• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Rabu, 11 Juli 2018

Masyarakat Madani Indonesia dalam Buku Indonesia Kita (Cak Nur)

 
Hasil gambar untuk Indonesia Kita nurcholish
Penulis : Rizal Abdurrahman
 
 
Apa yang pertama kali muncul dipikiran anda ketika mendengar nama Nurcholis Madjid?  Tokoh intelektual muslim? Tokoh pembaharu Islam?  Tokoh kontroversial? Nama Nurcholis Madjid atau yang lebih familiar dipanggil Cak Nur ini memang sering dikenal sebagai tokoh yang idenya melampaui zamannya. Gagasan-gagasannya terutama tentang inklusifitas dan pluralisme yang ia kembangkan menuai banyak pembahasan baik yang mendukung ataupun menolak. Tapi sebenarnya siapa beliau ini?
Cak Nur lahir dari keturunan yang begitu kental dengan pesantren dan membuatnya mempelajari agama sejak kecil. Beranjak menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta, Cak Nur semakin aktif menggeluti bidang pembaharuan pemikiran Islam. Ia sempat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan satu-satunya yang pernah menjabat selama dua periode. Karya yang dihasilkan salah satunya adalah Nilai-nilai Dasar Perjuangan yang menjadi pedoman nilai dan kerangka organisasi HMI.

Setelah lulus kuliah ia tetap konsisten pada jalur yang dipilihnya, ia kemudian aktif dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), mempelopori terbentuknya Yayasan Paramadina, dan juga pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina serta masih banyak karya dan aktivitasnya. Cak Nur juga telah banyak menghasilkan berbagai buku seperti Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban, Pintu-Pintu menuju Tuhan dan banyak lagi.
Tapi kali ini saya ingin mengulas salah satu karya Cak Nur yaitu buku berjudul Indonesia Kita. Buku Indonesia Kita ini ditulis pada tahun 2003 ketika bangsa Indonesia sedang mengalami masa transisi demokrasi. Cak Nur sendiri merasa krisis multidimensi yang dialami Indonesia saat itu dikarenakan semakin sedikit orang yang sungguh-sungguh berpikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa.

Buku ini dimaksudkan untuk mengurai segala silang sengkarut krisis yang melanda bangsa. Cak Nur mengambil dari sudut yang memang jarang dipakai, Ia berusaha mengaitkan krisis multidimensional yang diderita bangsa dengan dinamika kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan bangsa.
Sesuai kapasitasnya sebagai pemikir Islam, Ia tentu tak meninggalkan sudut pandang Islam yang membuat buku ini menarik. Tak tanggung-tanggung, Cak Nur memulainya dari jaman puncak-puncak perkembangan peradaban Islam di dunia. Kebudayaan Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang kemudian menguasai bandar-bandar di kota pantai Nusantara.

Para saudagar Islam itu tak jarang jadi tempat menimba kearifan bagi masyarakat luas. Lahirlah kemudian model-model pondok awal dimana menjadi tempat menimba ilmu para santri. Konsep pondok kemudian berpadu dengan konsep padepokan yang ada dalam budaya Hindhu-Budha.
Ketika kolonialisme masuk ke wilayah Indonesia, para pemimpin rakyat, terutama para ulama yang memang secara ideologis dan genealogis merasa sebagai pewaris langsung para penguasa bandar dengan masyarakat perdagangannya, konsisten melakukan politik non-kooperasi total.

Hal itu bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi berhasil memelihara tingkat tinggi kepahlawanan bangsa, namun di sisi yang lain meminggirkan mereka dari arus utama interaksi sosial-budaya dan pedidikan yang semakin diungguli oleh pola interaksi modern.

Menurut Cak Nur, marginalisasi dan deprivasi ulama dan masyarakat pondok pesantren dalam bidang pendidikan merupakan salah satu sumber utama kesulitan sosial politik kelompok pewaris para wali bandar itu, justru setalah kemerdekaan bangsa yang mereka dambakan tercapai. Hal itu menjadi kesulitan lebih lanjut yakni kesulitan seluruh bangsa. “Pondok pesantren adalah batu sudut rumah (negara) yang diabaikan oleh para pembangun rumah itu”.
Perlawanan berabad-abad terhadap kolonialisme yang berlangsung sporadis atas dasar pertimbangan keagamaan dan dorongan kepentingan perdagangan megakibatkan perlawanan hanya terbatas pada wilayah-wilayah kecil tertentu, belum mencakup apa yang kita sebut sekarang sebagai dari Sabang sampai Merauke.

Kesadaran nasionalisme modern Indonesia baru mulai bersemi ketika Belanda melaksanakan politik etis kepada tanah jajahan Hindia-Belanda (Indonesia) yang dilakukan atas dorongan kaum sosialis, humanis dan reformis liberal di Eropa. Cak Nur menjelaskan bahwa kebijakan politik etis oleh Belanda yang akhirnya secara tanpa sengaja (tidak dimaksudkan demikian pelaksanaannya) menumbuhkan kesadaran bersama bagi kaum pribumi sebagai bangsa terjajah.

Mulai tumbuh organisasi-organisasi dari kaum pribumi, mengemuka pula bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu yang digunakan sebagai bahasa persatuan. Perjuangannya sudah tidak lagi sporadis kesukuan, keagamaan, atau kerajaan, namun sebagai satu kesatuan sebagai bangsa terjajah. Itulah apa yang disebut Cak Nur sebagai kesadaran nasionalisme modern, yang membedakannya dari nasionalisme klasik. 
Nasionalisme modern menurut Cak Nur semangat yang dibawanya begitu identik dengan konsep masyarakat Madinah pada periode kepemimpinan Nabi. Nasionalisme sejati dalam artian suatu paham yang memperhatikan kepentingan warga bangsa secara keseluruhan tanpa kecuali adalah bagian integral dari konsep Madinah yang dibangun Nabi.

Konsep nasionalisme modern yang demikian akan selaras dengan konsep masyarakat Madani apabila melaksanakan good governance secara konsekuen, yaitu pengelolaan yang baik yang bertumpu pada kemutlakan adanya transparansi, partisipasi terbuka, dan pertanggung jawaban atau accountable dalam semua kegiatan kenegaraan di setiap jenjang pengelolaan negara, sehingga terbentuk pemerintahan yang bersih.
Pada bab-bab selanjutnya Cak Nur berusaha mengaitkan konsep negara bangsa yang dicita-citakan para pendiri bangsa itu dalam prakteknya pada periode kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia tentu menarik segi positifnya sebagai peristiwa dan dinamika sejarah yang amat berharga, walaupun begitu menyeleweng terhadap cita-cita yang diusung sejak kemerdekaan.
Pada akhir tulisannya beliau menawarkan platform “Membangun Kembali Indonesia” untuk mengurai krisis multidemensional yang dialami. Dalam platform tersebut ada sepuluh poin yang ditawarkan Cak Nur, pertama mewujudkan Good Governance pada setiap lapisan pengelolaan negara, menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen, melaksanakan rekonsiliasi nasional, merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produksi dari bawah.

Selanjutnya mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi: kebebasan sipil khususnya pers dan akademik, dan pembagian tugas yang jelas antara tiga cabang kekuasaan, meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat personel dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi, memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-bhinneka-an dan ke-eka-an, serta pembangunan otonomisasi, meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan negara, dan terakhir mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia.
Kelebihan buku ini bagi saya adalah pengambilan sudut pandang yang jarang dipakai oleh orang lain. Cak Nur menggali akar kebangsaan dengan sudut pandangnya yang konsisten sebagai seorang intelektual muslim. Hal ini menarik karena sangat membantu untuk memahami bagaimana seorang muslim, tanpa meninggalkan identitasnya itu, dapat menilai dan memaknai dialektika kesejarahan perkembangan bangsanya secara wajar dan konsisten.

Dengan begitu kita sebagai sebuah bangsa yang besar ini dapat mengambil pelajaran dari trial and error yang telah dilakukan para pendahulu, dalam arti bisa meneruskan apa yang baik dan mengevaluasi kegagalan yang ada tentunya dengan semangat yang sama seperti saat nabi memimpin madinah. Sehingga kita dapat secara bersama-sama merumuskan kembali pembangunan yang seperti apa yang paling baik untuk bangsa. 
Kurangnya buku ini bagi saya adalah pembahasannya yang masih sangat umum. Cakupan pembahasannya yang cukup luas hanya dibahas oleh Cak Nur dengan 215 halaman, yang menjadikan gagasannya tidak diulas mendalam.

Namun hal ini bisa dimaklumi saat mengetahui bahwa tujuan awal pembuatan buku ini adalah sebagai suatu rintisan yang ditunjukkan kepada siapapun yang mempunyai keprihatinan yang sama, khususnya generasi muda, agar dapat mengembangkan dan memperbaiki serta melaksanakan dengan memberikan tauladan sebaik-baiknya untuk warga masyarakat. 
Maka buku ini saya rekomendasikan agar dapat perhatian yang lebih kepada khalayak, terutama warga negara yang beragama Islam. Mengapa? Melihat tren sekarang ini menurunnya semangat kebangsaan dan mulai kembali melenceng dari jalur diakibatkan oleh para politisi yang mengalami split personality lalu akhirnya hanya memainkan politik identitas.

Akibatnya sekarang ini kita dipertontonkan dagelan identitas, identitas Pancasila dan identitas Islam, berebut siapa yang paling Islam dan siapa yang paling Pancasila seakan dua-duanya sangat dikotomis.

Politik yang hanya terbatas pada jubah akan sangat jarang sekali membawa nilai-nilai kebangsaan yang membawa kepentingan bersama sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa dan juga dicontohkan oleh Nabi. Menjadi sangat wajar jika politisi sekarang menyibukkan diri pada hal-hal identitas tanpa pertarungan gagasan, ide dan konsep yang mencerdaskan masyarakat.

Untuk meluruskan itu semua pembahasan-pembahasan konstruktif tanpa meninggalkan pengalaman sejarah dan kepentingan seluruh bangsa sangat diperlukan. Bagi saya Cak Nur telah merintis pembahasan itu dengan cerdas dalam buku ini, dan tugas kita sekarang untuk memahami, mengembangkan dan tentunya melaksanakan.
Share:

About

FIRMAN HARI INI