Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Elia |
“Dengarkah? Jantungku menyerah, Terbelah di
tanah yang merah, Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering. Melemah
dan melemah ... Hujan, hujan jangan marah”
Sepenggal
lirik dari Grup Band Efek Rumah Kaca (ERK) yang berjudul Hujan jangan marah diatas
menggambarkan penantian seseorang akan datangnya hujan saat/setelah kemarau
panjang. Seorang itu mengharap pada kemurahan Hujan agar mengguyur haus tanah,
yang berbahasa melalui belahan tanah disawahnya yang merah. Meminta hujan untuk
tidak marah dan menghukum Sang Petani. Dengan lagu ini, ERK ingin menyampaikan
suara sumbang dari mereka yang paling tak berdaya menghadapi perubahan iklim
yang semakin nyata.
Petani pada Cuaca yang
Tak Menentu
Hari-hari
ini Ironi seperti yang disuarakan oleh ERK dalam lagu Hujan Jangan Marah itu semakin nyata. Kejadian ini sedang dialami
oleh para petani di daerah Aceh. Sekitar 150 haktare tanaman padi milik warga di Tiga Desa, Kecamatan Kuta Cot Glie,
Aceh Besar, teracam gagal penen akibat dilanda kekeringan. Bahkan tanaman padi
yang telah ditanam sejak Desember 2017 lalu, tidak mau tumbuh lagi akibat
minimnya air meski telah dibantu dengan mesin pompa. Di Wilayah lain, rendahnya
curah hujan akan mengakibatkan potensi terjadinya bencana kebaran hutan. Dari
data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mulai akhir februari sampai
maret 9 wilayah yang akan berpotensi mengalami kejadian itu, yaitu Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur.
Kerugian
yang dialami akibat bencana kekeringan di Aceh, dialami pula oleh para petani
di wilayah kabupaten Pacitan, Wonogiri dan Gunung Kidul, walaupun dengan
kondisi yang agak berbeda. Diwilayah-wilayah selatan pulau jawa itu banyak
mengalami gagal panen akibat fenomena tanah amblas yang justru disebabkan oleh
tingginya intensitas hujan semenjak Januari lalu di pulau Jawa. Para petani
harus menanggung kerugian, jangankan memetik hasil, lahan pun sudah tidak bisa
digarap lagi.
Akhir-akhir
ini memang kita berada pada cuaca yang tak menentu.Sementara di wilayah Jawa
Februari hingga Maret diprediksikan merupakan puncak-puncaknya musim hujan, di
daerah lain curah hujan justru begitu rendah. Anomali cuaca seperti sekarang
ini tentu paling berdampak kepada mereka yang mengandalkan hidupnya pada musim
dan cuaca, seperti petani dan nelayan.
Menaiknya Suhu dan
Berubahnya Iklim Global
Secara
umum, memang kondisi demikian tidak hanya dialami oleh wilayah yang ada di
Indonesia saja. Menurut laporan Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), kenaikan panas yang dialami secara global
semenjak tahun 1901 mencapai 0,89◦C, sedangkan di kawasan Asia Tenggara sendiri
tercatat temperatur naik pada kisaran 0,4 – 1◦C. Bahkan menurut prediksi dalam
laporan tersebut di wilayah Asia tenggara kenaikan temperatur akan mencapai
1,5-2◦C pada tahun 2046-2065 mendatang.
Apa
akibat naiknya temperatur? Curah hujan diperkirakan akan meningkat di
negara-negara seperti Indonesia dan Papua Nugini, sedangkan di negara-negara
lain seperti Thailand, Laos, Myanmar, Kamboja dan Vietnam, curah hujan
diperkirakan akan menurun sebesar 10 % - 20 % dibulan Maret sampai Mei.
Walaupun secara keseluruhan data memperlihatkan bahwa curah hujan akan naik,
namun terdapat pengecualian di wilayah barat daya Indonesia.
Kenaikan
suhu secara global tak hanya mengakibatkan membesarnya kemungkinan gagal panen
bagi petani, namun juga pada mereka yang menggantungkan perekonomiannya pada
kondisi laut. Pemanasan global mengakibatkan kenaikan air laut dikarena
mencairnya Es di Kutub. Dari laporan Jurnal Nature yang dipublikasikan pada
tahun 2015, menemukan bahwa antara 1901 ke 1990 rata-rata permukaan air laut
global naik sebanyak 1,2 milimeter per tahun, sedangkan dari 1990 ke 2010
angkanya melejit hingga 3 milimeter. Lebih menarik lagi jika melihat laporan Bank Dunia dengan judul “Turn Down
the Heat
– Climate Extremes,
Regional Impacts and
the Case for
Resilience” menunjukkan bahwa kawasan pesisir pantai di Asia Tenggara
akan mengalami kenaikan 10-15 % lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
kenaikan muka air laut global. Bahkan diperkirakan tahun 2050 kenaikan
permukaan air laut akan mencapai 50 cm
dan pada tahun 2090 mencapai 100 cm.
Kenaikan
air laut memperbesar meningkatnya bencana aquaculture, juga menghambat tangkapan
ikan bagi nelayan. Perubahan ilkim juga akan berimbas pada pariwisata dikawasan
pantai. Diprediksikan kawasan asia akan mulai kehilangan keanekaragaman hayati
berupa terumbu karang hingga 88% akibat dari pemutihan yang akan dimulai tahun
2030. Sebuah data yang menyedihkan bagi Petani dan Nelayan.
Eksploitasi alam
dalam Industrialisasi
Ada
yang menarik dari perubahan iklim yang seakan begitu mengancam ini, yaitu bahwa
kenaikan suhu global ini bersifat antropogenik, artinya tidak terjadi secara
alamiah tetapi sebagai hasil dari kegiatan manusia. Penyebab utamanya adalah
emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Kurang lebih 60% dari seluruh
peningkatan emisi karbon dioksida disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil
(batu bara, minyak, dan ga bumi); sedangkan hampir 20% diakibatkan oleh
pengelolaan tanah terutama maraknya pembabatan hutan.
Jika
melihat kenyataan itu, maka negara-negara Industri maju secara sejarah
bertanggungjawab atas hampir 80% peningkatan karbon dioksida di Bumi. Selain
itu juga negara-negara berkembang yang secara ekonomi mulai menunjukkan
kemajuan yang pesat akibat mengekor cara-cara industrialisasi yang dilakukan terlebih
dahulu di negara maju, seperti Tiongkok, menunjukkan tingkat emisi absolut
yang tinggi.
Perubahan
iklim yang kita alami sekarang ini merupakan dampak dari model kegiatan ekonomi
dan peradaban yang menggunakan energi secara intensif, serta dalih peningkatan
perekonomian yang mengiringinya, yang harus kita akui hanya bisa dinikmati
segelintir saja penduduk bumi. Laporan dari Postdam Institute for Climate
Impact Researce (PIK) menunjukkan korelasi yang sangat tinggi antara jumlah
kepemilikan modal suatu negara dengan tingkat jumlah emisi Karbon Dioksidanya. Dengan
demikian kita bisa sedikit mengerti gambaran dosa emisi karbon dari
negara-negara industri yang kaya kepada manusia, daerah, dan negara miskin yang
paling rentan menerima dampak dari perubahan iklim global yang semakin nyata.
Kondisi
ini diperparah dengan percepatan penyebaran model kegiatan ekonomi dan
peradaban negara-negara industri seperti ini keseluruh pelosok bumi melalui
globalisasi. Konsekuensinya semakin banyak saja negara-negara berkembang yang meniru
jalur pembangunan seperti itu dan berhasil walaupun, tentu saja, disertai
konsumsi energi yang tinggi dan peningkatan kembali emisi Karbon Dioksida di
bumi yang semakin cepat. Mereka yang kalah dan tidak mengikuti jalur
pertumbuhan ekonomi yang demikian, sampai saat ini tersisihkan dari proses
pertumbuhan kemakmuran.
Saat
ini negara-negara di dunia mulai menyadari bahwa dunia ini mempunyai batas,
pertumbuhan ekonomi ada batasnya, demikian pula dengan akumulasi modal. Apa
akibat jika batas ini dilanggar? punahlah bumi sebagai satu-satunya tempat
tinggal manusia. Isu pemanasan global ini penting untuk menunjukkan bahwa untuk
tetap bisa hidup di bumi secara lestari, maka pola produksi, distribusi dan
konsumsi seperti sekarang ini harus dipotong sekitar 80% menjadi 20% saja.
Apabila kita tetap mau mempertahankan pola produksi, distribusi dan konsumsi
seperti sekarang, maka manusia
memerlukan lima planet seperti bumi, jika itu mungkin.
Apakah hujan
semata-mata marah?
Kembali
pada anomali cuaca di Indonesia. Kemarahan hujan yang diakibatkan oleh tinggi
dan rendahnya curah hujan di berbagai wilayah di Indoesia, tanpa mengkerdilkan
dampaknya, ternyata hanya sebagian saja akibat dari perubahan iklim yang sedang
dialami bumi secara keseluruhan. Waktu-waktu kedepan, jika tidak ada kemauan
bersama untuk mengubah pola produksi, distribusi dan konsumsi dari tatanan
dunia sekarang, tidak hanya hujan yang akan
marah, namun sangat mungkin juga lautan, bumi dan udara, singkatnya
alam, yang akan murka pada manusia.
Dari
data-data diatas kita mengetahui bahwa alam yang diciptakan dengan hukum-hukum
yang pasti itu ada batasnya, sedangkan keserakahan manusia tiada batasnya.
Kesadaran bahwa perubahan iklim di dunia saat ini semakin nyata tentu semakin
meyakinkan kita, bahwa saat ini penduduk bumi mengalami penderitaan bukan
semata-mata dari bencana yang alamiah, namun akibat perbuatan manusia sendiri
terhadap buminya. Dan selama penderitaan itu datang dari manusia, dan bukan
bencana alam, ia pun pasti bisa diubah pula oleh manusia.
Hal itu bisa ditempuh, selain dengan kehendak bersama dari pemerintahan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengurangi emisi karbon dioksida, kesadaran etis untuk memperhatikan alam dalam berkehidupan juga harus ditanamkan dalam masyarakat sipil. Hal itu menjadi tugas tidak hanya pendidik formal, tetapi terutama pemuka agama yang lebih mempunyai pengaruh secara etis dalam masyarakat, disamping itu orientasi pembangunan juga harus terus melibatkan kelompok miskin selama ini paling rentan terdampak oleh perubahan iklim. Dengan begitu, kita bisa mengindari kemarahan hujan.
Hal itu bisa ditempuh, selain dengan kehendak bersama dari pemerintahan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengurangi emisi karbon dioksida, kesadaran etis untuk memperhatikan alam dalam berkehidupan juga harus ditanamkan dalam masyarakat sipil. Hal itu menjadi tugas tidak hanya pendidik formal, tetapi terutama pemuka agama yang lebih mempunyai pengaruh secara etis dalam masyarakat, disamping itu orientasi pembangunan juga harus terus melibatkan kelompok miskin selama ini paling rentan terdampak oleh perubahan iklim. Dengan begitu, kita bisa mengindari kemarahan hujan.