Tujuh
puluh satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 5 Februari 1947 di Jogjakarta,
berkumpul mahasiswa Sekolah Tinggi
Islam (sekarang UII) untuk menyiapkan kelahiran
organisasi mahasiswa sebagai penyalurkan aspirasi mahasiswa Islam. Pertemuan
tersebut diinisiasi oleh pemuda bernama Lafran Pane yang kelak diberikan gelar
pahlawan nasional oleh pemerintah.
Hasil pertemuan tersebut menandakan berdirinya
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan komitmen yang dirumuskan dalam dua tujuan
HMI yaitu mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat
rakyat Indonesia yang baru saja merdeka serta menegakkan
dan mengembangkan ajaran agama islam. Kelahiran HMI tak lepas dari semangat keislaman dan keindonesiaan yang begitu kental sejak kelahirannya.
Berbagai Kritik terhadap HMI
Sejak berdirinya, HMI telah memberi andil yang tidak sedikit bagi
bangsa Indonesia, namun demikian sebagai organisasi yang telah puluhan tahun
mengabdi untuk republik tentu tidak bisa dilepaskan dari kritik dari berbagai
pihak. Sebagai contoh Agus Salim
Sitompul sejarawan HMI
merumuskan ada “44 Indikator Kemunduran
HMI” di dalam bukunya yang terbit pada tahun 2008. Kritik lain juga pernah disampaikan
oleh Nurcholis Madjid tokoh pembaharu
muslim yang sempat menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode. Cak Nur melihat bahwa jika HMI tidak berubah dan memperbaiki diri lebih baik HMI
bubar saja.
Tentu
masih banyak lagi kritik yang dilayangkan kepada HMI, baik itu dari anggotanya sendiri, alumni, ataupun dari pihak luar HMI. Hal ini wajar karena melihat besarnya angota dan lamanya organisasi ini
telah berdiri. Kritik ini juga
bisa dilihat sebagai pekerjaan rumah
organisasi mahasiswa yang akan melaksanakan Kongres dalam waktu dekat ini. Pada
prinsipnya kita harus melihat kritik sebagai sarana untuk mawas diri, sehingga
kita dapat melihat secara jujur sejauh mana HMI berfungsi dan berperan. Mau
dibawa kemana Himpunan ini? Mana yang diprioritaskan? Saya memilih untuk
optimis terhadap kondisi himpunan ini.
Penyusunan
kerangka kerja organisasi haruslah melihat dan menekankan pada basic need umat dan bangsa Indonesia sebagaimana
tujuan awal HMI berdiri
dan
peranannya dalam mengisi kemerdekaan. Awal berdirinya HMI bangsa Indonesia
masih dalam masa Revolusi dimana rakyat masih disibukkan dengan mempertahankan kemerdekaan
yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Maka yang dibutuhkan pada masa itu
adalah sosok Intelektual muslim yang bercirikan Solidarity Maker, seorang pemimpin yang dapat mengorganisir massa
untuk bersatu mempertahankan kedaulatan baik ancaman dari dalam dan luar
negeri, maka HMI saat itu lebih bercorak
sebagai organisasi massa.
Kemudian
pada masa membangun sejak Orla hingga sekarang, yang dibutuhkan bangsa ini adalah
Intelektual muslim yang bercirikan Problem
Solver tipe Administrator yaitu kader
yang cakap menguasai ilmu pengetahuan yang diimbangi
dengan iman/akhlak sehingga
mampu melaksanakan tugas kemanusiaan.
Dengan
demikian HMI harus mengorientasikan diri lebih kepada fungsinya sebagai
organisasi kader, sehingga corak politis yang kerap menempel di tubuh anggota HMI beralih dari perkaderan politik
yang bersifat jangka pendek (politik praktis), menjadi politik perkaderan yang
mengorientasikan investasi jangka panjang, untuk menyuplai dan mempersiapkan kebutuhan sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas insan cita.
Pertanyaannya kemudian adalah, setelah 71 tahun HMI berdiri apa yang dibutuhkan oleh Umat Islam dan bangsa
Indonesia menghadapi generasi baru ini?
Menyambut i-Generation
Reformasi
pada
tahun 1998 telah membuka keran
keterbukaan dan kemudahan akses informasi yang menciptakan pola generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kurang lebih setelah
dua puluh tahun reformasi hadir di negeri ini, sekarang anak-anak yang lahir
setelah era keterbukaan tersebut
telah memasuki telah menjadi mahasiswa baru di kampus-kampus. Generasi yang
mempunyai corak baru ini acapkali disebut
sebagai Generasi Z atau I-Generation.
I-Generation ini adalah anak-anak yang lahir pada
medio 1990-an, dimana intenet sudah mulai masuk di Indonesia dan memasuki era keterbukaan informasi. Psikolog Elizabeth T. Santosa berpendapat salah
satu karakter I-generation yang lahir di era digital ini adalah keterikatan
mereka dengan dunia digital dan
informasi, mereka juga tidak lagi
sebagai warga negara Indonesia saja namun juga menjadi
komunitas berskala besar dalam sebuah jaringan media dan teknologi,
Selain itu dalam buku Milennials and I-generation Life
menyatakan bahwa cara generasi I
mengakses informasi terbilang sangat intens.
Rata-rata dari mereka mengakses internet 3-5 jam per-hari lewat smartphone mereka. Hal ini tentu menyiratkan bahwa HMI perlu melakukan penyusunan strategi yang tepat untuk
mengakomodir potensi I-Generation ini.
HMI tidak bisa lagi menggunakan cara lama dalam
menjalankan roda organisasi dan tidak merangkul generasi baru ini, sebab menjadi boomerang
tersendiri jika HMI tidak melihat Student need dan Student
Interest-nya sendiri, yaitu generasi I.
Memasuki era Bonus demografi dan
masalah Pengangguran
Selain
dari corak generasi yang memiliki perbedaan dengan generasi sebelumnya. Ada
yang juga perlu diperhatikan oleh HMI untuk mempersiapkan investasi
kader-kadernya yaitu masalah Bonus Demografi.
Sejak tahun 2012 lalu sampai 2035, Indonesia akan menghadapi bonus demografi dimana struktur penduduk
usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada penduduk yang berusia tidak
produktif (dibawah 15 dan diatas 64 tahun).
Menurut
data BPS, mulai tahun 2020 nanti komposisi penduduk akan mencapai 70 persen
usia produktif dan 30 persen saja penduduk berada diusia tidak produktif.
Artinya, apabila dalam rumah terdapat 4 orang, 3 diantaranya berada di usia produktif. Hal ini tentu menjadi keuntungan
apabila dipersiapkan dan dimanfaatkan dengan baik, walaupun juga bisa menjadi
boomerang apabila tidak dipersiapkan dengan baik oleh semua elemen masyarakat
Indonesia.
Di sisi lain masih terdapat sejumlah persoalan dalam mempersiapkan bonus demografi. Data BPS menunjukkann sektor formal kita hanya menyerap 60 persen tenaga
kerja secara
keseluruhan, artinya sektor ini
belum bisa secara maksimal menyerap tenaga kerja kita. Yang juga menjadi ironi adalah masalah
pengangguran di tanah air, dimana
lulusan pendidikan tinggi (diploma/sarjana) justru menyumbang 13,44 persen dari jumlah pengangguran
yang ada. Dari data itu kita dapat melihat bahwa
lulusan pendidikan tinggi saja ternyata tidak menjamin pekerjaan.
Sejumlah masalah
diatas ini harus menjadi perhatian HMI jika ingin terus
mencetak kader umat kader bangsa.
HMI yang selama ini dikenal sebagai kawah
candradimuka bagi mahasiswa juga harus mempersiapkan kadernya untuk menghadapi
tantangan bangsa ke depan secara optimis.
Memang tidak mudah namun di
usianya yang semakin matang tantangan ini dapat dijawab HMI dengan berbagai
cara antara lain menjawab
modernisasi organisasi dengan penguasaan teknologi informasi untuk menyiapkan
kader generasi I, mengoptimalkan lembaga profesi yang ada di HMI untuk menyiapkan kader yang
profesional saat terjun di masyarakat dan
kemampuan berwirausaha bagi kader HMI yang berbasis nilai nilai Islam adalah beberapa hal yang harus segera dilakukan HMI
dalam
waktu dekat.
Selamat
Milad HMI ke-71 dan Selamat berkongres, Yakin Usaha Sampai.
0 komentar:
Posting Komentar