• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Senin, 08 Januari 2018

Hati dalam Pengetahuan Manusia (Coretan tentang Pengantar Epistemologi Islam - Murtadha Muthahari)





 

Akhir tahun lalu Saya akhiri dengan menyelesaikan baca buku ‘Pengantar Epistemologi Islam’ yang ditulis oleh Murtadha Muthahari. Buku pinjeman yag mulai dibaca lagi gegara ngisi kajian epistemologi sebulan lalu. Banyak hal yang menarik sebenarnya yang masih bisa dibahas dalam buku ini. Salah satu yang Saya kira akan jarang kita dapati di buku-buku lain soal epistemogi adalah peran Hati dalam pengetahuan. Murtadha Muthahari sangat menekankan fungsi hati dalam dunia pengetahuan manusia. Saya kira ini yang menarik dan membedakan Epistemologi Islam Murtadha Muthahari dan Epistemologi yang lain.
 
Buku ini menekankan bahwa selain Alam dan Rasio/akal manusia sebagai sumber pengetahuan, hati merupakan aspek penting yang sering dilupakan. Hati sendiri tidak merujuk pada organ tubuh manusia, hati disini dalam artian yang sama dengan yang dimaksud pada istilah “buta hati”, “patah hati”, “sakit hati”, atau “jatuh hati”. Hati merujuk pada perkara pemaknaan manusia. Hati dibedakan dengan sumber alam dan rasio, walaupun sebenarnya sangat dekat dan tidak bisa dipisah dengan rasio.
 
Hati sering digambarkan sebagai cermin, ia memantulkan bayangan manusia (cahaya) sebagaimana adanya ketika cermin itu bersih. Cermin yang bersih bisa memantulkan alam raya sebagaimana adanya, tidak demikian dengan cermin yang kotor, bayangan akan kabur dan semakin kotor cermin semakin kotor pula bayangan dunianya. Begitupun pengetahuan manusia, ketika hati manusia tidak bersih maka indra dan akal tidak akan menerima pengetahuan dengan sebagaimana adanya. Pengetahuan yang benar akan kabur jika hati manusia masih kotor.
 
Pada mekanisme pengetahuan manusia, indra berperan hanya menangkap pengetahuan yang sederhana, sebagaimana hewan menangkap pengetahuan. Maka pengetahuan indra hanya bersifat partikular, sederhana, kekinian, dan kawasan tertentu. Indra manusia tidak mengenal sejarah dan peradaban, tidak mengenal menkanisme sebab-akibat, baik-buruk, ataupun benar-salah. Indra manusia menangkap sesuatu sebagaimana adanya. Kemudian setelah itu informasi diolah dan disimpan oleh akal/rasio. Rasio manusia bertugas untuk memproses pengetahuan sederhana manusia. Rasio dapat memilah, mengurai, menyusun, melepas, atau menjeneralkan informasi. 
 
Dimana posisi hati dalam pengetahuan? Ia berada dalam proses penilaian dan pemaknaan. Hati manusia tidak bisa menilai dan memaknai pengetahuan itu dengan baik manakala manusia mencintai sesuatu, ia akan fanatik terhadap sesuatu tersebut. Ketika hati manusia telah fanatik terhadap sesuatu, maka manusia tidak akan melihat sesuatu sebagaimana adanya. Begitupun ketika manusia membenci, tidak suka, dendam, marah, pengetahuan tidak juga tidak akan sesuai. Kalau masih ibarat cermin tadi, ketika manusia membawa sifat dan tabiat itu dalam hatinya, cermin itu akan berwarna, dan ketika cermin itu berwarna, ia akan menampilkan sesuatu sebagaimana warna tersebut, ketika cermin itu hijau, ia akan menampilkan sesuatu selalu hijau pula. Ia tidak akan netral menilai dan memaknai sesuatu. Sering kita mendengar istilah seumpama “Punya mata tapi tak melihat”, “Punya telinga tapi tak mendengar”, hal itu karena hati manusia tidak bersih, ia bercampur dendam ketidaksukaan, ataupun kecintaan yang terlalu.
 
Hal ini menjelaskan kepada kita bagaimana seorang teroris bisa sedemikian kejamnya membunuh manusia, ataupun orang-orang yang bunuh diri karena “patah hati” ditinggal kekasihnya, karena memang ketika hati manusia diselimuti sifat-sifat yang demikian fungsi indra dan akal sebagai instrumen pengetahuan jadi tidak berguna sebagaimana adanya. Ketika manusia dipenuhi rasa sentimen ia tidak akan pula menggunakan pengetahuan sebagai mana seharusnya.
 
Saya jadi merasa pembahasan-pembahasan perkara begini penting dilakukan dilingkungan kita sekarang, utamanya pada kaum-kaum terpelajar. Kehampaan spiritual yang sekarang terjadi di dunia ilmu pengetahuan kita, bisa jadi memang tidak selesainya pandangan dunia kita dan pandangan dunia sangat terpengaruh oleh epistemologi yang dipakai. Mainstream pendidikan kita sejak dari SD dibekali memang berbagai ilmu pengetahuan, baik itu tentang manusia dan peradabannya (sosial) maupun tentang alam dan hukum-hukumnya, temuan-temuan ilmuan barat. Sedangkan sebenarnya peradaban yang kita jalani sekarang tentu warisan dari rangkaian sejarah revolusi-revolusi dunia abad 18, yang sentimen terhadap tatanan dunia sebelumnya, sekarang dibidang politik umpamanya lahir sistem negara-bangsa (nation-state) sebagai lawan dari bentuk sebelumnya yang mainstream memakai sistem kerajaan. Dibidang Ekonomi lahir sistem kapital (Industri), untuk menggantikan sistem dagang tradisional. Budaya dan tatanan sosial sekarang juga cenderung individual dan manusia sentris lawan dari komunal dan alam sentris. Pada bidang agama lahir sistem sekuler sebagai akibat dari sentimen anti-agama. Kita jadi mmenganggap sesuatu yang telah ada sekarang jadi sistem paling baik karena sentimen kita terhadap masalalu, menjadi fanatik sistem politik nation-state dan anti sistem kerajaan, jadi fanatik hak-hak individual tapi lupa kewajiban sosial, jadi fanatik sekularisme hanya sebab sentimen terhadap sistem gereja/agama jaman dulu. Kaum terpelajar kita perlu menilai sesuatu bukan dari ketidaksukaan atau bahkan fanatismenya terhadap masalalu, Ia harus melakukan dan menilai sesuatu karena kemajuan peradaban yang lebih baik kedepannya. Jika pelajar kita hanya dicekoki warisan dendam dan keccintaan yang fanatik, ilmu pengetahuan kita tidak akan maju. 
 
Tatanan dunia dan pandangan dunia sekarang sangat dipengaruhi oleh epistemologi yang dipakai yang cenderung empirisme yang dipisah pula dari rasionalisme. Ilmu pengetahuan kita menjadi menjadi acuh tak acuh satu sama lain, tidak netral karena sentimen, begitupula penggunaannya menjadi brutal. Dengan sifat begitu peradaban kita jadi hanya maju disatu sisi dalam pengetahuan, tapi ia acuh terhadap sisi yang lain. Pengetahuan maju dibidang ilmu pengetahuan tekhnologi disatu sisi, tapi ia acuh terhadap keadilan sosial disisi yang lain. Begitupula sebaliknya. 
 
Secara umum buku ini bagus dan mudah dicerna karena memang selain contoh-contohnya yang mudah diterima, buku ini berasal dari ceramah Murtadha Muthahari sendiri. Berbeda umpamanya dengan Falsafatuna oleh Baqir Sadr yang setiap paragraf perlu diulang untuk dicerna satu dua kali. Buku ini cocok untuk yang ingin belajar NDP HMI yang versi “baru”, karena istilah-istilah dan kerangka ke-persia-persiaan berseliweran dibuku ini. 
 
Sekian, kalo ada waktu senggan sembari menunggu jadwal sidang resensi buku-buku yang lain juga. Open discuss btw.

Share:

Jumat, 05 Januari 2018

Desa, Kota atau Warung Kopi?


diambil dari http://curate.com.my/exhibitions/dulu_kini_modern_contemporary_indonesian_art/
Empat setengah tahun saya kuliah di Solo, banyak hal yang saya dapatkan. Pelajaran-pelajaran dan ilmu hidup saya dapatkan dari berbagai hal, tak hanya dari perkuliahan, namun juga dari kajian-kajian, diskusi, buku-buku, berorganisasi, dan salah satu juga yang paling penting adalah perhatian dan ketertarikan pribadi soal “masalah-masalah” sosial disekitar.
Jarak rumah dan kampus yang tidak terlalu jauh membuat saya memilih untuk tidak ngekost, beberapa semester saya ngekost juga sebenarnya cuma numpang istirahat. Tidak benar-benar full meninggalkan rumah di Desa. Kondisi yang begitu membuat saya merasakan dua kondisi sosial yang sebenarnya agak berbeda, Desa di Sragen dan Kampus di Solo. Saya pikir begitu kontras sebenarnya perbedaannya. 
Didesa kesadaran masyarakat sebagai suatu kelompok begitu kental terasa, di desa masih banyak terdapat kerjabakti, setiap ada orang gawe pasti sedesa turut sibuk, satu orang punya hajat, punya masalah, menjadi masalah bersama, kontrol sosial juga tinggi. Seperti apa yang dikatakan dalam kelas-kelas diperkuliahan semester awal, di desa kelompok sosial cenderung lebih ke Gesselscaft alias Paguyuban. dimana anggotanya terikat kuat satu sama lain. 
Sedang dikota, orang-orang terhubung oleh kepentingan, bisa dari hubungan kerja, hubungan minat dan hobi, ikatan organisasi, ikatan partai atau ideoligi, ndak seperti di didesa yang hubungan berdasar teritori, dikota tidak mengenal tetangga adalah hal yang biasa, maka kontrol sosial juga tidak terlalu kuat. Urusan kerja bakti misalnya, orang lebih memilih membayar dari pada kerja bersama-sama. Hubungan begini dalam sosiologi disebut hubungan Gemeinscaft atau patembayan, hubungan berdasarkan kepentingan. 
Namun akhir-akhir ini tak pikir hubungan sosial macem apa yang dikampus pelajari tidak saya rasa lagi. Saya tidak rasakan lagi di desa interaksi yang intim sebagai kesatuan teritori, begitupula di kota sebagai suatu kesatuan kepentingan. Ada perubahan yang sedemikian besar mengubah hubungan interaksi kita, banyak hal tak pikir, tapi utamanya adalah berkembangnya telepon genggam dan teknologi informasi kita. 
Perkembangan tekhnologi informasi yang makin pesat ternyata tak kita sadari, telah mengubah interaksi dan hubungan sosial kita sedemikian rupa. Di desa-desa tak kita dapati lagi, utamanya dikalangan muda umuran saya ini, obrolan intim tentang bagaimana kondisi teman-teman kita diperantauan, atau bagaimana ruginya adik-adik kita tidak memainkan lagi permainan-permainan seru kita duhulu, bagaimana tetangga-tetangga kita dan pacarnya yang sering pulang malam, atau tentang pekerjaan, sekolah, guru-guru kita, tetangga-tetangga yang menyebalkan dan lain-lain. Itu semua membentuk solidaritas, memperkuat kontrol sosial. Semua telah disibukkan telepon genngamnya masing-masing.
Dikota juga demikian, kita tidak kita temui lagi diskusi-diskusi bagaimana kondisi kota, dan negara kita, dimana tempat-tempat berenang, futsal, badminton yang paling murah untuk kita bisa datangi bersama, dimana ada pameran-pameran beasiswa dan kerjaan yang bisa kita daftari. Kita disibukkan oleh informasi-informasi virtual tanpa pertukaran simpati dan empati kita tentang informasi itu.
Saya tidak sedang menggugat, saya cuma sedang merindukan obrolan tatapmuka penuh transaksi rasa empati diantara masyarakat kita, padahal itu yang membuat kita merasa menjadi manusia. Bagi saya, secanggih apapun teknologi informasi yang kita genggam tak akan bisa menggantikan obrolan hangat. Sebaik apapun hubungan virtual tidak akan menampakkan tatapan mata seseorang yang tercermin ketika sedih dan suka, tulus atau bohong. 
Sekarang-sekarang ini, kita hanya bisa mengandalkan warung kopi untuk menggantikannya. Saya kira di warung kopi ataupun hik/wedengan interaksi macem begitu masih bisa dicari. Sampai saya menulis tulisan ini pun saya sedang di warung kopi, memesan segelas Capuccino sembari menunggu kawan untuk berinteraksi, dan tenggelam dipikiran sendiri.
Segitu aja dulu, dari yang merindukanmu dengan obrolan-obrolan intim kita.
Anu.
Share:

About

FIRMAN HARI INI