Belakangan ini kita
mendapat angin segar, kita dikejutkan dengan adanya beberapa Press release oleh
Organisasi Mahasiswa (Ormawa) kita, BEM dan Dema. Kabar-kabar yang mereka
beritakan tak jauh dari peristiwa up to
date dari segala keresahan mahasiswa kita. ya, maksud tulisan ini
sebetulnya juga mengenai isi berita yang disampaikan oleh kedua ormawa
tersebut. Namun, mari tetaplah kita puji dahulu kawan-kawan kita yang berada di
kedua ormawa tersebut, bahwasanya Press release- Press release menghembuskan
angin segar bahwa akan terciptanya Good-Student-Government
yang kita cita-citakan bersama itu. Harapan yang saya maksud yaitu press
release yang mereka keluarkan itu menunjukkan kepada kita bahwa (setelah satu
semester vakum) Aparat kedua Ormawa yang sekarang menjabat sepertinya memiliki
kepedulian yang lebih kepada mahasiswa, dan berusaha menjawab keresahan
mahasiswa kita. Memang kondisi kedua ormawa kita, sekali lagi-setelah vakum
satu semester-, haruslah dapat dimanfaatkan oleh Kawan-kawan yang ada
didalamnya. Ia harus menjadi anti-tesa dari periode sebelumnya, periode yang
sama-sama tidak kita harapkan itu. Dan Hal itu akan lebih mudah dilakukan oleh Kawan-kawan
yang ada didalam kedua ormawa itu sekarang, untuk benar-benar menjadi antitesa,
mengingat kondisi sebelumnya yang nyaris tak ada eksistensinya. Yah, kita
harapkan bersama, semoga benar-benar bisa menjadi lebih baik.
Kedua Ormawa fakultas
mengeluarkan Press release, atau lebih mudahnya selanjutnya kita sebut
Informasi, mengenai sistem terbaru KRS. Memang sebelum itu, kita dihebohkan
dengan informasi bahwa Jam Perkuliahan kita akan menjadi 12 jam, artinya jam
perkuliahan kita akan berakhir sampai pukul, kuranglebih, 7 malam. Hal itu
menjadi perhatian bagi mahasiswa kita, bahkan rumornya kedua petinggi ormawa
(karena saking amanahnya, dan saking “mendengarkan aspirasi” mahasiswa kita
yang kebanyakan nggak setuju dengan keputusan itu) hampir protes, karena
kesimpangsiuran informasi yang didapat. Kita perlu sekali lagi hargai kalo
memang benar begitu. Namun bagaimana pun, sepertinya kedua petinggi Ormawa itu
akhirnya mencari informasi mengenai rumor keputusan itu. Dema akhirnya
memberikan Press release-nya, yang kurang lebih kita singkat dengan demikian:
1.
Pertambahan Jam dikarenakan
pengurangan jumlah mahasiswa dalam tiap kelas, dan akhirnya memberi kelas
tambahan agar mahasiswa, tertampung dalam kelas yg lebih “Intensif”.
2.
Pertamakalinya “Generated
System” untuk mengatur jadwal tiap
fakultas
3.
Fakultas tidak
bisa mengubah jadwal.
Betapa bersyukurnya
kita, akhirnya fakultas/universitas kita memberi Inovasi terbarunya mengenai
Kependidikan kita. Yah, setidaknya “intensif-isasi kelas” dengan pengurangan jumlah
mahasiswa yang ada disetiap kelas, menunjukkan kepedulian mereka dengan iklim
dalam sistem mendidik, tatap muka, belajar-mengajar, di kampus kita. Walaupun
cara yang ditempuhnya masih terdapat kekurangan sana-sini mengenai dampak dan
akibat “intensif-isasi” itu. Kita tetap harus mendukung (jikalau benar) niat
baik itu, dengan memberi ide kritik dan saran.
Keputusan yang mereka
ambil untuk “intensif-isasi kelas” itu akhirnya mengakibatkan adanya kelas
malam, kalu boleh disebut begitu. Berakhirnya kuliah pada malam hari ini harus
betul-betul dipersiapkan segala konsekuensinya. Kita dapat memandang demikian:
1.
UNS gelap pada
malam hari, hal ini perlu juga menjadi pertimbangan untuk memasang lampu-lampu
disetiap sudut yang gelap. Menurut saya sangat kurang-ajar ketika kuliah di-UNS
berakhir pada malam hari tapi kondisinya kampusnya gelap di malam hari. Apa
dampak dari Gelapnya kampus saat kita pulang? kawan-kawan bisa menjawabnya
sendiri;
2.
Dampak lain yang
bisa kita tangkap untuk fakultas kita (Hukum) adalah soal ibadah Magrib
mahasiswa muslim. Jelas, magrib mempunyai waktu yang paling singkat dari Sholat
yang lain. Waktu yang singkat itu akhirnya menimbulkan Magrib memiliki banyak
jamaah dari pada sholat yang lain, kondisinya akan semakin diperkuat
dengan penyediaan waktu istirahat sholat
dalam jadwal kuranglebih sekitar 20- 30
menit. Apa masalahnya? kita tahu, selain gelap, fakultas kita sepertinya juga
memiliki masalah mengenai air saat malam hari yang kadang mat/dimatikan. Betapa
Kurang ajar-nya apabila waktu singkat yang disediakan hanya habis untu mencari
air wudlu. Selain itu, masjid kita haruslah juga terurus, kita mendapat banya
laporan mengenai Rukuh di masjid kita yang tidak terurus (bau, dsb). Fakultas
juga perlu membenahi hal ini. Mungkin Kepengurusan masjid harus dibentuk atau
diperkuat;
3.
Soal akan
sempitnya waktu bagi mahasiswa untuk berorganisasi. Suatu organisasi jelas
harus memiliki waktu “bersama” untuk rapat atau minimal untuk kumpul-kumpul.
Waktu perkuliahan yang panjang yg disediakan kampus sebenarnya juga membuktikan
ketidak berpihakannya dengan aktifitas keorganisasian mahasiswa. Tapi dengan
mulut berbusa mereka berkata disetiap kelas “Softskill dari organisasi itu
penting”dst, dst. Sempitnya waktu yang disediakan untuk berorganisasi ini, juga
diperparah dengan laporan dari kawan-kawan UKM yang kadang diusir saat malam
hari masih rapat dikampus.
Mungkin masih banyak
dampak-dampak yang lain lagi kalo kita selidiki. Kampus kita tetap perlu
berbenah, kalau bisa mengeluarkan keputusan yang begitu mengaharukan dengan “Intensif-isasi
Kelas” mestinya juga dibarengi juga sama penanggulangan konsekuensi-konsekuensi
dari keputusan itu.
Berita/informasi kedua
datang dari BEM. Mereka memberi informasi mengenai sistem KRS yang katanya
penambahan kuota diserahkan pada dosen bukan pada Bagian pendidikan. dan dosen
meminta “bukti yg kuat” kalau kata BEM untuk menambah kuota. Gapapa, kita
masing-masing tahu dampaknya soal itu. Tapi tentu saja kalau masih dihubungkan
dengan “Intensif-isasi Kelas”. Konsekuensinya adalah dengan sedikitnya kuota
mahasiswa yang disediakan disetiap kelas.
Kita tahu, telah
menjadi kultur dan budaya kita bahwa setiap ada agenda pengisisan “KRS” selalu
menjadi ajang pertempuran, disana kita mengadukan nasib kita kepada kecepatan
internet. Dapat dimaklumi, satu hari pengambilan kelas dalam KRS, juga
menentukan satu semester kedepan. mekanismenya begini:
tuntutan Ortu, syarat Kerjaan
bagus ->IP harus tinggi->
Nilai-nilai harus bagus -> tergantung sama dosen yg dipilih-> tergantung
KRS.
Ya, kultur kita memang
begitu. Mungkin kalo kita melihat mengapa demikian dapat kita kelompokkan lagi
penyebabnya:
1.
Jadwal Dosen
telah disampaikan dahulu.
Ini membuat mahasiswa
tentu saja diberi kesempatan untuk dengan mudah menyusun jadwal, dengan memilih
dosen-dosen yang “murah” nilainya. Jadwal dosen yg telah disampaikan itu, lantas
menjadikan mahasiswa menyusun jadwalnya lebih dahaulu, dan sebisa mungkin
mendapat kelas yg nilainya murah, atau minimal “nggak zonk”, demi Nilai bagus
yang diinginkannya, ranculah KRS kalu jadwal yg sebelumnya dibuat tidak
tercapai. Makul Tabrakan, dsb, dsb. akhirnya memaksa bag pendidikan menambah
kuota, yang akhirnya sekarang tidak bisa dilakukan olehnya. Hal ini akhinya
juga menjadi berlawanan dengan cita-cita “intensif-isasi Kelas” yang diawal
maksudkan. Diperparah lagi dengan kultur nge-Genk difakultas kita. Akhirnya
genk-genk itu sebisanya tetap sekelas. Ranculah juga kalau jadwal yg mereka
buat tidak tercapai. Akhirnya Pendidikan, mungkin dengan persetujuan dosen,
menambah kuota yang tidak sedikit.
2.
Tidak adanya
standar dalam penilaian Dosen.
Hal tersebut
berdampak pada masa KRS. Kita memilih dosen berdasarkan “Kemurahan Nilai”nya.
Berbeda dengan cita-cita luhur kita diawal kuliah, untuk belajar mencari ilmu.
hehe. Tentu saja, kita berperang disatu hari KRS dengan harapan bahwa tidak
akan memilih dosen yang “PASTI JELEK” nilainya. Kita nomerseribukan Cita-cita
luhur kita, toh (SEPERTINYA/SEMOGA) ilmu (MUNGKIN) bisa kita pelajari sendiri.
hehe. Tapi hal itu sebenarnya justru menandai kemenyerahan kita soal perlawanan
kita terhadap kemalasan. Kita akhirnya lebih suka Mendapatkan Nilai bagus dari
KRS, dari pada menaklukkan dosen dengan Tugas-tugas yang sebenarnya bisa kita
selesaikan dengan ide-ide kita yang liar dan brilian.
Kalau memang demikian,
mungkin sebaiknya jadwal tidak perlu terbit terlebih dahulu. Kita Bandingkan
apabila demikian. Kita dapat membayangkan betapa fair-nya nilai-nilai kita, pun
perlu atau tidak perlu sebelum atau sesudah terciptanya standarisasi nilai,
akan kita dapati kemerataan dalam nilai-nilai kita, akhirnya nilai yang dicapai
tidak mendapat intervensi dari kecepatan internet. Kita bayangkan juga
mahasiswa dapat memilih jadwal sesuai waktu yang mereka kehendaki dengan lebih
mudah. Tentu saja, KRS buta mengurangi arogansi kita terhadap KRS si “Hari
penentu masa depan” itu, karena tidak terlalu banyak yang dikejar dan
dipertaruhkan, akan lebih fleksibel kita menentukan kapan kita mengatur siasat
waktu istirahat, makan, males-malesan (dengan meliburkan beberapa hari),
apabila pengambilan dalam KRS tidak arogan. Tak lupa, KRS-an buta, tentu saja
akan lebih mendukung “intensif-isasi kelas”, Jadwal yang disiapkan oleh
mahasiswa lebih fleksibel, tidak ada fanatisme terhadap dosen, atau sikap
anti-terhadap dosen, oleh karena itu jikalaupun jadwal akhirnya bertabrakan,
Bagian Pendidikan, dengan persetujuan dosen, akan lebih sedikit membuka koutanya, dan
terciptalah iklim intensif yang tuan-tuan itu kehendaki. hehe
Tapi demikian, apakah
kita siap meninggakan kultur kita? kultur yang memalukan dan kita tahu
sebenarnya tidak diharapkan itu? Pengetjoet/tidak kah kita bila tak berani
menghadapi perubahan?
“Saya berani, gatau
kalau mbak titi”
hehe, segitu aja.
salam.
ABD.