Gambar diambil dari: https://babadsurosowanilustrasikronologi.wordpress.com/2013/02/12/anak-miskin-menjaga-becak-bapaknya-di-kwitang-by-tb-arief-z-art/ |
Ketika dihadapkan pada maraknya pedagang kaki lima, penjual asongan atau
pemulung di sekitar kita, banyak orang akan langsung terbayang suasana
kumuh, mengganggu kenyamanan dan tak tertib aturan. Bayangan demikian
tercipta akibat imaji palsu kita tentang lingkungan ideal yang
diproduksi terus-menerus ala iklan perumahan elit dengan bahasa
“penertiban” oleh aparat pemerintah.
Selama ini kehadiran mereka memang sering dipandang sebelah mata oleh
masyarakat. Apalagi di tengah gencarnya pertumbuhan ekonomi pemerintah
yang berbasis sektor infrastruktur dan investasi baik dalam maupun luar
negeri. Maka dari itu mereka sering disebut sektor pinggiran oleh
beberapa kalangan, walau secara akademis disebut sebagai sektor
informal.
Jika dilihat lebih dalam, kehadiran sektor ekonomi informal ini tidak
bisa dilepaskan dari maraknya pembangunan yang belum berpihak masyarakat
kebanyakan. Padahal perputaran ekonomi sektor informal inilah yang
sekarang menampung tenaga kerja yang tidak bisa terserap di sektor
formal.
Ambisi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial
Sejak masa kampanye pemerintah memang menargetkan angka yang ambisius
untuk perbuhan ekonomi nasional, yaitu mencapai angka 7 persen.[1] Angka
pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat dicapai dengan meningkatkan
investasi dan memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Dua resep yang
dominan itulah yang selama ini dianggap akan membawa kesejahteraan bagi
masyarakat.
Untuk menarik calon investor, pemerintah memprioritaskan sektor
infrastruktur untuk mencapai target pertumbuhan dan investasi. Sampai
tahun 2019, pemerintah menargetkan penyelesaian 1.000 km jalan tol baru,
3.200 km jalur kereta api, 15 bandara baru, dua lusin pelabuhan, 33
bendungan dan pembangkit listrik yang mampu menghasilkan sekitar 35.000
megawatt listrik—cukup memasok listrik kepada sekitar lima juta
orang.[2]
Masih hangat juga di ingatan berbagai cara dan kebijakan pemerintah
untuk mengusahakan pertumbuhan ekonomi mulai dari mencabut berbagai
peraturan daerah yang dianggap berpotensi menghambat investasi,
melancong ke berbagai negara untuk mengundang calon investor di negara
lain atau meliberalisasi sektor-sektor publik menjadi privat.
Terlepas dari targetan pertumbuhan ekonomi yang meleset tiap tahunnya,
kita menangkap pola bahwa konsep pembangunan yang diterapkan sekarang
memang cenderung menonjolkan pertumbuhan ekonomi, dimana seperti yang
kita ketahui, pemerintahan yang demikian kebanyakan melupakan
pemerataan. Disadari atau tidak model pembangunan yang lebih
mengedepankan pertumbuhan ekonomi selalu berimbas pada kemunculan
beberapa masalah sosial, seperti kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan
rendahnya kesempatan kerja.
Faktanya angka kesenjangan ekonomi kita memang masih memprihatinkan. Di
tengah angka pertumbuhan ekonomi yang masih bertengger di angka 5
persen, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi kita juga masih
tinggi, yaitu 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen
kekayaan nasional. Angka tersebut hanya bisa disaingi oleh Rusia, India,
dan Thailand.[3]
Pertumbuhan ekonomi memang cukup stabil, namun hal ini tidak diiringi
dengan pembagian pendapatan yang merata. Sebuah ironi bahwa kekayaan
empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100
juta orang termiskin.
Data lain yang perlu diperhatikan negara kita masuk pada peringkat 7
crony capitalism menurut data Bank Dunia, hampir dua per tiga harta
kekayaan konglomerat Indonesia didapat dari hasil bisnis yang
berkolaborasi dengan penguasa. Istilah Crony capitalism sendiri di dunia
ekonomi kerap diartikan untuk menyebut pengusaha yang kesuksesan
bisnisnya didapat karena kedekatan hubungannya dengan pemerintah.
Soal pemerataan pendapatan di sektor agraria juga terdapat ketimpangan
yang tak kalah memprihatinkan. Bank Dunia menyebutkan 304 perusahaan
besar di Indonesia menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Bandingkan
angka ini dengan 23,7 juta petani Indonesia yang hanya memiliki luas
tanah 21,5 juta hektare lahan.[4] Dari beberapa angka itu kita mendapat
gambaran bagaimana pertumbuhan ekonomi nasional kita tak diikuti dengan
distribusi pendapatan yang merata.
Penyerapan Tenaga Kerja dan Sektor Pinggiran
Sebagai negara dengan total penduduk sekitar 255 juta orang, Indonesia
adalah negara berpenduduk terpadat keempat di dunia. Hal tersebut juga
menyebabkan banyaknya angkatan kerja yang di Indonesia. Dari data Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah angkatan kerja pada Agustus
2017 mencapai 128 juta angkatan kerja.
Namun dari banyaknya angkatan kerja tersebut, masih banyak yang belum
terserap sempurna ke lapangan pekerjaan, masih terdapat 7 juta angkatan
kerja yang menganggur. Jika dilihat lebih jauh, penyerapan tenaga kerja
kita memang mengalami tren penurunan.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) penyerapan tenaga
kerja dari investasi yang masuk ke Indonesia mengalami penurunan pada
tahun 2015, masuknya investasi baru mampu menyerap 900 ribu pekerja.
Pada tahun 2016 angka ini justru turun menjadi 700 ribu pekerja dan pada
bulan Juni 2017 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan kembali
menjadi hanya 250 ribu pekerja.[5]
Tren penurunan tersebut mengkhawatirkan sekaligus membuktikan bahwa
investasi yang digenjot pemerintah juga belum selaras dengan penyerapan
tenaga kerja. Ketidakmampuan sektor utama dalam menyerap tenaga kerja
itu menyebabkan konsekuensi meningkatnya angkatan kerja sektor informal.
Sektor informal menjadi penyangga dalam penyerapan tenaga kerja yang
secara umum tak terserap di sektor formal, terlebih mereka yang tak
terpengaruh dampak secara langsung pembangunan yang hanya berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi, yaitu mereka yang bermodal & berpendidikan
rendah, keterampilan terbatas, dan kaum marginal.
Adalah hal yang menarik bahwa sifat dari ekonomi informal ini tidak
membutuhkan modal yang besar, menggunakan bahan setempat, dan tidak
membutuhkan keterampilan tinggi ini justru relatif tidak sensitif
terhadap gejolak perekonomian internasional.
Sektor informal bisa dikatakan lebih mandiri dari gejolak ekonomi internasional disebabkan karena
barang-barang yang dijajakan biasanya merupakan barang dan jasa yang
dibutuhkan sehari-hari. Selain itu hasil dari sektor pinggiran juga
dikonsumsi oleh mereka yang bekerja di sektor formal.
Contoh kecil dalam hal ini adalah ketika pulang para pekerja formal
harus naik ojek, becak, angkutan umum untuk menuju rumahnya. Ketika haus
para pekerja di sektor formal dapat membeli es kelapa muda di pinggir
jalan, atau saat lapar pekerja sektor formal bisa makan ketoprak di
warung, sembari membeli surat kabar dari para penjaja koran.
Dari kacamata yang lebih umum, peran sektor informal tidak hanya sebagai
penampung kelebihan tenaga kerja pada saat program pembangunan berjalan
timpang namun juga dalam saat situasi krisis dan ledakan pengangguran.
Hal ini pernah terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun
1998.
Krisis ekonomi menyebabkan industri besar yang saat itu paling
diuntungkan dalam proses pembangunan (karena bergantung pada sektor
impor) harus berhenti beroperasi. Imbasnya dari ekonomi yang carut
marut, inflasi yang tinggi, menyebabkan banyak terjadi informalisasi
tenaga kerja (Informalisation of Labour) disebabkan pemutusan hubungan
kerja (PHK) yang tinggi.
Sedangkan disisi lain,
sektor informal yang memiliki karakter teknologi sederhana, berbahan baku
lokal, modal relatif kecil dan kemudahan beroprasi menjadi subur. Keberpihakan
pemerintah pada sektor ini akan menjadi senjata yang ampuh untuk meredam
gelombang pencari kerja ketika krisis terjadi.
Pembangunan atau Pemiskinan?
Data dan fakta di atas memperlihatkan bahwa pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak selalu selaras dengan
pemerataan pendapatan. Meningkatnya investasi yang digadang-gadang jadi
syarat pertumbuhan ekonomi tak berpengaruh banyak terhadap penyerapan
tenaga kerja, bahkan secara bertahap menurun dari tiga tahun terakhir.
Di sisi lain sektor informal mempunyai peran penting dalam menampung
berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal itu, terutama bagi
mereka yang tak kena dampak dari program pembangunan pemerintah.
Pemerataan pendapatan lewat sektor informal mempunyai peran penting
dalam mempersempit gap kesenjangan yang masih tinggi di Indonesia.
Walau demikian, sektor informal selalu dilihat sebelah mata karena
tiadanya bantuan ataupun proteksi ekonomi. Untuk itu diperlukan upaya
memberdayakan sektor informal, karena akan berakibat langsung dalam
kesejahteraan dikalangan ekonomi lemah.
Pendapat yang mengatakan bahwa mereka merupakan residual, sampah
masyarakat yang harus disingkirkan dikarena menggangu ketertiban, perlu
ditinggalkan. Tindakan penertiban pemerintah daerah terhadap kelompok
sektor informal haruslah bertujuan menaikkan derajat hidup mereka, bukan
pengusiran yang tak manusiawi dan justru berdampak pada semakin
bertambahnya penderitaan hidup masyarakat kecil.
Jika demikian yang selama ini terjadi, perlu diperiksa kembali
pendengaran kita apakah yang sering disebut-sebut oleh pemerintah itu?
Pembangunan atau pemiskinan?
[1]https://www.merdeka.com/uang/ambisi-pemerintah-jokowi-ekonomi-tumbuh-7-persen-dalam-lima-tahun.html
[2] https://www.matamatapolitik.com/ambisi-pembangunan-infrastruktur-indonesia-memakan-korban-nyawa/
[3] https://kumparan.com/manik-sukoco/lebarnya-ketimpangan-ekonomi-indonesia
[4]http://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/03/09/p5bb8o384-abraham-samad-kesenjangan-ekonomi-indonesia-mengkhawatirkan
[5]http://bisnis.liputan6.com/read/3163787/penyerapan-tenaga-kerja-akan-meningkat-di-2018-ini-alasannya
0 komentar:
Posting Komentar