Kamis, 12 Februari 2015

Soal Niat Baik Penyelenggara pendidikan, KRS, dan sebagainya.

Salam,
Belakangan ini kita mendapat angin segar, kita dikejutkan dengan adanya beberapa Press release oleh Organisasi Mahasiswa (Ormawa) kita, BEM dan Dema. Kabar-kabar yang mereka beritakan tak jauh dari peristiwa up to date dari segala keresahan mahasiswa kita. ya, maksud tulisan ini sebetulnya juga mengenai isi berita yang disampaikan oleh kedua ormawa tersebut. Namun, mari tetaplah kita puji dahulu kawan-kawan kita yang berada di kedua ormawa tersebut, bahwasanya Press release- Press release menghembuskan angin segar bahwa akan terciptanya Good-Student-Government yang kita cita-citakan bersama itu. Harapan yang saya maksud yaitu press release yang mereka keluarkan itu menunjukkan kepada kita bahwa (setelah satu semester vakum) Aparat kedua Ormawa yang sekarang menjabat sepertinya memiliki kepedulian yang lebih kepada mahasiswa, dan berusaha menjawab keresahan mahasiswa kita. Memang kondisi kedua ormawa kita, sekali lagi-setelah vakum satu semester-, haruslah dapat dimanfaatkan oleh Kawan-kawan yang ada didalamnya. Ia harus menjadi anti-tesa dari periode sebelumnya, periode yang sama-sama tidak kita harapkan itu. Dan Hal itu akan lebih mudah dilakukan oleh Kawan-kawan yang ada didalam kedua ormawa itu sekarang, untuk benar-benar menjadi antitesa, mengingat kondisi sebelumnya yang nyaris tak ada eksistensinya. Yah, kita harapkan bersama, semoga benar-benar bisa menjadi lebih baik.
Kedua Ormawa fakultas mengeluarkan Press release, atau lebih mudahnya selanjutnya kita sebut Informasi, mengenai sistem terbaru KRS. Memang sebelum itu, kita dihebohkan dengan informasi bahwa Jam Perkuliahan kita akan menjadi 12 jam, artinya jam perkuliahan kita akan berakhir sampai pukul, kuranglebih, 7 malam. Hal itu menjadi perhatian bagi mahasiswa kita, bahkan rumornya kedua petinggi ormawa (karena saking amanahnya, dan saking “mendengarkan aspirasi” mahasiswa kita yang kebanyakan nggak setuju dengan keputusan itu) hampir protes, karena kesimpangsiuran informasi yang didapat. Kita perlu sekali lagi hargai kalo memang benar begitu. Namun bagaimana pun, sepertinya kedua petinggi Ormawa itu akhirnya mencari informasi mengenai rumor keputusan itu. Dema akhirnya memberikan Press release-nya, yang kurang lebih kita singkat dengan demikian:
1.      Pertambahan Jam dikarenakan pengurangan jumlah mahasiswa dalam tiap kelas, dan akhirnya memberi kelas tambahan agar mahasiswa, tertampung dalam kelas yg lebih “Intensif”.
2.      Pertamakalinya “Generated System” untuk mengatur jadwal tiap fakultas
3.      Fakultas tidak bisa mengubah jadwal.
Betapa bersyukurnya kita, akhirnya fakultas/universitas kita memberi Inovasi terbarunya mengenai Kependidikan kita. Yah, setidaknya “intensif-isasi kelas” dengan pengurangan jumlah mahasiswa yang ada disetiap kelas, menunjukkan kepedulian mereka dengan iklim dalam sistem mendidik, tatap muka, belajar-mengajar, di kampus kita. Walaupun cara yang ditempuhnya masih terdapat kekurangan sana-sini mengenai dampak dan akibat “intensif-isasi” itu. Kita tetap harus mendukung (jikalau benar) niat baik itu, dengan memberi ide kritik dan saran.
Keputusan yang mereka ambil untuk “intensif-isasi kelas” itu akhirnya mengakibatkan adanya kelas malam, kalu boleh disebut begitu. Berakhirnya kuliah pada malam hari ini harus betul-betul dipersiapkan segala konsekuensinya. Kita dapat memandang demikian:
1.      UNS gelap pada malam hari, hal ini perlu juga menjadi pertimbangan untuk memasang lampu-lampu disetiap sudut yang gelap. Menurut saya sangat kurang-ajar ketika kuliah di-UNS berakhir pada malam hari tapi kondisinya kampusnya gelap di malam hari. Apa dampak dari Gelapnya kampus saat kita pulang? kawan-kawan bisa menjawabnya sendiri;
2.      Dampak lain yang bisa kita tangkap untuk fakultas kita (Hukum) adalah soal ibadah Magrib mahasiswa muslim. Jelas, magrib mempunyai waktu yang paling singkat dari Sholat yang lain. Waktu yang singkat itu akhirnya menimbulkan Magrib memiliki banyak jamaah dari pada sholat yang lain, kondisinya akan semakin diperkuat dengan  penyediaan waktu istirahat sholat dalam jadwal kuranglebih sekitar 20- 30 menit. Apa masalahnya? kita tahu, selain gelap, fakultas kita sepertinya juga memiliki masalah mengenai air saat malam hari yang kadang mat/dimatikan. Betapa Kurang ajar-nya apabila waktu singkat yang disediakan hanya habis untu mencari air wudlu. Selain itu, masjid kita haruslah juga terurus, kita mendapat banya laporan mengenai Rukuh di masjid kita yang tidak terurus (bau, dsb). Fakultas juga perlu membenahi hal ini. Mungkin Kepengurusan masjid harus dibentuk atau diperkuat;
3.      Soal akan sempitnya waktu bagi mahasiswa untuk berorganisasi. Suatu organisasi jelas harus memiliki waktu “bersama” untuk rapat atau minimal untuk kumpul-kumpul. Waktu perkuliahan yang panjang yg disediakan kampus sebenarnya juga membuktikan ketidak berpihakannya dengan aktifitas keorganisasian mahasiswa. Tapi dengan mulut berbusa mereka berkata disetiap kelas “Softskill dari organisasi itu penting”dst, dst. Sempitnya waktu yang disediakan untuk berorganisasi ini, juga diperparah dengan laporan dari kawan-kawan UKM yang kadang diusir saat malam hari masih rapat dikampus.
Mungkin masih banyak dampak-dampak yang lain lagi kalo kita selidiki. Kampus kita tetap perlu berbenah, kalau bisa mengeluarkan keputusan yang begitu mengaharukan dengan “Intensif-isasi Kelas” mestinya juga dibarengi juga sama penanggulangan konsekuensi-konsekuensi dari keputusan itu.
Berita/informasi kedua datang dari BEM. Mereka memberi informasi mengenai sistem KRS yang katanya penambahan kuota diserahkan pada dosen bukan pada Bagian pendidikan. dan dosen meminta “bukti yg kuat” kalau kata BEM untuk menambah kuota. Gapapa, kita masing-masing tahu dampaknya soal itu. Tapi tentu saja kalau masih dihubungkan dengan “Intensif-isasi Kelas”. Konsekuensinya adalah dengan sedikitnya kuota mahasiswa yang disediakan disetiap kelas.
Kita tahu, telah menjadi kultur dan budaya kita bahwa setiap ada agenda pengisisan “KRS” selalu menjadi ajang pertempuran, disana kita mengadukan nasib kita kepada kecepatan internet. Dapat dimaklumi, satu hari pengambilan kelas dalam KRS, juga menentukan satu semester kedepan. mekanismenya begini:
tuntutan Ortu, syarat Kerjaan bagus  ->IP harus tinggi-> Nilai-nilai harus bagus -> tergantung sama dosen yg dipilih-> tergantung KRS.
Ya, kultur kita memang begitu. Mungkin kalo kita melihat mengapa demikian dapat kita kelompokkan lagi penyebabnya:
1.      Jadwal Dosen telah disampaikan dahulu.
Ini membuat mahasiswa tentu saja diberi kesempatan untuk dengan mudah menyusun jadwal, dengan memilih dosen-dosen yang “murah” nilainya. Jadwal dosen yg telah disampaikan itu, lantas menjadikan mahasiswa menyusun jadwalnya lebih dahaulu, dan sebisa mungkin mendapat kelas yg nilainya murah, atau minimal “nggak zonk”, demi Nilai bagus yang diinginkannya, ranculah KRS kalu jadwal yg sebelumnya dibuat tidak tercapai. Makul Tabrakan, dsb, dsb. akhirnya memaksa bag pendidikan menambah kuota, yang akhirnya sekarang tidak bisa dilakukan olehnya. Hal ini akhinya juga menjadi berlawanan dengan cita-cita “intensif-isasi Kelas” yang diawal maksudkan. Diperparah lagi dengan kultur nge-Genk difakultas kita. Akhirnya genk-genk itu sebisanya tetap sekelas. Ranculah juga kalau jadwal yg mereka buat tidak tercapai. Akhirnya Pendidikan, mungkin dengan persetujuan dosen, menambah kuota yang tidak sedikit.
2.      Tidak adanya standar dalam penilaian Dosen.
Hal tersebut berdampak pada masa KRS. Kita memilih dosen berdasarkan “Kemurahan Nilai”nya. Berbeda dengan cita-cita luhur kita diawal kuliah, untuk belajar mencari ilmu. hehe. Tentu saja, kita berperang disatu hari KRS dengan harapan bahwa tidak akan memilih dosen yang “PASTI JELEK” nilainya. Kita nomerseribukan Cita-cita luhur kita, toh (SEPERTINYA/SEMOGA) ilmu (MUNGKIN) bisa kita pelajari sendiri. hehe. Tapi hal itu sebenarnya justru menandai kemenyerahan kita soal perlawanan kita terhadap kemalasan. Kita akhirnya lebih suka Mendapatkan Nilai bagus dari KRS, dari pada menaklukkan dosen dengan Tugas-tugas yang sebenarnya bisa kita selesaikan dengan ide-ide kita yang liar dan brilian.
Kalau memang demikian, mungkin sebaiknya jadwal tidak perlu terbit terlebih dahulu. Kita Bandingkan apabila demikian. Kita dapat membayangkan betapa fair-nya nilai-nilai kita, pun perlu atau tidak perlu sebelum atau sesudah terciptanya standarisasi nilai, akan kita dapati kemerataan dalam nilai-nilai kita, akhirnya nilai yang dicapai tidak mendapat intervensi dari kecepatan internet. Kita bayangkan juga mahasiswa dapat memilih jadwal sesuai waktu yang mereka kehendaki dengan lebih mudah. Tentu saja, KRS buta mengurangi arogansi kita terhadap KRS si “Hari penentu masa depan” itu, karena tidak terlalu banyak yang dikejar dan dipertaruhkan, akan lebih fleksibel kita menentukan kapan kita mengatur siasat waktu istirahat, makan, males-malesan (dengan meliburkan beberapa hari), apabila pengambilan dalam KRS tidak arogan. Tak lupa, KRS-an buta, tentu saja akan lebih mendukung “intensif-isasi kelas”, Jadwal yang disiapkan oleh mahasiswa lebih fleksibel, tidak ada fanatisme terhadap dosen, atau sikap anti-terhadap dosen, oleh karena itu jikalaupun jadwal akhirnya bertabrakan, Bagian Pendidikan, dengan persetujuan dosen,  akan lebih sedikit membuka koutanya, dan terciptalah iklim intensif yang tuan-tuan itu kehendaki. hehe
Tapi demikian, apakah kita siap meninggakan kultur kita? kultur yang memalukan dan kita tahu sebenarnya tidak diharapkan itu? Pengetjoet/tidak kah kita bila tak berani menghadapi perubahan?
“Saya berani, gatau kalau mbak titi”
hehe, segitu aja. salam.

ABD.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

About

FIRMAN HARI INI