• Opinion

    Beberapa buah kata-kata yang bisa tersampaikan

  • Resensi Buku

    Beberapa kata yang bisa tergambarkan dari setumpuk lembaran

  • Hobi

    tentang hobi

  • Obrolan

    Obrolan-obrolah

Kamis, 12 Februari 2015

Soal Niat Baik Penyelenggara pendidikan, KRS, dan sebagainya.

Salam,
Belakangan ini kita mendapat angin segar, kita dikejutkan dengan adanya beberapa Press release oleh Organisasi Mahasiswa (Ormawa) kita, BEM dan Dema. Kabar-kabar yang mereka beritakan tak jauh dari peristiwa up to date dari segala keresahan mahasiswa kita. ya, maksud tulisan ini sebetulnya juga mengenai isi berita yang disampaikan oleh kedua ormawa tersebut. Namun, mari tetaplah kita puji dahulu kawan-kawan kita yang berada di kedua ormawa tersebut, bahwasanya Press release- Press release menghembuskan angin segar bahwa akan terciptanya Good-Student-Government yang kita cita-citakan bersama itu. Harapan yang saya maksud yaitu press release yang mereka keluarkan itu menunjukkan kepada kita bahwa (setelah satu semester vakum) Aparat kedua Ormawa yang sekarang menjabat sepertinya memiliki kepedulian yang lebih kepada mahasiswa, dan berusaha menjawab keresahan mahasiswa kita. Memang kondisi kedua ormawa kita, sekali lagi-setelah vakum satu semester-, haruslah dapat dimanfaatkan oleh Kawan-kawan yang ada didalamnya. Ia harus menjadi anti-tesa dari periode sebelumnya, periode yang sama-sama tidak kita harapkan itu. Dan Hal itu akan lebih mudah dilakukan oleh Kawan-kawan yang ada didalam kedua ormawa itu sekarang, untuk benar-benar menjadi antitesa, mengingat kondisi sebelumnya yang nyaris tak ada eksistensinya. Yah, kita harapkan bersama, semoga benar-benar bisa menjadi lebih baik.
Kedua Ormawa fakultas mengeluarkan Press release, atau lebih mudahnya selanjutnya kita sebut Informasi, mengenai sistem terbaru KRS. Memang sebelum itu, kita dihebohkan dengan informasi bahwa Jam Perkuliahan kita akan menjadi 12 jam, artinya jam perkuliahan kita akan berakhir sampai pukul, kuranglebih, 7 malam. Hal itu menjadi perhatian bagi mahasiswa kita, bahkan rumornya kedua petinggi ormawa (karena saking amanahnya, dan saking “mendengarkan aspirasi” mahasiswa kita yang kebanyakan nggak setuju dengan keputusan itu) hampir protes, karena kesimpangsiuran informasi yang didapat. Kita perlu sekali lagi hargai kalo memang benar begitu. Namun bagaimana pun, sepertinya kedua petinggi Ormawa itu akhirnya mencari informasi mengenai rumor keputusan itu. Dema akhirnya memberikan Press release-nya, yang kurang lebih kita singkat dengan demikian:
1.      Pertambahan Jam dikarenakan pengurangan jumlah mahasiswa dalam tiap kelas, dan akhirnya memberi kelas tambahan agar mahasiswa, tertampung dalam kelas yg lebih “Intensif”.
2.      Pertamakalinya “Generated System” untuk mengatur jadwal tiap fakultas
3.      Fakultas tidak bisa mengubah jadwal.
Betapa bersyukurnya kita, akhirnya fakultas/universitas kita memberi Inovasi terbarunya mengenai Kependidikan kita. Yah, setidaknya “intensif-isasi kelas” dengan pengurangan jumlah mahasiswa yang ada disetiap kelas, menunjukkan kepedulian mereka dengan iklim dalam sistem mendidik, tatap muka, belajar-mengajar, di kampus kita. Walaupun cara yang ditempuhnya masih terdapat kekurangan sana-sini mengenai dampak dan akibat “intensif-isasi” itu. Kita tetap harus mendukung (jikalau benar) niat baik itu, dengan memberi ide kritik dan saran.
Keputusan yang mereka ambil untuk “intensif-isasi kelas” itu akhirnya mengakibatkan adanya kelas malam, kalu boleh disebut begitu. Berakhirnya kuliah pada malam hari ini harus betul-betul dipersiapkan segala konsekuensinya. Kita dapat memandang demikian:
1.      UNS gelap pada malam hari, hal ini perlu juga menjadi pertimbangan untuk memasang lampu-lampu disetiap sudut yang gelap. Menurut saya sangat kurang-ajar ketika kuliah di-UNS berakhir pada malam hari tapi kondisinya kampusnya gelap di malam hari. Apa dampak dari Gelapnya kampus saat kita pulang? kawan-kawan bisa menjawabnya sendiri;
2.      Dampak lain yang bisa kita tangkap untuk fakultas kita (Hukum) adalah soal ibadah Magrib mahasiswa muslim. Jelas, magrib mempunyai waktu yang paling singkat dari Sholat yang lain. Waktu yang singkat itu akhirnya menimbulkan Magrib memiliki banyak jamaah dari pada sholat yang lain, kondisinya akan semakin diperkuat dengan  penyediaan waktu istirahat sholat dalam jadwal kuranglebih sekitar 20- 30 menit. Apa masalahnya? kita tahu, selain gelap, fakultas kita sepertinya juga memiliki masalah mengenai air saat malam hari yang kadang mat/dimatikan. Betapa Kurang ajar-nya apabila waktu singkat yang disediakan hanya habis untu mencari air wudlu. Selain itu, masjid kita haruslah juga terurus, kita mendapat banya laporan mengenai Rukuh di masjid kita yang tidak terurus (bau, dsb). Fakultas juga perlu membenahi hal ini. Mungkin Kepengurusan masjid harus dibentuk atau diperkuat;
3.      Soal akan sempitnya waktu bagi mahasiswa untuk berorganisasi. Suatu organisasi jelas harus memiliki waktu “bersama” untuk rapat atau minimal untuk kumpul-kumpul. Waktu perkuliahan yang panjang yg disediakan kampus sebenarnya juga membuktikan ketidak berpihakannya dengan aktifitas keorganisasian mahasiswa. Tapi dengan mulut berbusa mereka berkata disetiap kelas “Softskill dari organisasi itu penting”dst, dst. Sempitnya waktu yang disediakan untuk berorganisasi ini, juga diperparah dengan laporan dari kawan-kawan UKM yang kadang diusir saat malam hari masih rapat dikampus.
Mungkin masih banyak dampak-dampak yang lain lagi kalo kita selidiki. Kampus kita tetap perlu berbenah, kalau bisa mengeluarkan keputusan yang begitu mengaharukan dengan “Intensif-isasi Kelas” mestinya juga dibarengi juga sama penanggulangan konsekuensi-konsekuensi dari keputusan itu.
Berita/informasi kedua datang dari BEM. Mereka memberi informasi mengenai sistem KRS yang katanya penambahan kuota diserahkan pada dosen bukan pada Bagian pendidikan. dan dosen meminta “bukti yg kuat” kalau kata BEM untuk menambah kuota. Gapapa, kita masing-masing tahu dampaknya soal itu. Tapi tentu saja kalau masih dihubungkan dengan “Intensif-isasi Kelas”. Konsekuensinya adalah dengan sedikitnya kuota mahasiswa yang disediakan disetiap kelas.
Kita tahu, telah menjadi kultur dan budaya kita bahwa setiap ada agenda pengisisan “KRS” selalu menjadi ajang pertempuran, disana kita mengadukan nasib kita kepada kecepatan internet. Dapat dimaklumi, satu hari pengambilan kelas dalam KRS, juga menentukan satu semester kedepan. mekanismenya begini:
tuntutan Ortu, syarat Kerjaan bagus  ->IP harus tinggi-> Nilai-nilai harus bagus -> tergantung sama dosen yg dipilih-> tergantung KRS.
Ya, kultur kita memang begitu. Mungkin kalo kita melihat mengapa demikian dapat kita kelompokkan lagi penyebabnya:
1.      Jadwal Dosen telah disampaikan dahulu.
Ini membuat mahasiswa tentu saja diberi kesempatan untuk dengan mudah menyusun jadwal, dengan memilih dosen-dosen yang “murah” nilainya. Jadwal dosen yg telah disampaikan itu, lantas menjadikan mahasiswa menyusun jadwalnya lebih dahaulu, dan sebisa mungkin mendapat kelas yg nilainya murah, atau minimal “nggak zonk”, demi Nilai bagus yang diinginkannya, ranculah KRS kalu jadwal yg sebelumnya dibuat tidak tercapai. Makul Tabrakan, dsb, dsb. akhirnya memaksa bag pendidikan menambah kuota, yang akhirnya sekarang tidak bisa dilakukan olehnya. Hal ini akhinya juga menjadi berlawanan dengan cita-cita “intensif-isasi Kelas” yang diawal maksudkan. Diperparah lagi dengan kultur nge-Genk difakultas kita. Akhirnya genk-genk itu sebisanya tetap sekelas. Ranculah juga kalau jadwal yg mereka buat tidak tercapai. Akhirnya Pendidikan, mungkin dengan persetujuan dosen, menambah kuota yang tidak sedikit.
2.      Tidak adanya standar dalam penilaian Dosen.
Hal tersebut berdampak pada masa KRS. Kita memilih dosen berdasarkan “Kemurahan Nilai”nya. Berbeda dengan cita-cita luhur kita diawal kuliah, untuk belajar mencari ilmu. hehe. Tentu saja, kita berperang disatu hari KRS dengan harapan bahwa tidak akan memilih dosen yang “PASTI JELEK” nilainya. Kita nomerseribukan Cita-cita luhur kita, toh (SEPERTINYA/SEMOGA) ilmu (MUNGKIN) bisa kita pelajari sendiri. hehe. Tapi hal itu sebenarnya justru menandai kemenyerahan kita soal perlawanan kita terhadap kemalasan. Kita akhirnya lebih suka Mendapatkan Nilai bagus dari KRS, dari pada menaklukkan dosen dengan Tugas-tugas yang sebenarnya bisa kita selesaikan dengan ide-ide kita yang liar dan brilian.
Kalau memang demikian, mungkin sebaiknya jadwal tidak perlu terbit terlebih dahulu. Kita Bandingkan apabila demikian. Kita dapat membayangkan betapa fair-nya nilai-nilai kita, pun perlu atau tidak perlu sebelum atau sesudah terciptanya standarisasi nilai, akan kita dapati kemerataan dalam nilai-nilai kita, akhirnya nilai yang dicapai tidak mendapat intervensi dari kecepatan internet. Kita bayangkan juga mahasiswa dapat memilih jadwal sesuai waktu yang mereka kehendaki dengan lebih mudah. Tentu saja, KRS buta mengurangi arogansi kita terhadap KRS si “Hari penentu masa depan” itu, karena tidak terlalu banyak yang dikejar dan dipertaruhkan, akan lebih fleksibel kita menentukan kapan kita mengatur siasat waktu istirahat, makan, males-malesan (dengan meliburkan beberapa hari), apabila pengambilan dalam KRS tidak arogan. Tak lupa, KRS-an buta, tentu saja akan lebih mendukung “intensif-isasi kelas”, Jadwal yang disiapkan oleh mahasiswa lebih fleksibel, tidak ada fanatisme terhadap dosen, atau sikap anti-terhadap dosen, oleh karena itu jikalaupun jadwal akhirnya bertabrakan, Bagian Pendidikan, dengan persetujuan dosen,  akan lebih sedikit membuka koutanya, dan terciptalah iklim intensif yang tuan-tuan itu kehendaki. hehe
Tapi demikian, apakah kita siap meninggakan kultur kita? kultur yang memalukan dan kita tahu sebenarnya tidak diharapkan itu? Pengetjoet/tidak kah kita bila tak berani menghadapi perubahan?
“Saya berani, gatau kalau mbak titi”
hehe, segitu aja. salam.

ABD.
Share:

Minggu, 08 Februari 2015

Kesatria Piningit, si Ratu Adil yang Membusuk!

gambar dari https://wayang.files.wordpress.com

Salam, 
Dengan tulisan ini saya sampaikan kepada para kaum mistika, penunggu dan pendamba Satria Piningit, bahwa Kesatria Piningit yang telah kalian nanti-nantikan itu telah mati. Kematiannya karena tak kuasa keluar dari tempat Piningitannya. Ia terkurung disana, dan membusuk sampai mati.

Ratu Adil yang menyedihkan itu dahulu diramalkan oleh seorang sastrawan Jawa bernama Jayabaya. Raja Kediri itu melahirkan Kesatria Piningit si Ratu adil dari Ramalanya yang disebut sebagai Jangka Jayabaya. Karena karyanya itulah akhirnya membawa masyarakat dijawa/Nusantara memiliki kepercayaan terhadap Kesatria Piningit si Ratu Adil tadi. Jayabaya meramalkan bahwa Kesatria Piningit itu adalah seorang ratu adil yang akan membawa Nusantara Menuju masyarakat adil makmur, aman, tentram, sentosa, Gemah Ripah loh jinawi, dan sifat-sifat surgawi lainnya.

Kata Piningit yang dipakai untuk menyebut Ratu Adil itu adalah karena dalam ramalannya, jayabaya melukiskan Kesatria itu baru Muncul setelah keadaan Nusantara yang digambarkannya begitu mengenaskan, mengalami “Wolak-walike Jaman”, mana yang benar mana yang salah katanya para cendikia tidak berani mengatakannya. Disebutkan dalam bait ke 140, Bahwa:
“Polahe wong Jowo koyo gabah den interi, endi sing salah endi sing sejati, poro topo podho ora wani. Podo wdhi ngajarake piwulang Adi, salah-salah anemahi Pati”.
Disebutkan juga bahwa dalam ramalan itu, sebelum kedatangan sang Ratu Adil, Nusantara dipenuhi dengan bencana Alam. Sungguh kejam ramalan itu. Bait 141:
“Banjir bandang ono ngendi-endi, Gunung jeblug tan ajarwani, tan angimpeni. Gehtinge kepathi-pathi marang Pandhito kang oleh Pati Geni. Mergo wedi kapiyak wedine sopo siro sing sayekti”,
Dalam bait yang terakhir dikutip ini juga ditulis bahwa generasi kita atau entah kapan yang akan datang itu, membenci Cendikia-cendikia, para perthapa yang telah belajar, karena dianggap kita takut terbuka jati diri kita.Kesatria piningit yang didamba-dambakan itu, diramalkan akan menjadi seorang revolusioner. Dia akan memimpin perlawanan terhadap “Jaman yang Terbalik” seperti yang diramalkan dalam kitab jayabaya itu.

Namun apaboleh buat. Kesatria itu telah membusuk sekarang. mati selayaknya jasad yang lain. Mengapa?

Sebelum saya menyerahkan bukti-bukti kematian Kesatria Piningit. Mari kita mulai dengan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dasar. Apa itu Kesatria Piningit? Bagaimana rupa, wujud, materi yang ada padanya?

Pertanyaan sederhana tersebut barangtentu telah bisa kita jawab dengan sederhana Juga. Bahwa Kesatria Piningit adalah seorang tokoh yang ada dalam sebuah teks, karya sastra. Kesatria Piningit tidak memiliki wujud, rupa, ataupun materi; ke-ada-annya hanyalah didalam dunia ide, dunia yang kita impi-impikan. Wujud, rupa, dan bentuknya paling real adalah berupa teks yang dibuat oleh manusia bernama Jayabaya. Disanalah kehidupan Kesatria Piningit, disana tempatnya dilahirkan, dipingit, dan akhirnya membelenggunya sampe mati disana. Tak lupa perlu ditekankan, disanalah pula lokasi pembunuhan Kesatria Piningit, disana bersemayam jenazahnya. Silakan kalau para kaum penanti, pendamba Kesatria Piningit, kaum imajinatif itu berkenan untuk sekali-kali berziarah ke makamnya yang menyedihkan itu. Dalam hal ini perlu ditekankan pula, siapa dalang dibalik pembunuhan kanjeng Kesatria Piningit si Ratu Adil itu. Sungguh sangat jelas, seorang yang melahirkannya pula, Raja Kediri pada masanya, Jayabaya. Dari teks-teks yang dibuatnya, Kesatria Piningit tak kuasa keluar dari ke’piningit’annya dalam teks itu. Dia tak pernah bisa keluar dari keadaannya sendiri sebagai sebuah teks. Akhirnya mati dan membusuk.

Ya, Kanjeng Ratu Adil telah mati disana. Namun apabila pandangan semacam itu belum dapat diterima oleh otak mistis masyarakat. Mari buat opsi lain. Jangan-jangan Pembunuh Ratu Adil adalah kita sendiri?

Diawal telah kita ketahui bahwa Kesatria Piningit (hanya[?]) akan muncul setelah “Jaman yang terbalik”,  dimana yang baik terlihat jelek, dan yang jelek terlihat baik. Kondisi dan syarat tersebut tetap tak dapat kita terima, masyarakat kita tetaplah harus tertib terhadap hukum dan tata dalam masyarakat, kita tetap saja harus insyaf bahwa hidup kita harus tetap berjalan sesuai dengan cita-cita dan kehendak yang kita sepakati bersama, dengan atau tanpa Kesatria Piningit. Hal itu bukan merupakan suatu pilihan namun keharusan. Maka dengan musabab seperti itu, Kesatria Piningit tetaplah tak boleh keluar dari ke”piningit”annya. Saya mungkin belum paham bagaimana Ratu Adil itu dipingit.  Dalam bayangan saya denga logika mistika yang coba saya ikuti, bahwa Kesatria itu dipingit, atau bersembunyi, bertapa atau bersemedi didalam Goa sampai jaman yang begitu hina datang. Kalau memang semacam ini, biarlah Ratu Adil itu tetap bersembunyi didalam goa, biarlah dia bertapa selamanya, sampai busuk dan mati. Sedang kita, semakin menjadi masyarakat yang madani yang jauh dari syarat kemunculannya.

Mari kita mengandai lagi, seandainya benar, jaman terbalik adalah satu-satunya cara kita mendatangkan Kesatria Piningit, dan kita benar-benar lebih memilih merindu, medamba dan mengarapkannya untuk datang dari pada berpegang pada pendirian kita, tak masalah. mulai hari ini marilah kita bertindak sebajingan yang kita bisa, kita berperilaku se-bar-bar- mungkin, tak usah memikirkan tata yang ada dalam masyarakat,  kita marjinalkan para sarjana, ustad, kiai, dkk yang sok-sokan mengatur moral dan perilaku kita, mari kita kurung mereka dalam pertapaannya, gedung-gedung perkuliahan, atau tempat ibadah mereka masing-masing, tak usah mempedulikan apa yang mereka ajarkan dan katakan, dengan begitu Kesatria Piningit yang kita dambakan akan segera hadir, muncul dan meyucikan bangsa kita dari segala perilaku barbar, termasuk dari kita para barbar yang mendambakannya ini. Bagaimana kalau begitu saja? Bisa kah kita menerimanya? Tentu saja tidak!

Kita tentu lebih memilih menentukan dan kedaulatan bangsa kita secara bersama-sama, tanpa darah dan perilaku konyol semacam itu. Sabab hal itu jelas bertentangan dengan akal budi kita.

Mari Mengandai sekali lagi, jika Kesatria Piningit semacam itu akhirnya muncul, dan menjadi antitesa dalam proses kita menuju masyarakat madani ini, lantas melakukan pemberontakan, Pantaslah Kesatria Piningit itu kita bunuh bersama-sama!

Hal ini tak lain demi kita sendiri, demi kehidupan yang kita tentukan sendiri kemana arahnya.

Apa Maksudnya?

kita melihat akhir-akhir ini, kepercayaan terhadap seorang pemimpin yang mahabenar itu sungguh sebenarnya sangat merugikan kita sendiri. Kepercayaan yang demikian akhirnya mendorong masyarakat untuk berperilaku sesukanya. kepercayaanya terhadap kesatria yang kelak akan menyelamatkan bangsanya, tentu saja mereduksi nasionalisme nya, rasa memiliki dan berjuang kepada bangsanya.
ontoh yang paling mudah dapat kita temui adalah dapat kita lihat pada banjir yang sekarang ini melanda Jakarta. Tak ada maksud saya membela sosok pemimpin yang sekarang, tapi kita lihat saja masyarakatnya. Setiap tahun Banjir melanda kota itu, ibukota Indonesia. Hal ini jelas karena kali yang seharusnya menjadi aliran air menjadi sempit karena dibangun pemukiman warga, yang tentu saja diperparah dengan aktifitas pembuangan sampah disana. Ketika sungai bermaksud dibenahi, mereka tak mau dipindah. Jadilah setiap tahun Jakarta banjir.
Banjir yang datang itu akhirnya menjadi kesalahan seorang pemimpin. Mereka meneriaki Pemerintah tak becus mengurus Daerahnya. Ketika Pemerintah melakukan upaya paksa, mereka meneriakinya dengan "Pelanggaran HAM". Kalau dalam kasus jakarta tak sebegitu bedanya dengan dengan kasus macet dan lain-lain.
Pemimpin ajaib mana yang akan dapat melaksanakan tugas koordinasinya dengan baik kalau tak ada sikap kooperatif dari setiap anggota masyarakat yang menghendakinya mengatur?

Demikian pula dengan kebencian dan perlawanan kita terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Masyarakat yang setiap hari diberi kesempata untuk menghujat Kasus-kasus terorisme ini, tidak sebegitunya dapat menghujat dirinya sendiri ketika menghadapi persoalan penyogokan, kedekatan famili, dan kesempatan ngentit duit. Kita sepenuhnya harus menginsyafi, kalu perlu mengimani sikap anti korupsi, jika benar-benar kita berharap Negara kita demikian bersihnya.

Dalam era demokrasi ini, Kepemimpinan adalah sepenuhnya ditangan rakyat. Pemimpin yang dikehendaki  seharusnya hanya mengkoordinir jalanya hal-hal yang ditetapkan bersama. Tak heran Kalau Hukum (konstitusi), ketetapan bersama, kedudukannya jauh diatas Pemimpin. Pemimpin dinegara kita tetap harus tunduk pada konstitusi, hukum yang ditentukan rakyat. Rakyat tetaplah memimpin, dan memang seharusnya demikian.

Ketika saya mencoba mengandaikan wujud Satria piningit itu, dalam bayangan saya terihat seorang Pemimpin pemberontakan, seorang yang akan memberontak demi kebenarannya sendiri. Hal ini tidak dapat kita terima, Pemimpin negara yang demokratis ini haruslah dikehendaki rakyatnya sendiri, mengenai baik buruk nya saya rasa Tuhan telah sepenuhnya menyerahkanya pada hukum alam, kehendak dan watak sosial. Dengan Begitu setria piningit, apabila benar-benar memimpin pemberontakan dan menjadi antitesa sosial, haruslah kita adili bersama.

Realisasi Satria Piningit!

Mari kita membuat haraapan baru, kita tinggalkan segala kepercayaan-kepercayaan mistis mengenai seorang kesatria-kesatria itu. Mari benar-benar kita realisasikan ide tentang masyarakat yang adil makmur, sebagai akibat dari keadaan satria piningit tadi, menjadi benar-benar nyata.

Mari kita benar-benar singkirkan dulu syarat-syarat konyol untuk benar-benar merealisisasikan satria pningit. Dalam masyarakat demokrasi ini, yang segalanya diatur sendiri oleh rakyat, mari kita singkirkan bayangan Individu dan ke-personal-an Satria piningit. kita dapati, suatu Pemimpin yang Bukan Personal, yang akibatnya mungkinakan menjadi apa yang kita sebut otoriter itu, kemudian menjadi pemimpin yang menyeluruh, men-sosial, kalo boleh dikatakan demikian.Kepemimpinan  Masyarakat!

Kita juga lepaskan ke'pininit'annya. Yaitu pandangan kita mengenai Satria piningit yang sebelumnya. ternyata Kepemimpinan Masyarakat ini sebenarnya terbelunggu, dipingit, oleh kepercayaan, logika mistika terhadap ramalan itu. Ramalan itu telah mereduksi nasionalisme kita, kita menjadi pasrah dengan kepemimpinan personal itu. kita menjadi lupa akan Bangunnya satria piningit yang kita impikan, Satria Piningit dalam Wujud Kepemimpinan Masyarakat. kita harus menyatakan perang kepada kepercayaan-kepercayaan dan mistisme yang membelenggu kemajuan kita sebagai sebuah bangsa, Kepemimpinan Masyarakat yang kita idamkan.

Tak lua kita pertegas, kita lawan benar-benar kepemimpinan yang digambarkan peramal-peramal itu. Kita insyafi benar-benar bahwa masyarakatlah yang menjadi pemimpin, yang akan menjadikan Bangsanya sendiri maju tanpa pertumpahan darah dan revolusi oleh satrio personal tadi.

Bunuh Satria Piningit, dan segala Mistisme!
Bangunkan Kepemimpinan Masyarakat!


Share:

Rabu, 21 Januari 2015

Mungkin Ritual Penting Juga.

Lama juga tak bersua. Liburan panjang buat kita sedikit longgar untuk belajar apapun diluar materi-materi yang diajarkan dosen diperkuliahan. Yah untuk menutupi kesuwungan-kesuwungan, ada saja yang dipikirkan. Ini pikiranku pagi ini. 

Ini tentang keganjilanku akhir-akhir ini. Kenapa ya Orang-orang yang turut dalam dunia pikir religi, sekarang -lebih tepatnya lagi dalam perspektif saya-, kerap meninggalkan ritual dalam konstruksi keidealannya. Entahlah, mungkin aku belum sampai tahap itu. Mungkin ada benarnya juga, Orang-orang yang mulai menyadari dan kemudian meyakini keidealannya, merasa tak terlalu penting ritual-ritual itu, toh, memang Kebenaran (kepastian) tidak akan pergi kemana-mana, tidak membesar atau mengecil dengan atau tanpa ritual-ritual. 

Tapi, sampai sekarang saya sebenarnya belum menemukan alasan yg pas untuk meninggalkan ritus-ritus itu. Menurutku, sebenarnya ritual-ritual itulah yang benar-benar menyangga keidealan, atau dalam hal ini kebenaran, entah isme atau apapun itu. Ritual yang tak maksud disini bukan selalu ritual seperti upacara-upacara seremonial, walaupun yang pada intinya saya meyakini itu langkah awal, namun sebuah penyatuan diri terhadap sesuatu yang diyakininya, penyatuan perbuatan badaniah dan pemusatan mental. Ritual ini -dalam konfusianisme disebut "Li"- adalah menyatunya seluruh perbuatan terhadap apa yang diyakininya secara kontinyu.Ritual ini, kalo dalam contoh, dalam keyakinan hindu disebut "Samadhi"; atau ateisme ritual-ritualnya adalah penentangan terhadap keyakinan terhadap Tuhan; bahkan dalam wujudnya yang paling ekstrim, dalam Advaita Vedanta, Pemujaan terhadap Tuhan sebagai pengembangan kesadaran bahwa segala sesuatu, termasuk Tuhan, hanya illusi. 

Dalam hal ini, sebenarnya setiap orangdengan segala kelemahannya, dengan kebutuhannya terhadap keyakinan, kebutuhannya terhadap apa yang diyakininya dan mempertahankannya, Orang harus melaksanakan Ritus-ritus tersebut. Tak lain, bukan untuk Kebenaran yang diyakininya, Namun semata-mata untuk memenuhi hasrat dan kelemahannya untuk yakin pada sesuatu. 

NB: Supaya dahaga manusia akan keyakinan itu teratasi, menurut saya ritual yg ditawarkan Muhammad dgn agama monoteistiknya mengantarkan manusia pelan-pelan menuju minuman yg lebih berasa, keimanan. Heuheuheu #Muhammad-isasi.

tulisan tertanggal 21 Januari 2015
Share:

About

FIRMAN HARI INI