Minggu, 18 Februari 2018

HMI Menyambut Generasi Baru



Hasil gambar untuk hmi

Tujuh puluh satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 5 Februari 1947 di Jogjakarta, berkumpul mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII) untuk menyiapkan kelahiran organisasi mahasiswa sebagai penyalurkan aspirasi mahasiswa Islam. Pertemuan tersebut diinisiasi oleh pemuda bernama Lafran Pane yang kelak diberikan gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Hasil pertemuan  tersebut menandakan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan komitmen yang dirumuskan dalam dua tujuan HMI yaitu mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang baru saja merdeka serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama islam. Kelahiran HMI tak lepas dari semangat keislaman dan keindonesiaan yang begitu  kental sejak kelahirannya.
Berbagai Kritik terhadap HMI
Sejak berdirinya, HMI telah memberi andil yang tidak sedikit bagi bangsa Indonesia, namun demikian sebagai organisasi yang telah puluhan tahun mengabdi untuk republik tentu tidak bisa dilepaskan dari kritik dari berbagai pihak. Sebagai contoh Agus Salim Sitompul sejarawan HMI merumuskan ada “44 Indikator Kemunduran HMI” di dalam bukunya yang terbit pada tahun 2008. Kritik lain juga pernah disampaikan oleh Nurcholis Madjid tokoh pembaharu muslim yang sempat menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode. Cak Nur melihat bahwa jika HMI tidak berubah dan memperbaiki diri lebih baik HMI bubar saja.
Tentu masih banyak lagi kritik yang dilayangkan kepada HMI, baik itu dari anggotanya sendiri, alumni, ataupun dari pihak luar HMI. Hal ini wajar karena melihat besarnya angota dan lamanya organisasi ini telah berdiri. Kritik ini juga bisa dilihat sebagai pekerjaan rumah organisasi mahasiswa yang akan melaksanakan Kongres dalam waktu dekat ini. Pada prinsipnya kita harus melihat kritik sebagai sarana untuk mawas diri, sehingga kita dapat melihat secara jujur sejauh mana HMI berfungsi dan berperan. Mau dibawa kemana Himpunan ini? Mana yang diprioritaskan? Saya memilih untuk optimis terhadap kondisi himpunan ini.
Penyusunan kerangka kerja organisasi haruslah melihat dan menekankan pada ­basic need umat dan bangsa Indonesia sebagaimana tujuan awal HMI berdiri dan peranannya dalam mengisi kemerdekaan. Awal berdirinya HMI bangsa Indonesia masih dalam masa Revolusi dimana rakyat masih disibukkan dengan mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Maka yang dibutuhkan pada masa itu adalah sosok Intelektual muslim yang bercirikan Solidarity Maker, seorang pemimpin yang dapat mengorganisir massa untuk bersatu mempertahankan kedaulatan baik ancaman dari dalam dan luar negeri, maka HMI saat itu lebih bercorak sebagai organisasi massa.
Kemudian pada masa membangun sejak Orla hingga sekarang, yang dibutuhkan bangsa ini adalah Intelektual muslim yang bercirikan Problem Solver tipe Administrator yaitu kader yang cakap menguasai ilmu pengetahuan yang diimbangi dengan iman/akhlak sehingga mampu melaksanakan tugas kemanusiaan.
Dengan demikian HMI harus mengorientasikan diri lebih kepada fungsinya sebagai organisasi kader, sehingga corak politis yang kerap menempel di tubuh anggota HMI beralih dari perkaderan politik yang bersifat jangka pendek (politik praktis), menjadi politik perkaderan yang mengorientasikan investasi jangka panjang, untuk menyuplai dan mempersiapkan kebutuhan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas insan cita. Pertanyaannya kemudian adalah, setelah 71 tahun HMI berdiri apa yang dibutuhkan oleh Umat Islam dan bangsa Indonesia menghadapi generasi baru ini?
 Menyambut i-Generation
Reformasi pada tahun 1998 telah membuka keran keterbukaan dan kemudahan akses informasi yang menciptakan pola generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kurang lebih setelah dua puluh tahun reformasi hadir di negeri ini, sekarang anak-anak yang lahir setelah era keterbukaan tersebut telah memasuki telah menjadi mahasiswa baru di kampus-kampus. Generasi yang mempunyai corak baru ini acapkali disebut sebagai Generasi Z atau I-Generation.
I-Generation ini adalah anak-anak yang lahir pada medio 1990-an, dimana intenet sudah mulai masuk di Indonesia dan memasuki era keterbukaan informasi. Psikolog Elizabeth T. Santosa berpendapat salah satu karakter I-generation yang lahir di era digital ini adalah keterikatan mereka dengan dunia digital dan informasi, mereka juga tidak lagi sebagai warga negara Indonesia saja namun juga menjadi komunitas berskala besar dalam sebuah jaringan media dan teknologi,
Selain itu dalam buku Milennials and I-generation Life menyatakan bahwa cara generasi I mengakses informasi terbilang sangat intens. Rata-rata dari mereka mengakses internet 3-5 jam per-hari lewat smartphone mereka. Hal ini tentu menyiratkan bahwa HMI perlu melakukan penyusunan strategi yang tepat untuk mengakomodir potensi I-Generation ini.
HMI tidak bisa lagi menggunakan cara lama dalam menjalankan roda organisasi dan tidak merangkul generasi baru ini, sebab menjadi boomerang tersendiri jika HMI tidak melihat Student need dan Student Interest-nya sendiri, yaitu generasi I.
Memasuki era Bonus demografi dan masalah Pengangguran
Selain dari corak generasi yang memiliki perbedaan dengan generasi sebelumnya. Ada yang juga perlu diperhatikan oleh HMI untuk mempersiapkan investasi kader-kadernya yaitu masalah Bonus Demografi. Sejak tahun 2012 lalu sampai 2035, Indonesia akan menghadapi bonus demografi dimana struktur penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada penduduk yang berusia tidak produktif (dibawah 15 dan diatas 64 tahun).
Menurut data BPS, mulai tahun 2020 nanti komposisi penduduk akan mencapai 70 persen usia produktif dan 30 persen saja penduduk berada diusia tidak produktif. Artinya, apabila dalam rumah terdapat 4 orang, 3 diantaranya berada di usia produktif. Hal ini tentu menjadi keuntungan apabila dipersiapkan dan dimanfaatkan dengan baik, walaupun juga bisa menjadi boomerang apabila tidak dipersiapkan dengan baik oleh semua elemen masyarakat Indonesia.
Di sisi lain masih terdapat sejumlah persoalan dalam mempersiapkan bonus demografi. Data BPS menunjukkann sektor formal kita hanya menyerap 60 persen tenaga kerja secara keseluruhan, artinya sektor ini belum bisa secara maksimal menyerap tenaga kerja kita. Yang juga menjadi ironi adalah masalah pengangguran di tanah air, dimana lulusan pendidikan tinggi (diploma/sarjana) justru menyumbang 13,44 persen dari jumlah pengangguran yang ada. Dari data itu kita dapat melihat bahwa lulusan pendidikan tinggi saja ternyata tidak menjamin pekerjaan.
Sejumlah masalah diatas ini harus menjadi perhatian HMI jika ingin terus mencetak kader umat kader bangsa. HMI yang selama ini dikenal sebagai kawah candradimuka bagi mahasiswa juga harus mempersiapkan kadernya untuk menghadapi tantangan bangsa ke depan secara optimis.
Memang tidak mudah namun di usianya yang semakin matang tantangan ini dapat dijawab HMI dengan berbagai cara antara lain menjawab modernisasi organisasi dengan penguasaan teknologi informasi untuk menyiapkan kader generasi I, mengoptimalkan lembaga profesi yang ada di HMI untuk menyiapkan kader yang profesional saat terjun di masyarakat dan kemampuan berwirausaha bagi kader HMI yang berbasis nilai nilai Islam adalah beberapa hal yang harus segera dilakukan HMI dalam waktu dekat.
Selamat Milad HMI ke-71 dan Selamat berkongres, Yakin Usaha Sampai.
 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

About

FIRMAN HARI INI