Penulis : Rizal A |
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan peristiwa-peristiwa beruntun
tentang penyerangan ulama yang dilakukan oleh orang yang diduga
mengalami gangguan kejiwaan. Peristiwa itu mencuat ke ruang publik kita
di tengah panasnya suasana Pilkada.
Kondisi itu memunculkan prasangka bahwa penyerangan itu seakan
direncanakan oleh kelompok tertentu yang anti terhadap agamanya, bahkan
beredar video yang mengintimidasi orang-orang dengan gangguan mental ini
agar mengaku kader Partai Komunis Indonesia, partai yang telah lama
dibubarkan di Indonesia.
Di daerah lain kita juga diperlihatkan bagaimana orang dengan gangguan
mental sering diperlakukan tak manusiawi oleh masyarakat, salah satunya
dengan cara dipasung. Bahkan di Mojokerto ditemukan orang dengan
gangguan mental telah dipasung selama 25 tahun di tengah hutan.
Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan betapa minimnya kesadaran masyarakat
kita tentang orang dengan gangguan mental.
Minimnya pemahaman itu menyebabkan berbagai prasangka dan stigma negatif
dimasyarakat tentang orang dengan gangguan mental, dan akhirnya secara
sembarangan membentuk prasangka sesuai ketakutannya : PKI-lah,
amoral-lah, kurang iman –lah, kesurupan jin-lah, dan lain sebagainya.
Jika kita lihat lebih mendalam gejala gangguan kejiwaan sebetulnya tidak
semata-mata muncul akibat faktor genetik atau keturunan maupun faktor
kerusakan otak. Lebih dari itu, kondisi sosial dan lingkungan turut
berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang.
Mental Disorder dan Keberingasan Masyarakat Modern
Menurut Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial, gangguan kejiwaan
hampir tidak pernah disebabkan hanya oleh satu sebab, namun kebanyakan
oleh satu kompleks faktor penyebab. Kartini menyebutkan setidaknya ada
tiga faktor yang saling berkelindan dalam masalah gangguan kejiwaan
antara lain faktor organis / somatis, dalam hal ini kerusakan pada otak,
bisa terjadi secara genetik, atau terjadi karena kecelakaan pada
kepala, juga bisa terjadi kepada pecandu alkohol ataupun narkoba.
Faktor kedua adalah psikis dan struktur pribadi, yaitu kecemasan,
kesedihan, sakit hati, depresi, dan rendah diri. Hal bisa menyebabkan
orang sakit secara kejiwaan, dan mengakibatkan ketidakseimbangan mental
dan disintegritas kepribadian. Pemasakan pengalaman dengan cara-cara
yang keliru bisa membuat orang terganggu jiwanya, terutama apabila beban
psikis lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban itu.
Kondisi sosial atau lingkungan juga turut mempengaruhi kejiwaan
seseorang. Pembangunan, modernisasi, urbanisasi menyebabkan kehidupan
masyarakat modern menjadi kompleks, sehingga penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat menjadi sangat sulit.
Akibatnya orang mengalami ketakutan, kecemasan, kebingungan, frustasi,
konflik batin dan konflik sosial sosial terbuka dengan orang lain.
Lebih lagi kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan rasa
individualisme mengakibatkan kontak sosial di kota-kota menjadi sangat
longgar. Masyarakat menjadi kesepian, kepanikan, ketakutan yang
mengganggu ketenangan jiwa. Hal ini mengakibatkan mereka mengalami
dekompensasi, derealisasi, dan depersonalisasi, yang dalam tahap lebih
lanjut dapat berubah menjadi gejala neurosa.
Gejala utama masyarakat modern adalah hilangnya penguasaan terhadap
konflik-konflik dan kekalutan batin sendiri. Selain itu, munculnya
gejala menutup diri dan egosentrisme yang ekstrim menyebabkan orang
tidak lagi tersentuh sama sekali oleh kehadiran atau masalah orang lain.
Akibat kekacauan dalam diri sendiri membuat mereka tidak tanggap
terhadap keadaan lingkungan.
Hal ini yang sebenarnya juga memperparah dampak dari gangguan kejiwaan
itu sendiri. Masyarakat yang semakin individual tak peduli dengan
kondisi kejiwaan lingkungannya, akibatnya secara sembarangan memberi
stigma negatif terhadap mereka yang sebenarnya memiliki kebutuhan
khusus, bahkan memperlakukan mereka secara tak manusiawi.
Adalah ironi mengetahui data bahwa dari 400.000 orang dengan gangguan
kejiwaan berat, 14,3 persen di antaranya atau 57.000 orang pernah atau
saat ini dalam kondisi dipasung. Pada bulan Maret 2016, pemerintah
mempublikasikan data bahwa ada sekitar 18.800 ODGJ yang masih dipasung
di Indonesia
Kondisi Kesehatan Mental di Indonesia
Data-data umum tentang kondisi kesehatan mental nasional akan memberi
gambaran lebih terang tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menurut Riset
Kesehatan Dasar 2013 prevalensi gejala-gejala depresi dan kecemasan
pada usia 15 tahun keatas mencapai 6 persen. Artinya sekitar 14 juta
orang orang remaja dan dewasa Indonesia mengalami gangguan kejiwaan
sedang dan ringan.[1]
Angka tersebut bukanlah angka yang sedikit, meski menurut dr.
Fidijiansjah, sebagaimana dilansir dari Tirto, meyakini bahwa ketika
pengujuannya dilakukan dengan metodologi yang lebih tajam dan melibatkan
pakar khusus, maka realitanya bisa mencapai sekitar 20 persen. Jika
memakai angka ini, bisa diartikan 1 dari 5 orang di Indonesia mengalami
gangguan kejiwaan.
Walau demikian, dengan angka 6 persen saja, secara global Indonesia saat
ini sudah menempati urutan ke-4 dalam daftar negara-negara dengan
tingkat depresi paling tinggi di dunia, dan menempati urutan ke-6 dalam
hal gangguan kesehatan mental dan kejiwaan secara keseluruhan.
Kondisi yang demikian diperburuk dengan minimnya pelayanan kesehatan
jiwa di Indonesia. Saat ini, hanya 30 persen saja dari 9.000 puskesmas
di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa.
Selain itu, hanya ada 249 dari total 445 rumah sakit uum di Indonesia
yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa.
Tenaga kesehatan jiwa pun masih sangat minim. Saat ini hanya ada 600
hingga 800 psikiater di seluruh Indonnesia. Bisa diartikan dengan angka
itu seorang psikiater terlatih diharuskan menangani 300.000 sampai
400.000 orang. Itupun jika sebaran geografisnya merata, faktanya
sebanyak 70 persen dari seluruh psikiater berada di Jawa dan 40 persen
dari jumlah itu bekerja di Jakarta.[2]
Dari data diatas dapat diartikan sisi fasilitas pelayanan kesehatan
mental dan jiwa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini belum
ditambahkan dengan minimnya penyadaran kepada masyarakat tentang orang
dengan gangguan kejiwaan, baik ringan sedang atau berat.
Minimnya pengetahuan masyarakat dan stigma negatif terhadap mereka yang
memiliki gangguan kejiwaan adalah salah satu penyebab orang dengan
gangguan kejiwaan merasa tersisih dan semakin sendiri, bahkan merasa
malu untuk sekedar pergi ke psikiater. Akhirnya banyak dari mereka
mengkonsumsi obat-obatan, miras, bahkan dalam depresi yang semakin berat
tak sedikit yang bunuh diri.
Kurangnya pemahaman awam tentang gangguan kejiwaan tak hanya terjadi di
Indonesia. Dari survei yang dilakukan Depression and Bipolar Support
Alliance (DBSA) terhadap 1.200 responden Amerika mengenai pandangan awam
tentang individu yang mengalami salah satu gangguan kesehatan jiwa
bipolar, memberikan hasil bahwa di negara yang maju ini pun masih banyak
yang belum tersadarkan dengan gangguan ini, yaitu dua per tiga
responden menyatakan bipolar sebagai perilaku atau kebiasaan buruk yang
melekat pada individu.
Ruang Publik untuk Kesehatan Jiwa
Disadari atau tidak pembangunan yang dipusatkan hanya pada kota turut
andil dalam memperburuk masalah ini. Mereka yang pergi ke kota untuk
menyambung hidup harus menyesuaikan diri dengan kondisi warga kota yang
cenderung individualis, kontras dengan cara hidup di desa yang komunal.
Kohesi sosial yang mengendur tak jarang mengakibatkan masyarakat tak
siap menghadapinya.
Kita dapat mengambil contoh data di kota Jakarta. Pada tahun 2017
peningkatan jumlah penghuni panti sosial yang dikelola oleh pemerintah
daerah jumlahnya mencapai 174 persen, artinya panti yang hanya
berkapasitas 1.700 orang, kini jumlahnya sudah mencapa angka 3.000
orang.
Yang memprihatinkan adalah dari jumlah penderita gangguan mental itu 75
persennya adalah para pendatang dari luar ibukota. Angka ini boleh jadi
disebabkan karena banyak pendatang yang tidak bisa bertahan dengan
kerasnya persaingan dan persoalan ekonomi di ibukota, kemudian mengalami
gangguan kesehatan mental dan akhirnya menjadi penghuni panti-panti
sosial.
Tata kota yang berpihak hanya pada kepentingan modal sebagai contoh
memperluas penggunaan lahan untuk mall mengakibatkan menyempitnya ruang
terbuka publik yang bisa diakses semua kalangan. Hal ini selaras dengan
apa yang dikatakan oleh Juneman dalam risetnya yang dilansir oleh Tirto,
bahwa pertumbuhan pesat mal di kota-kota besar di Indonesia menjadi
biang menipisnya kohesi sosial antar warga kelas menengah atas dengan
warga kelas menengah bawah. Juneman mengungkapkan Mal bukanlah ruang
publik yang ideal sealigus menyehatkan bagi jiwa warga kota.
Juneman juga menambahkan bahwa kecanduan warga perkotaan dengan
penggunaan media sosial semakin mengakibatkan menipisnya kesempatan
mereka untuk menguatkan kohesi sosial di dunia nyata. Dari risetnya ia
menekankan bahwa ada relasi yang kuat antara kesehatan jiwa dengan
penggunaan ruang publik yang mewadahi pertemuan riil antar warga kota.
Hasil analisis riset menunjukkan tingkat pemanfaatan ruang terbuka
publik bisa menyehatkan jiwa warga kota. Kesimpulan ini didapat setelah
ditemukannya korelasi positif antara pemanfaatan ruang terbuka publik
dengan kohesi sosial para partisipan dengan warga kota lainnya. Hubungan
sosial yang meningkat membuat kondisi warga kota menjadi lebih stabil,
menjauhkan dari rasa depresi yang berlebihan.
Ruang publik yang ideal adalah yang bersifat inklusif alias bisa
dimasuki dan diakses oleh orang-orang dengan berbagai latar belakang
atnis ataupun sosial ekonomi. Komunikasi yang terjalin untuk menstimulus
kohesi sosial juga tak mesti intensif, formal, dan terstruktur dengan
orang atau kelompok yang sudah dikenal, melainkan bisa dimulai dengan
sapaan dan obrolan singkat.
Menghapus Stigma, Menjunjung Martabat
Dari berbagai pemaparan diatas kita dapati bahwa kesadaran masyarakat
tentang orang dengan gangguan kejiwaan masih sangat minim. Hal itu
menimbulkan banyak stigma dan perlakuan negatif yang alih-alih
memperbaiki kondisi malah jutru memperburuk kondisi.
Kita dapat membantu mereka dengan menghilangkan stigma negatif terhadap
orang dengan gangguan mental, mulai dari yang paling ringan dengan tidak
membully mereka yang sedih berlebihan, mereka yang sering berubah mood,
atau mereka yang gampang marah dan mudah meledak. Karena hal tersebut
dapat memperburuk ondii kejiwaan si penderita.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat kohesi sosial
dengan saling sapa antar warga masyarakat, mengobrol ringan dengan para
tetangga, menjenguk mereka yang sakit dan lain sebagainya. Hal ini akan
meningkatkan kesadaran bahwa kita semua tidak hidup sendiri.
Sedangkan peran pemerintah bisa dilakukan dengan cara memperkuat
pembangunan di desa dan tidak melulu di kota. Hal ini akan mengurangi
angka urbanisasi yang mengakibatkan minimnya lapangan kerja di desa.
Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan pembagian ruang yang imbang
dalam penataan wilayah kota. Perluasan ruang terbuka publik bisa menjadi
sarana untuk meningkatkan kohesi sosial atar masyarakat.
Pencerdasan masyarakat terkait dengan orang dengan gangguan mental juga
dapat menjadi solusi dari tindakan tak manusiawi masyarakat terhadap
mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Dengan begitu kita dapat
benar-benar melakukan revolusi (perbaikan) mental, dan bukan
sebaliknya.
0 komentar:
Posting Komentar