing-masing materialisme, dialektika, dan logika, mendapat eksplorasi tuntas.

Termasuk akar-akar kemunculan prosedurnya —yang secara jujur diakui oleh Tan Malaka ia pinjam dari Barat. Telaah tuntas ini, termasuk membuka pelbaga i kelemahan dan keterbatasan dalam menerapkan Madilog. Contohnya, dalam hal logik
a dan ilmu bukti (sains), yang menurut Tan Malaka terbatas secara internal dan eksternal. Keterbatasan internal adalah soal konteks ruang dan waktu, serta peralatan untuk dipakai sebagai pengujian dan pembuktian. Sementara keterbatasan eksternal adalah konteks sosial politik yang tengah berlangsung. Olehnya, wajar jika kemudian Tan Malaka tak ingin menjadikan karyanya ini sebagai dogma.

Catatan akhir, buku ini sangat layak untuk kembali dikonsumsi dan disebarluaskan kepada publik —bahkan dan terutama untuk hari ini. Betapa kita menyaksikan, di tengah kemajuan ilmu dan teknologi, ternyata hukum berpikir bangsa ini belum bergerak jauh. Kita melihat dan menggunakan kemajuan teknik hanya sebatas kulit. Sementara mindset tetap berbauh takhayul. Entah dalam ranah budaya, ekonomi, dan bahkan politik.



Sumber:
https://opinibuku.wordpress.com/2011/08/17/buku-tentang-madilog-tan-malaka/

untuk bukunya silahkan beli atau bisa baca disini
Share:

About

FIRMAN HARI INI