Jumat, 05 Januari 2018

Desa, Kota atau Warung Kopi?


diambil dari http://curate.com.my/exhibitions/dulu_kini_modern_contemporary_indonesian_art/
Empat setengah tahun saya kuliah di Solo, banyak hal yang saya dapatkan. Pelajaran-pelajaran dan ilmu hidup saya dapatkan dari berbagai hal, tak hanya dari perkuliahan, namun juga dari kajian-kajian, diskusi, buku-buku, berorganisasi, dan salah satu juga yang paling penting adalah perhatian dan ketertarikan pribadi soal “masalah-masalah” sosial disekitar.
Jarak rumah dan kampus yang tidak terlalu jauh membuat saya memilih untuk tidak ngekost, beberapa semester saya ngekost juga sebenarnya cuma numpang istirahat. Tidak benar-benar full meninggalkan rumah di Desa. Kondisi yang begitu membuat saya merasakan dua kondisi sosial yang sebenarnya agak berbeda, Desa di Sragen dan Kampus di Solo. Saya pikir begitu kontras sebenarnya perbedaannya. 
Didesa kesadaran masyarakat sebagai suatu kelompok begitu kental terasa, di desa masih banyak terdapat kerjabakti, setiap ada orang gawe pasti sedesa turut sibuk, satu orang punya hajat, punya masalah, menjadi masalah bersama, kontrol sosial juga tinggi. Seperti apa yang dikatakan dalam kelas-kelas diperkuliahan semester awal, di desa kelompok sosial cenderung lebih ke Gesselscaft alias Paguyuban. dimana anggotanya terikat kuat satu sama lain. 
Sedang dikota, orang-orang terhubung oleh kepentingan, bisa dari hubungan kerja, hubungan minat dan hobi, ikatan organisasi, ikatan partai atau ideoligi, ndak seperti di didesa yang hubungan berdasar teritori, dikota tidak mengenal tetangga adalah hal yang biasa, maka kontrol sosial juga tidak terlalu kuat. Urusan kerja bakti misalnya, orang lebih memilih membayar dari pada kerja bersama-sama. Hubungan begini dalam sosiologi disebut hubungan Gemeinscaft atau patembayan, hubungan berdasarkan kepentingan. 
Namun akhir-akhir ini tak pikir hubungan sosial macem apa yang dikampus pelajari tidak saya rasa lagi. Saya tidak rasakan lagi di desa interaksi yang intim sebagai kesatuan teritori, begitupula di kota sebagai suatu kesatuan kepentingan. Ada perubahan yang sedemikian besar mengubah hubungan interaksi kita, banyak hal tak pikir, tapi utamanya adalah berkembangnya telepon genggam dan teknologi informasi kita. 
Perkembangan tekhnologi informasi yang makin pesat ternyata tak kita sadari, telah mengubah interaksi dan hubungan sosial kita sedemikian rupa. Di desa-desa tak kita dapati lagi, utamanya dikalangan muda umuran saya ini, obrolan intim tentang bagaimana kondisi teman-teman kita diperantauan, atau bagaimana ruginya adik-adik kita tidak memainkan lagi permainan-permainan seru kita duhulu, bagaimana tetangga-tetangga kita dan pacarnya yang sering pulang malam, atau tentang pekerjaan, sekolah, guru-guru kita, tetangga-tetangga yang menyebalkan dan lain-lain. Itu semua membentuk solidaritas, memperkuat kontrol sosial. Semua telah disibukkan telepon genngamnya masing-masing.
Dikota juga demikian, kita tidak kita temui lagi diskusi-diskusi bagaimana kondisi kota, dan negara kita, dimana tempat-tempat berenang, futsal, badminton yang paling murah untuk kita bisa datangi bersama, dimana ada pameran-pameran beasiswa dan kerjaan yang bisa kita daftari. Kita disibukkan oleh informasi-informasi virtual tanpa pertukaran simpati dan empati kita tentang informasi itu.
Saya tidak sedang menggugat, saya cuma sedang merindukan obrolan tatapmuka penuh transaksi rasa empati diantara masyarakat kita, padahal itu yang membuat kita merasa menjadi manusia. Bagi saya, secanggih apapun teknologi informasi yang kita genggam tak akan bisa menggantikan obrolan hangat. Sebaik apapun hubungan virtual tidak akan menampakkan tatapan mata seseorang yang tercermin ketika sedih dan suka, tulus atau bohong. 
Sekarang-sekarang ini, kita hanya bisa mengandalkan warung kopi untuk menggantikannya. Saya kira di warung kopi ataupun hik/wedengan interaksi macem begitu masih bisa dicari. Sampai saya menulis tulisan ini pun saya sedang di warung kopi, memesan segelas Capuccino sembari menunggu kawan untuk berinteraksi, dan tenggelam dipikiran sendiri.
Segitu aja dulu, dari yang merindukanmu dengan obrolan-obrolan intim kita.
Anu.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

About

FIRMAN HARI INI