Dengan
pakaian kuning dan gincu merah, nampak kontras mahasiswa semester 6 Ilmu Komunikasi Universitas Paramida ini
memasuki panggung Indonesia Lawyers Club TV ONE. Tsamara namanya. dengan begitu
luwesnya si cantik ini mengemukakan pendapatnya mengenai kesalahan pikir
politisi Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah. Menarik membahas Tsamara ini
yang sekarang sedang naik daun dan diperbincangkan sebagai wakil generasi milenial.
Berawal dari Tweetwar-nya (Perang Twiter) dengan Fahri Hamzah tentang isu
pemberantasan korupsi yang bagi Tsamara argumentasi yang dibangun Fahri dalam
cuitan-cuitan ditwitter tidak logis. Kawan sekalian bisa simak perbincangan
lebih lanjut mereka terkait hal ini di Youtube.
Yang
sebenarnya lebih menggelitik bagi saya adalah jawaban Fahri terhadap kritik-kritik
itu. tidak secara jelas menjawab apa yang dikritik oleh Tsamara, justru jawaban
Fahri “Ini adalah kritik dari perwakilan generasi milienial generasi sebelumnya”.
yang juga menggeltik adalah penilian fahri terhadap generasi milenial yang
berpikir elementer. bagaimana generasi milenial itu?
Generasi
ini di periodekan lahir pada kurun waktu 1980 sampai 2000. Generasi dimana media dan
internet sedang berkembang sangat cepat. Genrasi ini tumbuh ditengah kemajuan teknologi
digital yang membuat naluri digitalisasi seakan tertanam sejak dalam kandungan.
Mereka diakui sebagai generasi yang cerdas dan melek teknologi maka generasi
ini di gambarkan mudah belajar dan beradaptasi. Hidup diera yang serba digital
membuat Mereka sangat mandiri dan tidak tergantung lagi perjumpaan untuk
mengekspresikan gagasannya atau mengetahui perkembangan jaringan sosialnya.
Ruang dan waktu untuk berkomunikasi tidak lagi menjadi hambatan karena semua
dapat diatasi dengan WA, Instagram, twitter atau Facebook. Generasi millenial lebih terkesan individual,
cukup mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai-nilai materialistis, dan
kurang peduli untuk membantu sesama jika dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya
pada saat usia yang sama. Mengapa? Sembilan puluh persen generasi milenial
berinteraksi dengan internet, sehingga kaki hidup mereka tidak menginjak tanah.
Ada sekat yang memisahkan mereka antara dunia nyata dan dunia maya. Tambahan
juga, kalau kata fahri hamzah, generasi ini hidup di era media, juga
glorifikasi (pemujaan?) terhadap hero-hero di sosial media. maka generasi ini berfikir
“agak” elementer. Saya tidak tahu apa
yang dimaksud fahri dengan “elementer” ini.
Entah
apapun maksud Fahri, generasi ini memang dicekoki oleh media, dan itu sangat
wajar karena memang mereka (termasuk saya) sangat akrab dengan teknologi
digital. Tsamara ini memang sangat pas bagi saya dianggap sebagai generasi
milenial yang demikian. Karna Si Cantik Tsamara muncul ke media karena isu yang
berkembang dimedia sosial, dan berita berita digital yang berkembang saat itu
yaitu isu pemberantasan korupsi. Dengan twittwarnya dia berhasil memasuki
panggung ILC. Terlepas dari pembahasan entah media yang membutuhkan dia atau
dia yang memang pantas di tampilkan, bagi saya tetap saja Isu-isu yang
ditonjolkan di media sama semakaili tidak menyangkut apa yang diresahkan
masyrakat. Dengan pasar yang membutuhkan figur atau isu yang bisa menjual dan
karakter generasi milenial yang apolitis alias tidak terlalu peduli dengan
relasi sosial dimasyarakatnya komplitlah sudah sampah-isasi peradaban yang kita
jalani ini.
Mari
kita sedikit keluar dari teori atau idealisme perencanaan yang hampir omong
kosong, dan mulai melihat permasalahan bangsa kita dari fakta dan realitas.
Bisa kita paparkan yang sangat terasakan akhir-akhir ini adalah Tarif dasar
listrik pada pelanggan 900 VA yang biasanya digunakan oleh masyarakat
berpenghasilan menengah kebawah naik secara berkala dari Rp. 605/kWh pada 1
Januri 2017 kemarin menjadi Rp. 790/kWh, pada 1 Maret naik lagi menjadi Rp.
1.090 /kWh, 1 Mei naik jadi Rp. 1.352/kWh Dan terakhir 1 Juli setelah merayakan
idul fitri kemarin TDL kembali naik menjadi Rp. 1.467,28 per kWh. Tentu hal ini
memberatkan masyarakat, mengingat kebutuhan saat-saat seperti ini adalah
memasuki tahun ajaran baru dimana pasti butuh kelengkapan sekolah baru.
Penderitaan
lain lagi dialami oleh para nelayan yang dengan kebijakan Menteri Kelautan dan
Perikanan yang melarang penggunaan cantrang dalam menangkap ikan, padahal di
Jawa Tengah saja sekitar 15 ribu kapal cantrang. untuk mengganti cantrang
dengan alat tangkap gillnet membutuhkan biaya sekitar Rp. 1,5 miliar. belum
lagi kalau pakai alat yang lebih mahal. untuk memesannya pun nelayan butuh
waktu sekitar satu sampai dua tahun karena memesan jarningnya dahulu.
Penderitaan nelayan ini bisa kita perpanjang dengan keadaan nelayan yang
pantainya terkena proyek reklamasi. yang jelas pendapatn mereka menurun. ataupun
masalah-masalah yang lain.
Harga
naik tak terkira yang oleh pemerintah dianggap “hanya pencabutan subsidi”.
sedangkan penghasilan masyarakat, terlebih masyarakat kecil tetap adanya.
Disamping itu juga kita dihadapkan pada keadaan cuaca yang tidak menentu. Tentu
ketidakpastian cuaca mengacu ritme hidup pertaniah, dan membuat bingung para
petani. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh pemanasan global yang beberapa
tahun terakhir kita mulai rasakan dampaknya. yang jelas selain pemanasan global
ini menurunkan pendapatan nelayan dan petani yang hidupnya sngat bergantung
pada alam, pemanasan global juga
menyebabkan ancaman kesehatan dan produktivitas menurun. Setidaknya begitu kata
beberapa artikel yang saya baca.
Yang
jelas lagi masalah-masalah masyarakat yang sedemikian terasakan sangat
memerlukan tindakan politik yang mengena dan tak boleh terlambat. Tapi apa yang
kita bisa lihat dalam pemberitaan politik nasional kita? Pemerintah getol
mengusik kebebasan berserikat warganya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti-Undang-Undang tentang Organisasi maasyarakat. Hal ini bisa kita
cermati melihat rencana pembubaran salah satu oragnisasi yang dianggap “bertentangan”
dengan “Pancasila”-nya pemerintah. Bahkan tak tanggung-tanggung, Pemerintah
dalam Perppu nya itu berniat memenjarakan warga negaranya yang menjadi anggota/pengurus “organisasi” tersebut minimal
5 Tahun maksimal seumur hidup. luar biasa.
Disisi
lain kita juga justru disuguhkan karupsi yang merajalela oleh mega-korupsi
E-KTP, pelemahan lembaga yang sangat dipercaya oleh masyarakat KPK, konflik
antar lembaga antara KPK dan DPR dan masalah-masalah lain yang tidak
berhubungan dengan penyelesaian masalah yang dirasakan masyarakat. Para pejabat
dan politikus ini seakan terjerumus dalam pencarian dan penegakan pencitraan,
padahal pada saat yang seperti ini masyarakat lebih membutuhkan kompetensi
daripada citra. Tak heran msyarakat menjadi semakin muak terhadap
lembaga-lembaga pemerintah dan politik nasional
Walau
kita harus bersyukur atas demokrasi yang kita capai, namun kritis tetap boleh
dilakukan, bahkan harus. Kita harus mengakui demokrasi yang sekarang terlaksana
adalah demokrasi yang suka bersolek atau bergincu. Artinya demokrasi itu tak
mengakat pada masalah riil yang ada di Mayarakat. hanya pandai bermain citra.
Demokrasi yang begini berbahaya juga, mengapa? karena akan tercerabut dari
prinsip dasarnya, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab. dan
kebertanggungjawabannya ini bisa diukur seharusnya lewat kompetensi
menyelesaikan masalah-msalah yang dihadapi masyarakat.
Kemuakan
masyarakat terhadap ulah eksekutif, legislatif dan yudikatif kita yang
dilahirkan oleh sistem demokrasi ini mendukung kecenderungan masyarakat dalam
melupakan segala cita-cita bernegara. Kalau pandangan terhadap demokrasi
merosot hal ini menjadi celah bagi sebuah siapapun untuk melayani diri sendiri,
mereka yang menawarkan ideologi yang lain daripada pancasila akhirnya akan
diberi kesempatan untuk memasarkan ideologinya. Terlepas dari laku atau
tidaknya ideologi yang ditawarkan, bagi saya karena melihat kemuakan masyarakat
terhadap kondisi politik dan ketidakpedulian pemerintah terhadap masalah yang
dihadapi masyarakat, sangat sah untuk mereka memasarkan ideologi alternatif
itu. Sebab ketidakpedulian masyarakat terhadap tujuan bernegara tenggelam menjadikan
masyarakat yang individual pasif alias konsumeristik. Perasaan kebangsaan dan
solidaritas sebagai warga negara yang masih memiliki kekurangan semakin
menipis. Maka kemudian berkembanglah bangsa yang berdiri disatu pihak atas
egois-egois konsumeris, dan dipihak lain fanatis-fanatis.
Poin
saya, kembali kemasalah Si Cantik Tsamara dan Fahri yang muncul ke panggung ILC
karena twittwarnya menunjukkan bahwa era
baru kekuatan media semakin nampak didepan mata, berkaitan dengan karakter
generasi milenial yang seakan apolitis alias tidak peduli dengan politik hal
itu disebabkan bukan saja karena otentisitas generasi tersebut, namun memang
dipengaruhi oleh media, dan saya kira terutama karena kemuakan terhadap
kelakuan pejabat-pejabat produk demokrasi gincu. Tsamara yang bergincu merah
itu pun saya kira harus mulai mengurangi pegang gedgetnyadan coba belajar
survey harga cabe dipasar atau beli ikan langsung ke nelayan dan berinteraksi
juga dengan mereka. ndak cuma fokus mainan twitter melulu. Kalau mainnya balas
twit saya sih gamasalah. hehe
catatan
juga lebih-lebih aktivis generasi milenial terpelajar yang ingin merebut ruang
publik tersebut juga jangan kikuk dengan keadaan. Mulailah merebut ruang itu
pula, belajar dari Tsamara, kalau memang sebegitunya paradigma generasi
milenial berlaku.
Referensi:
sebagai
generasi milenial tentu saja beberapa artikel dan berita-berita di Internet.
artikel
Franz-Magnis berjudul “Pancasila 2010” di buku rindu pancasila.
artikel
Sinshunata “Demokrasi Kenes-kenesan” majalah basis.