Rabu, 14 Maret 2018

Sektor Pinggiran Tak Seharusnya Dipinggirkan

Tb Arief Z-art
Gambar diambil dari: https://babadsurosowanilustrasikronologi.wordpress.com/2013/02/12/anak-miskin-menjaga-becak-bapaknya-di-kwitang-by-tb-arief-z-art/


Ketika dihadapkan pada maraknya pedagang kaki lima, penjual asongan atau pemulung di sekitar kita, banyak orang akan langsung terbayang suasana kumuh, mengganggu kenyamanan dan tak tertib aturan. Bayangan demikian tercipta akibat imaji palsu kita tentang lingkungan ideal yang diproduksi terus-menerus ala iklan perumahan elit dengan bahasa “penertiban” oleh aparat pemerintah.
Selama ini kehadiran mereka memang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apalagi di tengah gencarnya pertumbuhan ekonomi pemerintah yang berbasis sektor infrastruktur dan investasi baik dalam maupun luar negeri. Maka dari itu mereka sering disebut sektor pinggiran oleh beberapa kalangan, walau secara akademis disebut sebagai sektor informal.
Jika dilihat lebih dalam, kehadiran sektor ekonomi informal ini tidak bisa dilepaskan dari maraknya pembangunan yang belum berpihak masyarakat kebanyakan. Padahal perputaran ekonomi sektor informal inilah yang sekarang menampung tenaga kerja yang tidak bisa terserap di sektor formal.


Ambisi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial
Sejak masa kampanye pemerintah memang menargetkan angka yang ambisius untuk perbuhan ekonomi nasional, yaitu mencapai angka 7 persen.[1] Angka pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat dicapai dengan meningkatkan investasi dan memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Dua resep yang dominan itulah yang selama ini dianggap akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Untuk menarik calon investor, pemerintah memprioritaskan sektor infrastruktur untuk mencapai target pertumbuhan dan investasi. Sampai tahun 2019, pemerintah menargetkan penyelesaian 1.000 km jalan tol baru, 3.200 km jalur kereta api, 15 bandara baru, dua lusin pelabuhan, 33 bendungan dan pembangkit listrik yang mampu menghasilkan sekitar 35.000 megawatt listrik—cukup memasok listrik kepada sekitar lima juta orang.[2]
Masih hangat juga di ingatan berbagai cara dan kebijakan pemerintah untuk mengusahakan pertumbuhan ekonomi mulai dari mencabut berbagai peraturan daerah yang dianggap berpotensi menghambat investasi, melancong ke berbagai negara untuk mengundang calon investor di negara lain atau meliberalisasi sektor-sektor publik menjadi privat.
Terlepas dari targetan pertumbuhan ekonomi yang meleset tiap tahunnya, kita menangkap pola bahwa konsep pembangunan yang diterapkan sekarang memang cenderung menonjolkan pertumbuhan ekonomi, dimana seperti yang kita ketahui, pemerintahan yang demikian kebanyakan melupakan pemerataan. Disadari atau tidak model pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi selalu berimbas pada kemunculan beberapa masalah sosial, seperti kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan rendahnya kesempatan kerja.
Faktanya angka kesenjangan ekonomi kita memang masih memprihatinkan. Di tengah angka pertumbuhan ekonomi yang masih bertengger di angka 5 persen, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi kita juga masih tinggi, yaitu 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Angka tersebut hanya bisa disaingi oleh Rusia, India, dan Thailand.[3]
Pertumbuhan ekonomi memang cukup stabil, namun hal ini tidak diiringi dengan pembagian pendapatan yang merata. Sebuah ironi bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Data lain yang perlu diperhatikan negara kita masuk pada peringkat 7 crony capitalism menurut data Bank Dunia, hampir dua per tiga harta kekayaan konglomerat Indonesia didapat dari hasil bisnis yang berkolaborasi dengan penguasa. Istilah Crony capitalism sendiri di dunia ekonomi kerap diartikan untuk menyebut pengusaha yang kesuksesan bisnisnya didapat karena kedekatan hubungannya dengan pemerintah.
Soal pemerataan pendapatan di sektor agraria juga terdapat ketimpangan yang tak kalah memprihatinkan. Bank Dunia menyebutkan 304 perusahaan besar di Indonesia menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Bandingkan angka ini dengan 23,7 juta petani Indonesia yang hanya memiliki luas tanah 21,5 juta hektare lahan.[4] Dari beberapa angka itu kita mendapat gambaran bagaimana pertumbuhan ekonomi nasional kita tak diikuti dengan distribusi pendapatan yang merata.


Penyerapan Tenaga Kerja dan Sektor Pinggiran
Sebagai negara dengan total penduduk sekitar 255 juta orang, Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat keempat di dunia. Hal tersebut juga menyebabkan banyaknya angkatan kerja yang di Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah angkatan kerja pada Agustus 2017 mencapai 128 juta angkatan kerja.
Namun dari banyaknya angkatan kerja tersebut, masih banyak yang belum terserap sempurna ke lapangan pekerjaan, masih terdapat 7 juta angkatan kerja yang menganggur. Jika dilihat lebih jauh, penyerapan tenaga kerja kita memang mengalami tren penurunan.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) penyerapan tenaga kerja dari investasi yang masuk ke Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2015, masuknya investasi baru mampu menyerap 900 ribu pekerja. Pada tahun 2016 angka ini justru turun menjadi 700 ribu pekerja dan pada bulan Juni 2017 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan kembali menjadi hanya 250 ribu pekerja.[5]
Tren penurunan tersebut mengkhawatirkan sekaligus membuktikan bahwa investasi yang digenjot pemerintah juga belum selaras dengan penyerapan tenaga kerja. Ketidakmampuan sektor utama dalam menyerap tenaga kerja itu menyebabkan konsekuensi meningkatnya angkatan kerja sektor informal.
Sektor informal menjadi penyangga dalam penyerapan tenaga kerja yang secara umum tak terserap di sektor formal, terlebih mereka yang tak terpengaruh dampak secara langsung pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yaitu mereka yang bermodal & berpendidikan rendah, keterampilan terbatas, dan kaum marginal.
Adalah hal yang menarik bahwa sifat dari ekonomi informal ini tidak membutuhkan modal yang besar, menggunakan bahan setempat, dan tidak membutuhkan keterampilan tinggi ini justru relatif tidak sensitif terhadap gejolak perekonomian internasional.
Sektor informal bisa dikatakan lebih mandiri dari gejolak ekonomi internasional disebabkan karena barang-barang yang dijajakan biasanya merupakan barang dan jasa yang dibutuhkan sehari-hari. Selain itu hasil dari sektor pinggiran juga dikonsumsi oleh mereka yang bekerja di sektor formal.
Contoh kecil dalam hal ini adalah ketika pulang para pekerja formal harus naik ojek, becak, angkutan umum untuk menuju rumahnya. Ketika haus para pekerja di sektor formal dapat membeli es kelapa muda di pinggir jalan, atau saat lapar pekerja sektor formal bisa makan ketoprak di warung, sembari membeli surat kabar dari para penjaja koran.
Dari kacamata yang lebih umum, peran sektor informal tidak hanya sebagai penampung kelebihan tenaga kerja pada saat program pembangunan berjalan timpang namun juga dalam saat situasi krisis dan ledakan pengangguran. Hal ini pernah terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998.
Krisis ekonomi menyebabkan industri besar yang saat itu paling diuntungkan dalam proses pembangunan (karena bergantung pada sektor impor) harus berhenti beroperasi. Imbasnya dari ekonomi yang carut marut, inflasi yang tinggi, menyebabkan banyak terjadi informalisasi tenaga kerja (Informalisation of Labour) disebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi.  
Sedangkan disisi lain, sektor informal yang memiliki karakter teknologi sederhana, berbahan baku lokal, modal relatif kecil dan kemudahan beroprasi menjadi subur. Keberpihakan pemerintah pada sektor ini akan menjadi senjata yang ampuh untuk meredam gelombang pencari kerja ketika krisis terjadi.

Pembangunan atau Pemiskinan?
Data dan fakta di atas memperlihatkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak selalu selaras dengan pemerataan pendapatan. Meningkatnya investasi yang digadang-gadang jadi syarat pertumbuhan ekonomi tak berpengaruh banyak terhadap penyerapan tenaga kerja, bahkan secara bertahap menurun dari tiga tahun terakhir.
Di sisi lain sektor informal mempunyai peran penting dalam menampung berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal itu, terutama bagi mereka yang tak kena dampak dari program pembangunan pemerintah. Pemerataan pendapatan lewat sektor informal mempunyai peran penting dalam mempersempit gap kesenjangan yang masih tinggi di Indonesia.
Walau demikian, sektor informal selalu dilihat sebelah mata karena tiadanya bantuan ataupun proteksi ekonomi. Untuk itu diperlukan upaya memberdayakan sektor informal, karena akan berakibat langsung dalam kesejahteraan dikalangan ekonomi lemah.
Pendapat yang mengatakan bahwa mereka merupakan residual, sampah masyarakat yang harus disingkirkan dikarena menggangu ketertiban, perlu ditinggalkan. Tindakan penertiban pemerintah daerah terhadap kelompok sektor informal haruslah bertujuan menaikkan derajat hidup mereka, bukan pengusiran yang tak manusiawi dan justru berdampak pada semakin bertambahnya penderitaan hidup masyarakat kecil.
Jika demikian yang selama ini terjadi, perlu diperiksa kembali pendengaran kita apakah yang sering disebut-sebut oleh pemerintah itu? Pembangunan atau pemiskinan?



[1]https://www.merdeka.com/uang/ambisi-pemerintah-jokowi-ekonomi-tumbuh-7-persen-dalam-lima-tahun.html
[2] https://www.matamatapolitik.com/ambisi-pembangunan-infrastruktur-indonesia-memakan-korban-nyawa/
[3] https://kumparan.com/manik-sukoco/lebarnya-ketimpangan-ekonomi-indonesia
[4]http://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/03/09/p5bb8o384-abraham-samad-kesenjangan-ekonomi-indonesia-mengkhawatirkan
[5]http://bisnis.liputan6.com/read/3163787/penyerapan-tenaga-kerja-akan-meningkat-di-2018-ini-alasannya
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

About

FIRMAN HARI INI