Jika Anda memiliki waktu luang untuk sekedar mengklik tautan yang
menggiring Anda menuju kepada opini penulis ini, entah berasal dari Facebook, Twitter, Instagram, Line, atau Whatsapp, saya tebak Anda sudah memiliki cukup materi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum Anda seperti sandang, pangan, papan.
Anda tidak sedang diteror keresahan memikirkan apa yang akan Anda makan
esok hari, atau tidur dimana malam ini. Anda memiliki kemandirian
ekonomi yang cukup, sehingga memiliki waktu yang cukup pula untuk
sekedar mencari tahu (baca: kepo) kabar atau aktifitas teman dan
keluarga lewat telepon genggam anda.
Bahkan Anda membutuhkan aktifitas lain itu untuk mengisi waktu luang anda. Jika semua tebakan itu tepat, ketahuilah bahwa kita (anda dan saya) masuk ke dalam golongan kelas menengah dan berpotensi melakukan perubahan sosial seperti yang dilakukan para pendahulu.
Bahkan Anda membutuhkan aktifitas lain itu untuk mengisi waktu luang anda. Jika semua tebakan itu tepat, ketahuilah bahwa kita (anda dan saya) masuk ke dalam golongan kelas menengah dan berpotensi melakukan perubahan sosial seperti yang dilakukan para pendahulu.
Pembagian Kelas dalam Perspektif
Setelah 72 tahun kemerdekaan diraih dari kaum penjajah, bangsa kita
telah merasakan berbagai strategi pembangunan ekonomi yang digalakkan
dari masa ke masa telah melahirkan aneka lapisan sosial-ekonomi baru.
Berbeda dari zaman-zaman sebelum kemerdekaan yang menurut pisau analisis
Clifford Geertz membagi kelas di Indonesia menjadi Trikotomi dalam
masyarakat Indonesia yaitu kelompok priyayi, santri, dan abangan. Kini
pembagian tersebut perlu dipertanyakan relevansinya.
Trikotomi dalam pembagian kelas sosial-politik Clifford Geertz memang
sangat berharga untuk memberikan pemahaman bagaimana keadaan sosial
Indonesia sebelum kemerdekaan. Setidaknya selain pembagian itu bermuatan
politis juga bermuatan ekonomis.
Kelompok priyayi adalah para birokrat yang menerima upeti dari kelas
lain; kelompok santri adalah pemeluk agama islam yang taat dan
berprofesi sebagai petani dan sebagian pedagang; sedangkan kelompok
abangan adalah kelompok pemeluk agama Islam secara formil saja,
kebanyakan adalah petani gurem dan buruh tani. Tentu pembagian ini
sangat berharga sebagai pijakan analisis melihat peran politik, kekuatan
ekonomi, dan perilaku sosial mereka.
Namun jika melihat situasi politik pasca kemerdekaan akan terlalu
memaksakan jika tetap memakai pijakan analisis itu. Misalnya jika untuk
melihat fenomena munculnya golongan sosial-ekonomi baru akibat kebijakan
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi pada medio tahun 1980-an yang
kemudian semakin meningkat proporsinya sampai sekarang. Kelompok ini
diidentifikasikan sebagai kaum profesional, komunitas bisnis dan
intelektual. Tentunya peran politik, kekuatan ekonomi dan perilaku
sosial mereka berbeda dengan trikotomi yang diungkapkan Geertz di atas.
Jika kita memakai pisau analisis induk yang ada dalam sosiologi kita
menemui dua kutub besar yaitu Marxian dan Weberian. Secara sederhana
dapat dijelaskan dalam teori Marxian hanya ada dua kelas sosial yaitu
kelas produktif yang dihisap yaitu kelas pekerja atau proletariat dan
kelas tidak produktif yang menghisap yaitu kelas pemilik modal kapital.
Karl Marx melihat bahwa dalam masyarakat kapitalis pemilikan atas modal
dan alat-alat produksi akan mengalami proses konsentrasi dan
sentralisasi di tangan para pengusaha besar. Tapi dalam tahapan
kapitalisme industri selanjutnya Marx juga melihat eksistensi
pengusaha-pengusaha kecil. Menurut pandangan ini petani dan pengusaha
atau pedagang kecil adalah sisa-sisa kelompok masa ekonomi
pra-kapitalis, itulah yang disebut sebagai “Golongan tengah”. Suatu
kelas yang berbeda dengan Aristokrat dalam sistem feodal yang makin
besar dan penting perannya dalam pertumbuhan kapitalisme.
Sedangkan dalam analisis Weberian membagi kelas sosial tidak hanya
berpijak pada faktor ekonomi, tapi bisa diperluas tergantung oleh
penguasaan alat produksi, kegiatan konsumsi, status sosial, kewibawaan,
serta daya tawar dalam pasar.
Weber membagi kelas sosial menjadi lima yaitu (1) kelas pemilik di
lapisan teratas yang identik dengan borjuis dalam Marxian, (2) kelas
pekerja di tingkat bawah yang identik dengan proletar, (3) kelas
intelegensia, (4) kelas manajer / administrator, dan (5) borjuis kecil
yang dalam pandangan Marxian identik dengan strata peralihan.
Secara sederhana pula dua kutub besar dalam klasifikasi sosial memberi
implikasi bahwa (1) Marxian menekankan pertentangan kelas yang begitu
dikotomis, sedangkan Weberian menekankan kepentingan atau kemampuan
diantara banyak kelas; (2) Marxian juga membawa bobot ideologis yang
radikal dan secara ambisius menjangkau sebuah cakrawala perubahan sosial
secara makro, sedangkan Weberian setia pada realitas empirik yang mikro
dan majemuk.
Namun meskipun demikian, identifikasi Marx mengenai golongan tengah yang
ia sebut sebagai petit bourgeuisie dan Weber mengenai kelas
intelegensia dan administrator menyiratkan bahwa dua kutub itu pun
mengembangkan teori “Golongan menengah baru” di era ekonomi pasar.
Pijakannya tidak hanya ekonomi tapi berkembang pada politis sosiologis.
Dengan melihat perkembangan masyarakat saat ini kita tidak lagi melihat
pembagian kelas atau klasifikasi namun berkembang menjadi stratifikasi
sosial. Hal ini untuk melihat posisi seseorang dalam sistem sosial
dimana Ia hidup, kesempatan hidup dan gaya hidup.
Titik pijaknya dengan melihat golongan masyarakat secara hierarkis
dengan tekanan melihat ketidaksamaan dan kepincangan sosial dilihat dari
(1) tingkat pendidikan, (2) pembagian kekayaan, (3) jenjang kekuasaan,
(4) prestise, (5) umur, dan (6) entitas.
Perkembangan dan Potensi Kelas Menengah
Memang tidak berlebihan ketika Samuel P. Huntington memandang kelas
menengah memiliki potensi melakukan perubahan sosial. Menurutnya kelas
menengah adalah mereka yang berpenghasilan ekonomi lebih dari cukup dan
secara otomatis akan berbanding lurus dengan pendidikannya. Sehingga
merekalah yang berperan besar membantu negara dalam pembangunan.
Kelas menengah dengan potensinya akan menciptakan lapangan kerja bagi
warga negara yang lain, selain membantu negara memberikan pendidikan
kepada mereka yang tidak mampu mengakses. Dalam dinamika kehidupan
bernegara, karena kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara dalam
negara demokrasi cenderung telah mereka pahami, mereka menjalankan
fungsi check and balances demi dinamika demokrasi yang lebih baik.
Di Indonesia dengan berbagai strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan
oleh para pemimpin kita tak dipungkiri telah menunjukkan hasil yang
cukup baik jika dilihat dari segi berkurangnya kemiskinan. Saat ini
menurut data World Bank, ada sekitar 52 juta orang Indonesia masuk kelas
menengah. Artinya satu dari lima orang di Indonesia masuk dalam
kategori kelas menengah.
Sementara 45 persen penduduk lainnya merupakan yang ingin menjadi kelas
menengah: mereka tidak lagi miskin atau rentan jatuh miskin. Bukankah
ini sangat potensial untuk menciptakan apa yang dibayangkan Huntington,
yaitu demokratisasi yang lebih baik di Indonesia?
Namun optimisme Samuel P. Huntington dalam memandang kelas menengah itu
juga perlu kita kritisi bersama. Pandangan itu beranggapan bahwa kelas
menengah adalah kelas yang monolitik, terdiri dari satu ragam. Dianggap
punya watak, sifat, tabiat dan jati diri yang esensial. Nyatanya ketika
kita melihat realita, kita melihat mereka yang berekonomi mapan
mempunyai watak yang beragam. Ada yang memandang kelas menengah sebagai
kelompok yang demokratis, bermoral tinggi, cerdas dan jujur. Di sisi
lain ada pula yang menganggap mereka sebagai kelompok oportunis,
penjilat, genit, atau hedonistik.
Memang terlalu naif jika kita menganggap kelas menengah ini mempunyai
satu ragam watak tertentu. Hal ini karena watak juga sangat dipengaruhi
gaya hidup, pendidikan dan kesadaran berdemokrasi dalam kelas menengah.
Namun jika kita melihat potensi kelas menengah yang cenderung mandiri
secara ekonomi dan merdeka dari intervensi politik pusat kita perlu
optimis.
Kian mapan dan kukuhnya institusionalisasi dan solidaritas kelas
menengah tidak saja menjadi tulang punggung penggerak ekonomi bangsa
namun juga sebagai motor penggerak masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara melalui peranan politiknya. Lagipula jika kita melihat
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam bangsa kita kebanyakan
dimotori oleh kelas menengah. Hal ini wajar karena mereka punya dana,
pikiran, sarana komunikasi, transportasi dan jaringan organisasi yang
mampu menjadi kekuatan sosial yang besar.
Perubahan Sosial di Indonesia
Ilmu sosial Marxisme pernah meramalkan bahwa kelas pekerja (proletar)
akan berperan sebagai aktor utama dalam perubahan tata sosial. Namun
sejarah berkisah lain, harapan dan ramalan itu membuahkan kekecewaan
bukan penggenapan. Perubahan sosial justru banyak dilakukan oleh kaum
terdidik kota, hal yang juga terjadi di Indonesia.
Misalnya ketika melihat perkembangan kesadaran awal nasional Indonesia
akan sulit menyangkal bahwa kesadaran itu tumbuh salah satunya akibat
penerapan politik etis yang membuat kaum Inlander atau pribumi
berkesempatan mengakses pendidikan. Kaum pribumi mulai belajar
mengorganisasikan diri dengan mendirikan organisasi-organisasi pelajar,
pers, serikat dagang dan lain sebagainya.
Walaupun pendidikan dalam era politik etis masih sangat diskriminatif,
yakni hanya kaum keturunan bangsawan yang diberi akses, namun mereka
yang terpelajar tidak menggunakan kebangsawanannya dalam berorganisasi
demi menciptakan kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran nasional.
Hal ini dapat tercermin ketika melihat Tirto Adhi Soerjo, pengusaha
pribumi terpelajar yang mulai menyadari peran penting Pers dan
Organisasi dari kaum pribumi sendiri. Tirto mendirikan organisasi
Sarekat Prijaji tahun 1906 meskipun tidak banyak berkembang karena
kesadaran kaum priyayi yang kebanyakan masih bergaya pikir feodal. Ia
juga menerbitkan surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907 yang kemudian
menjadikannya sebagai Bapak Pers Indonesia. Tirto banyak disebut
sebagai peletup awal kesadaran nasionalisme modern di Indonesia.
Tentu masih banyak lagi motor penggerak rakyat yang memang kebanyakan
dari kaum menengah yang tidak memikirkan diri dan kelasnya sendiri. Haji
Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo pada tahun 1900, yang
kemudian dalam perkembangannya diketuai oleh Tjokroaminoto dan berganti
nama menjadi Sarekat Islam (SI). Dari organisasi ini melahirkan banyak
tokoh pendiri bangsa dan mengembangkan kesadaran nasionalisme lebih jauh
lagi.
Semakin banyaknya kaum terpelajar dan organisasi-organisasi yang
didirikan oleh kaum Pribumi semakin menguatkan kesadaran nasional
Indonesia, bahkan pada tahun 1928 para pemuda dan pelajar dari berbagai
penjuru Indonesia berkumpul untuk berkongres dan mengucapkan sumpah
bersama yang sekarang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”.
Sampai pada kemerdekaan politik Indonesia tiba, memang kalangan
terpelajar mempunyai peranan penting dalam transformasi sosial di
Indonesia, hal ini menjadikan dinamisnya pemikiran kebangsaan dari para
pemimpin pergerakan di Indonesia. Bahkan pada masa awal pendirian Partai
Nasional Indonesia didirikan pada akhir 1920-an, sang Dwitunggal
Soekarno dan Hatta memiliki perbedaan yang agak kontras.
Soekarno menekankan PNI untuk mengkonsolidasi massa rakyat
sebanyak-banyaknya, sedangkan Hatta lebih menekankan untuk lebih
menguatkan peran pendidikan terlebih dahulu. Hal ini menjadi perbedaan
mendasar yang nantinya membuat mereka tak sepaham dan akhirnya perbedaan
tersebut di kemudian hari menyebabkan Hatta mengundurkan diri dari
wakil presiden pada tahun 1950an.
Setelah kemerdekaan politik diakui pada 1949 oleh komunitas
internasional, baru banyak strategi ekonomi digencarkan, mulai dari
nasionalisasi hingga Indonesianisasi perusahaan asing. Hal ini tentu
semakin membuka sejarah awal proses menjamurnya kelas menengah di
Indonesia.
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada pertengahan tahun 65 dan
melambungnya harga-harga kebutuhan pokok akibat krisis membuat keadaan
ekonomi dan sosial tidak stabil. Pergerakan sosial untuk menuntut
perubahan dimotori oleh mahasiswa dengan turun ke jalan dan membuat
acara-acara protes yang kreatif. Hasilnya Orde Baru naik ke pemerintahan
dengan dukungan kelas menengah Indonesia, yakni para mahasiswa, kaum
intelektual, para teknokrat dan lain-lain.
Namun begitu bulan madu Presiden Soeharto yang muncul berkat jasa kelas
menengah tak berlangsung lama. Gelombang oposisi kelas menengah pun
hadir untuk menyeimbangkan demokrasi. Pada tahun 1973-4 demonstrasi dan
protes kelas menengah muncul akibat semakin meluasnya gap antara yang
kaya dan miskin, serta meningkatnya pengangguran. Aksi protes ini
kemudian ditanggapi secara represif oleh rezim Orde Baru, peristiwa ini
disebut sebagai Malapetaka Lima Belas Januari (Malari).
Walaupun pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru banyak dipuji, namun
cara-cara represif yang diterapkan selama masa Orde Baru yang membungkam
banyak pergerakan sosial tentu memperburuk demokrasi. Hal ini di satu
sisi memperbanyak kelas kelas menengah baik kuantitasnya maupun
jenis-jenisnya. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan kualitas
pendidikan demokrasi yang seimbang. Akibatnya Check and balence antara
warga negara dengan penguasa melemah, praktik-praktik biadab semacam
korupsi, kolusi, dan nepotisme menjamur di kalangan elit pemerintahan.
Hal itulah yang menyebabkan tidak hanya krisis ekonomi namun juga krisis
sosial. Pada tahun 1998 krisis memuncak dan gerakan reformasi mendapat
dukungan yang begitu luas baik dari kalangan menengah maupun kalangan
bawah. Gerakan sporadis dalam reformasi tentu menyulitkan untuk memulai
konsolidasi nasional kembali. Namun demokratisasi yang timbul karena
reformasi memberi pijakan untuk kita membangun peradaban Indonesia lebih
baik.
Kelas Menengah Kekinian
Setelah hampir 20 tahun Era Reformasi telah kita lalui, banyak hal yang
mesti kita evaluasi. Kelas menengah yang semakin banyak jumlahnya
ternyata tidak begitu saja menjadi motor penggerak perubahan sebagaimana
diharapkan. Demokratisasi yang diharapkan oleh gerakan reformasi dapat
mempertinggi harkat rakyat banyak tidak berjalan secara konsekuen.
Hal ini dapat dilihat misalnya dari sisi kepartaian. Meskipun partai
politik begitu banyak di Indonesia, namun sistem perkaderannya masih
begitu lemah kualitasnya. Mulai dari rekruitmen yang “asal populis” dan
“asal banyak” namun pembinaan dan penanaman nilai tak pernah
diperhatikan, serta elit partai yang membawa kebijakan partai begitu
oportunis. Akibatnya adalah demokrasi tidak sehat dan praktik biadab
korupsi, kolusi dan nepotisme justru semakin menyebar.
Dari sisi kemahasiswaan, komersialisasi pendidikan menyebabkan kampus
tak kalah oportunisnya. Akibatnya mahasiswa yang selama ini jadi elitnya
pemuda, terlalu nyaman dengan dunia akademiknya. Akibatnya mahasiswa
yang minim aktivisme mudah terombang-ambing oleh isu politik yang ada.
Tentu masih banyak lagi yang perlu kita perbaiki selama masa transisi
demokrasi ini.
Kelas menengah, seperti selama ini ada, sebenarnya mempunyai potensi
yang begitu besar, apalagi di era yang semakin demokratis. Potensi ini
akan berkembang luas jika mereka, sekali lagi seperti yang terjadi di
masa lalu yaitu mampu mengorganisasikan diri dengan baik, mengenyam
pendidikan, sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta
tidak berpikir hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Keberpihakan memang sulit bagi yang sudah mencapai derajat kemapanan dan
posisi yang nyaman dalam tata sosial yang ada. Namun semua itu
tergantung kita pula, mau digunakan untuk apa segala potensi modal,
pikiran, kelonggaran waktu, akses informasi dan pendidikan, sarana
komunikasi yang kuat, transportasi, jaringan organisasi - singkat kata
sumber daya- yang itu semua sulit diakses oleh kalangan bawah.
Bersediakah kita berbagi kesejahteraan pribadi demi kesejahteraan banyak warga negara lain yang kurang beruntung?